July 24, 2017

REVIEW : LET'S GO, JETS!


“Ada beberapa hal yang tidak bisa kita ubah begitu saja. Tapi kita harus tetap berusaha.” 

Tidak banyak film remaja/olahraga yang secara spesifik membicarakan perjuangan tim pemandu sorak SMA. Keberadaan ekstrakurikuler ini dalam film remaja buatan Hollywood memang nyaris tak pernah luput dari radar, hanya saja fungsinya sebatas gimmick atau sekadar memanfaatkan satu dua anggotanya sebagai karakter berstereotip “perempuan kejam”. Yang benar-benar peduli menyoroti jatuh bangunnya para cheerleader untuk mencetak prestasi dengan memenangkan kompetisi bisa dihitung dengan jari jemari, salah satu paling terkenal adalah Bring It On (2000) yang turut berjasa melambungkan karir Kirsten Dunst serta mempunyai serentetan sekuel tak penting yang diterjunkan langsung ke format home video. Meski Bring It On sendiri tak pernah usang menjadi bahan perbincangan di kalangan para penikmat film sampai sekarang, anehnya film bertema serupa masih sukar dijumpai. Setidaknya butuh lebih dari dua dekade untuk akhirnya mendapati sebuah film dengan cita rasa mirip. Yang tidak disangka-sangka, datangnya film termutakhir menyoal perjuangan tim pemandu sorak SMA bukan berasal dari Amerika Serikat melainkan dari Jepang. Menggunakan tajuk internasional Let’s Go, Jets!, film arahan Hayato Kawai ini didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009 hanya tiga tahun setelah resmi dibentuk. 

Tokoh utama dalam Let’s Go, Jets! adalah seorang siswi tingkat pertama di Fukui Chuo High School bernama Hikari Tomonaga (Suzu Hirose). Motivasi utama Hikari untuk bergabung ke dalam klub pemandu sorak Jets sebetulnya sedangkal ingin menarik perhatian dari seorang laki-laki yang kini bergabung dengan klub sepakbola, Kosuke Yamashita (Mackenyu). Namun rencana awal Hikari seketika berubah tatkala mendapati pelatih baru klubnya, Kaoruko Saotome (Yuki Amami), mengaplikasikan aturan ketat mengenai larangan memiliki kekasih dan menetapkan target ambisius untuk memenangkan sebuah kejuaraan tari pemandu sorak di Amerika Serikat. Mengingat klub ini baru saja mengalami transisi dari sebelumnya gimnastik memutar tongkat menuju tari pemandu sorak dan sebagian besar anggota anyarnya tidak memiliki kemampuan dasar menari, tentu target ini terkesan muluk-muluk. Tapi Kaoruko enggan begitu saja menyerah dan guna merealisasikan tujuannya, dia lantas meminta tiga anggota paling berbakat; Ayano (Ayami Nakajo), Yui (Hirona Yamazaki), dan Reika (Yurina Yanagi), untuk melatih anggota lain. Belum juga klub ini dapat berdiri dengan stabil, cobaan lain datang hasil dari kombinasi antara tekanan, ego, serta kekecewaan. Di tengah keterpurukan, Hikari yang digambarkan mempunyai kemampuan hebat soal membagi kebahagiaan, meminta uluran bantuan dari Ayano dan Yui demi mengembalikan kembali semangat anggota Jets yang tersisa untuk merengkuh impian berjaya di Amerika Serikat.


Sejatinya, Let’s Go, Jets! tidak menawarkan sesuatu yang baru untuk ranah film olahraga maupun coming of age. Pola penceritaan yang dianutnya pun masih tidak jauh-jauh dari ‘from zero to hero’ dengan fokus kisahnya berada di upaya sebuah klub pemandu sorak SMA dari kota kecil yang kerap dipandang sebelah mata oleh sejumlah pihak – termasuk oleh anggotanya sendiri – dalam membuktikan kebenaran atas pernyataan ‘everything is possible’. Yang kemudian membuat Let’s Go, Jets! terasa begitu lezat buat dikudap, bahkan layak untuk disandingkan dengan Bring It On, adalah energi yang dibawanya. Hayato Kawai berhasil membentuk film arahannya ini menjadi salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton pada tahun ini. Saat menyimak Let’s Go, Jets! di layar lebar beberapa waktu lalu, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Sedari Hikari mengetahui jati diri sesungguhnya dari klub Jets yang diikutinya, atensi telah tertambat. Muncul ketidaksabaran untuk mengetahui bagaimana proses yang mesti dilewati klub pecundang ini hingga sampai pada titik dimana mereka dielu-elukan bukan saja oleh seantero sekolah, tetapi juga seantero Jepang sekaligus disegani oleh lawan-lawannya di Amerika Serikat. Ya, kamu telah mengetahui bagaimana film ini akan berakhir – cuplikan di awal film dan materi sumbernya telah membocorkannya – namun itu sama sekali tak menjadi soal karena kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan akhir melainkan pada proses yang akan menginspirasimu. Proses yang juga menegaskan bahwa kesuksesan tidak diperoleh secara cuma-cuma. 

Karena kita diposisikan sebagai saksi dari sebuah klub yang berproses, koreografi tari yang merupakan salah satu daya tarik Bring It On tak terlampau ditonjolkan di sini. Hayato memilih mendayagunakan kuota durasi untuk melihat beberapa karakter sentralnya berkembang, khususnya Hikari yang mulanya meyakini dirinya tidak memiliki bakat yang bisa membawa klub Jets memenangkan kompetisi dan Ayano sebagai pemimpin yang telaten memperhatikan perkembangan rekan-rekan satu timnya untuk bahan pembelajaran. Suzu Hirose dan Ayami Nakajo mampu menginterpretasi secara cantik peran masing-masing, mengomando barisan pemain muda lain yang mengisi formasi anggota klub Jets, dan bersinergi mulus dengan Yuki Amami. Mereka terlihat mudah untuk disukai – chemistry diantara mereka pun berada di level jempolan – sehingga penonton tidak keberatan memberikan dukungan penuh kepada Jets. Dilantunkan menggunakan nada penceritaan yang ceria bahkan ada kalanya sangat komikal seperti ketika ‘pelatih dari neraka’ Kaoruko menggembleng habis murid-muridnya yang sebagian besar masih hijau, turut memudahkan kita mengikuti sepak terjang Jets. Begitu penonton dirasa telah jalin keakraban bersama para personil, sang sutradara lantas melepas sentakan berwujud momen emosional yang berfungsi dalam merekatkan ikatan antara penonton dengan Jets. Adanya ikatan satu sama lain dapat dibuktikan melalui klimaks yang akan membuatmu beberapa kali menyeka air mata. Bukan karena sedih, akan tetapi karena kebanggaan, kebahagiaan dan kelegaan yang membuncah. Kita seperti seorang kawan yang bangga luar biasa ketika melihat kerja keras sang sahabat akhirnya menuai hasil. Bagus!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1LvnC

Outstanding (4/5)


6 comments:

  1. Sedih.. sepertinya aku kualat deh karena jahat berpikir gak nonton di bioskop, jadi beneran gak bisa nonton di bioskop :'((

    Btw, baca reviewmu aku jadi inget sama Yell For The Blue Sky. Tapi bukan cheerleader, cuman sepertinya rasanya akan mirip :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huhuhu. Padahal kalau kamu nonton film ini di bioskop, hatimu akan seketika cerah dan bahagia. Efeknya lebih nendang.

      Kalau soal kemiripan, wajar sih. Soalnya plot film ini emang template banget. Ngingetin juga ke Pitch Perfect.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch