"Cinta bukan melemahkan hati atau memutus pengharapan tetapi cinta memberikan kekuatan hati dan menumbuhkan pengharapan."
Let’s be honest. Saat pertama kali saya mendengar gagasan diangkatnya sastra klasik Indonesia, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hasil buah karya sastrawan mahsyur Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka ke layar lebar oleh rumah produksi penelur Eiffel I’m in Love, Soraya Intercine Films, rasa skeptis dalam diri membumbung begitu tinggi. Ketakutan pula keraguan ini bukannya tanpa alasan, masih segar dalam ingatan bagaimana kejinya MD Pictures dalam menodai kesucian Di Bawah Lindungan Ka’bah tempo hari. Dengan deretan pemain utama yang belum pula teruji kehebatannya – pengecualian untuk Reza Rahadian, tentu saja – maka saya pun kudu menekan ekspektasi hingga ke titik terendah kala menguji cita rasa dari versi film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dengan tiada sedikit pun pengharapan untuk film, secara mengejutkan, saya justru terlena kala menyaksikannya. Saya sama sekali tidak menduga akan mengacungkan jempol kepada Sunil Soraya atas upayanya dalam mengejawantahkan karya Hamka ke bahasa gambar dengan begitu memikat hati, terlebih setelah dalam beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya saya mencibir.
Sekalipun berhiaskan judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Anda jangan keburu membubuhkan harapan ini akan menjadi film roman akbar selayaknya Titanic. Jangan pula berharap ini akan menjadi semacam The Great Gatsby dengan visual yang meriah memanjakan mata – menilai dari trailer yang sedikit banyak mirip. Sebagai sebuah kisah percintaan klasik, tatanan penceritaan pun tak jauh-jauh dari hubungan asmara terlarang dari dua muda mudi yang disebabkan oleh berbagai perbedaan; semacam Romeo & Juliet atau Sitti Nurbaya, dalam versi lokal. Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, jalinan asmara yang mengaitkan Zainuddin (Herjunot Ali) dan Hayati (Pevita Pearce) menghadapi jalan buntu lantaran terbentur oleh perbedaan adat dan latar belakang sosial. Nyaris mustahil dua anak manusia ini dipertautkan tali pernikahan, terlebih di tengah-tengah usaha Zainuddin memerjuangkan kehidupan asmaranya, muncul seorang pemuda kaya berdarah Minang, Aziz (Reza Rahadian), yang turut meramaikan bursa dengan meminang Hayati.
Yang pertama terlontar dari mulut usai melahap Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di layar lebar adalah ‘amboi... betapa eloknya film ini!’. Sunil Soraya yang sebelumnya mengomandoi Apa Artinya Cinta? berhasil membungkam siapapun yang memertanyakan kapabilitasnya dalam mengkreasi ulang karya sastra penting di Indonesia buah karya Hamka ini ke medium layar lebar. Si pembuat film tak sekadar membuat penonton berlinangan air mata secara beramai-ramai akibat jalinan kisah yang mengharu biru serta mengoyak emosi, tetapi juga menyuarakan kembali kritikan sosial, sentilan sentilun, dan pesan bernada reliji dari Hamka yang termasuk dalam poin penting di dalam novel. Inilah yang lantas menjadikan film menjadi kaya pula padat berisi karena tak melulu berujar soal cinta terlarang, namun juga berbincang perihal kondisi sosial, adat dan tradisi di sekitar – dalam hal ini, Minang – yang tersampaikan dengan begitu mengena.
Segala puja puji pun patut pula dihaturkan untuk jajaran pemainnya yang mampu berlakon dengan cemerlang. Reza Rahadian seolah tiada menghadapi hambatan berarti kala memerankan sang antagonis yang meredam kebahagiaan Zainuddin dan Hayati. Hanya melalui kehadirannya, nada bicaranya yang menyengat tanpa perlu meletup letup berlebihan, dan sorot mata yang tajam, Aziz terlihat begitu mengintimidasi. Herjunot Ali – yang pada awalnya cenderung disepelekan – memberi performa terbaik dalam karir keaktorannya. Adegan peluapan rasa sakit hati yang menahun dideranya serta perpisahan dengan sang pujaan hati di penghujung film disalurkannya dengan begitu emosional, menyayat hati, dan meyakinkan. Pevita Pearce sebagai Hayati yang lemah tak berdaya dengan pesona kecantikan yang begitu susah untuk ditampik memberi chemistry yang lekat bersama Herjunot dan Reza. Lalu, ada pula kejutan dari Randy, keyboardist Nidji, yang tak dinyana-nyana mampu berolah peran dengan memukau sebagai Muluk, sahabat sejati Zainuddin. Membawakannya secara natural tanpa berlebih-lebihan, Randy dengan mudah mencuri perhatian terlebih tokoh yang dibawakannya sungguh bijak pula humoris.
Pun demikian, meski Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berhasil merebut hati saya dengan mudahnya, bukan berarti tiada yang mengganggu rasa nyaman kala menontonnya. Dalam catatan saya, setidaknya rasa tak nyaman itu bersumber dari pemilihan warna biru untuk Batipuh yang tak sedap untuk dipandang oleh mata, efek visual yang kerapkali masih tampak kasar, dan tembang-tembang dari Nidji yang sekalipun menimbulkan rasa candu namun kemunculan yang kelewat sering (tak jarang pula, bukan pada tempatnya) terkadang mengganggu. Keputusan untuk tak berlama-lama dengan adegan di atas kapal – termasuk menciptakan ketegangan – pun cukup disayangkan, apalagi mengingat bahwa Soraya telah susah payah membangun set kapal. Hanya selewat, tak meninggalkan kesan. Untungnya, ini hanya berada di barisan minor yang tak berpengaruh signifikan kepada kualitas film secara menyeluruh. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck masih mampu berdiri tegak gagah perkasa berkat kekuatan dari jalinan kisahnya yang terangkai dengan begitu indah, menggugah emosi serta mengharu biru, lakon-lakon yang cantik dari departemen akting, lalu ini pun masih dipadukan dengan sinematografi yang aduhai dan tata produksi yang terbilang megah mewah untuk ukuran film Indonesia. Sungguh mengesankan.
Outstanding
Aku setuju sepenuhnya sama reviewmu mas. Hehe..
ReplyDeleteWah, terima kasih banyak, Mas Rusa :)
ReplyDeleteJadi yang terbaik seIndonesia tahun 2013 IMO, sekaligus terlaris.
ReplyDeleteSepertinya yang jadi daya tarik film ini adalah kekakuan bahasanya. Jika bahasanya tidak kaku- mungkin akan terasa tidak menarik sama sekali- dan sama seperti film adaptasi novel yang sudah sudah
ReplyDelete