"What a beautiful place to be with friends and Harry Potter is a friend of Dobby." - Dobby
Harry Potter telah mencapai babak akhir. Dengan dalih untuk memuaskan para fans bukunya, produser David Heyman dan Warner Bros. pun memutuskan untuk membagi Harry Potter and the Deathly Hallows menjadi dua bagian. Untuk babak pertama dilempar ke pasaran pada bulan November 2010 sementara bagian penutup baru menyusul sekitar 8 bulan kemudian. Bangku penyutradaraan masih dipegang oleh David Yates begitu pula dengan naskah yang masih tetap digarap oleh Steve Kloves. Tak ada perubahan signifikan dalam jajaran pemain, hanya ada beberapa tambahan pemain baru plus kembalinya para pemain lama yang sebelumnya sempat absen di beberapa film terakhir. Berita yang cukup mengejutkan fans Harry Potter adalah saat pihak Warner Bros. membatalkan 3D dari bagian I karena dinilai tak memuaskan, sepertinya trauma akan hasil Clash of the Titans masih membayangi. Untungnya, untuk seri kedua akan tetap diluncurkan dalam format 3D. Setelah gembar gembor masalah 3D ini berakhir, saya dan para fans kembali pada pertanyaan lama, akankah babak terakhir dari perjalanan Harry Potter dan dua sahabatnya ini digarap dengan memuaskan mengingat David Yates telah menghancurkan Harry Potter and Order of Phoenix dan Harry Potter and the Half-Blood Prince dengan sukses ? Kekhawatiran yang cukup beralasan, namun Yates sudah menjanjikan dirinya akan lebih setia terhadap buku dan memasukkan cukup banyak adegan intens ke dalamnya. Well, let's see!
Setelah kematian Dumbledore (Michael Gambon), dunia sihir menjadi kacau balau dengan ancaman dan teror dari Voldemort (Ralph Fiennes) dan para pasukan Death Eaters. Kementrian Sihir lumpuh, begitu halnya dengan Hogwarts yang bukan lagi merupakan tempat yang aman. Ron (Rupert Grint) dan Hermione (Emma Watson) memutuskan untuk keluar dari sekolah demi membantu sahabat mereka, Harry Potter (Daniel Radcliffe), dalam usahanya untuk menghancurkan rahasia kekebalan Voldemort, Horcruxes. Petualangan ini lebih sulit dari sebelumnya mengingat mereka tak lagi mendapat bantuan dari Dumbledore dan serangan dari Death Eaters yang sewaktu - waktu bisa membahayakan jiwa mereka. Tak ada lagi tempat yang aman bagi mereka. Harry sebelumnya ingin rehat sejenak di The Burrow bersama keluarga Weasley dan anggota Orde Phoenix yang tersisa, namun serangan dari Death Eaters di malam pernikahan Bill (Domhnall Gleeson) dan Fleur (Clemence Poesy) membuat Harry dan kedua sahabatnya itu kabur. Petunjuk mengenai keberadaan Horcrux lainnya mengarah pada sebuah liontin yang dikenakan oleh Dolores Umbridge (Imelda Staunton). Harry, Ron dan Hermione dengan bantuan ramuan Polijus mendobrak masuk ke Kementrian Sihir. Liontin berhasil didapatkan, namun siapa yang menduga bahwa efek dari liontin ini begitu dahsyat sehingga sempat meretakkan persahabatan antara Ron dengan Harry dan Hermione. Tak ada ide mengenai bagaimana cara menghancurkan liontin ini, mereka mendatangi Bathilda Bagshot (Hazel Douglas) yang bahkan belum sempat buka mulut sudah keburu dibunuh oleh Nagini. Keadaan menjadi semakin bertambah sulit saat Death Eaters berhasil melacak keberadaan mereka dan beberapa orang terkasih pun harus tewas demi menyelamatkan Harry Potter.
Saya pribadi lupa - lupa ingat mengenai jalan cerita dari Harry Potter and the Deathly Hallows karena saya membacanya sekitar dua tahun silam ditambah tebalnya novel sehingga beberapa detail sudah terlupakan. Untungnya, keputusan Warner Bros. untuk membelahnya menjadi dua bagian yang membuat banyak detail berhasil masuk, membuat ingatan saya segar kembali. Untuk sekali ini, pujian patut disematkan kepada David Yates dan tim. Entah bagaimana bisa Yates membuat dua film sebelumnya menjadi begitu buruk sementara Deathly Hallows bisa dia bikin dengan sangat apik. Agaknya Yates mempelajari kesalahannya sendiri saat membesut Harry Potter and the Half-Blood Prince yang meskipun mengantongi banyak pujian dari para kritikus dunia, nyatanya justru mengecewakan para fans Harry Potter. Babak paling tragis tersebut seakan hanya lewat saja, tak meninggalkan kesan apapun. Beruntunglah Warner Bros. kali ini memberi lampu hijau terhadap pembuatan versi film Harry Potter yang dibagi ke dalam dua bagian setelah sebelumnya beberapa kali ditolak. Meski banyak yang menuduh langkah ini hanya sebagai penambah pundi - pundi dollar semata (ya, saya juga sangat yakin akan hal itu, ini semua demi duit) tapi banyak kenyataannya ini merupakan keputusan yang tepat. Plot hole di Harry Potter and the Deathly Hallows tidak begitu besar, malahan hasil akhirnya ini sangat memuaskan dan diluar dugaan.
Dalam Half-Blood Prince, Yates gagal bermain di jalur romantis, namun tidak kali ini. Dia berhasil menyampaikannya dan tidak diumbar secara berlebihan. Adegan drama dan penuh dialog panjang tidak terasa menjemukan, justru sebaliknya, sangat membantu mereka yang belum pernah membaca bukunya. Bahkan beberapa kali Yates sanggup membuat saya emosional, feel-nya dapet banget! Tidak ada lagi adegan tak penting yang dimasukkan. Yah, ada untungnya Yates berkonsultasi kepada J.K. Rowling jika melihat hasilnya akan sebaik ini. Bagus dalam drama, menakjubkan saat Yates mencoba untuk bermain di jalur action dan horror. Kucuran dana sebesar $250 juta dimanfaatkan dengan sangat baik menghasilkan berbagai adegan aksi yang menegangkan. Salut kepada tim special effects atas hasil kerjanya yang luar biasa, mulus sekali. Lihat saja karakter Dobby, Goblin dan Kreacher yang terlihat nyata. Bahkan adegan di awal film juga digarap dengan bagus, sanggup membuat penonton menahan nafas. Nuansa suram dan mencekam coba dihadirkan disini. Inilah kekuatan utama dari Harry Potter and the Deathly Hallows. Yates sanggup menyaingi Alfonso Cuaron soal menciptakan adegan yang mencekam, tak terhitung berapa kali sound mengejutkan saya. Tidak disarankan bagi yang memiliki penyakit jantung untuk menyaksikan film ini. Sinematografi dari Eduardo Sera tampil cantik dan memikat sementara score gubahan Alexandre Desplat terasa megah.
Akan terlihat lucu dan aneh jika selama 9 tahun lamanya Daniel Radcliffe, Emma Watson dan Rupert Grint belum juga melebur dengan karakter yang mereka perankan. Emma Watson dan Rupert Grint berakting dengan kualitas jempolan disini, kemajuannya sungguh mengagumkan. Sebaliknya, Daniel Radcliffe masih berjalan di tempat meskipun aktingnya tak buruk, standar. Akibatnya, Watson dan Grint lebih mencuri perhatian ketimbang Radcliffe meski porsi akting mereka tidak sebesar Radcliffe. Sepertinya Radcliffe terlalu memikirkan beban yang harus dipikulnya sehingga menyebabkan aktingnya kurang lepas. Bagi yang sudah membaca bukunya tentu tahu bagaimana karakter Harry Potter begitu dominan sampai - sampai Ron dan Hermione terkesan sebagai tempelan semata. Hal ini tidak berlaku dalam versi filmnya berkat kekuatan akting dari Grint dan Watson. Untuk pemeran pendukung tentu tak perlu diragukan lagi karena diisi para aktor aktris Inggris kelas wahid dengan kualitas akting yang brilian. Imelda Staunton, Ralph Fiennes, Helena Bonham Carter hingga Jason Isaacs bermain di atas rata - rata seperti biasanya. Sungguh menyenangkan melihat sejumlah aktor aktris ternama bermain bersama dan bersaing satu sama lain untuk menyuguhkan akting terbaik kepada publik.
So far, inilah film terbaik dari Harry Potter saga. Setelah kegagalannya dalam mengejewantahkan dua seri sebelumnya, David Yates mencoba untuk menebus kesalahannya dan terbukti sekali ini dia tidak sekadar umbar janji. Prisoner of Azkaban yang selama ini bertengger di posisi puncak sebagai hasil adaptasi terbaik terpaksa harus menyingkir dan menyerahkan tahtanya kepada Deathly Hallows part I. Pemenggalannya pun terasa pas dan membuat penonton tidak sabar untuk segera menyaksikannya 8 bulan lagi. Entah bagaimana hasil part II nanti, tapi satu hal yang pasti David Yates telah memenuhi janjinya kepada para pecinta Harry Potter untuk tetap setia kepada novelnya dan menyuguhkan banyak adegan yang menarik.
Nilai = 8/10 (Exceeds Expectations)
makin gk sabar nonton!!! XD
ReplyDeletenice review1 top markotop! haha
belum nontonnnn..... dan akan segera nontoonnnn... hehehehehehe.........
ReplyDeleteyeah, danrad memang aktingnya paling parah, ekspresi wajahnya sering blank, aktingnya lebih bgus di HBP mnurutku, itu juga cuman beberapa adegan :P
ReplyDeletesoal rupert n emwatz, well, jagoannya tetap rupert de, dia slalu bisa mncuri perhatian, baik di saat adegan kelam ataupun adegan lucu yg spertinya alami saja buat seorang rupert, he's totally Ron Weasley :-*
pertama gw mo protes dulu,,kenapa gw kagak jadi diajakin nobaaar,,teganya oh teganya dirimu tar :P
ReplyDeleteyang kedua, nice review tarsos, but dibeberapa bagian saya kok ndak setuju sama pendapat njenengan yah *piss tarsos*
well buat ge pemenggalan scene per scenenya kok entah kenapa tidak smooth yak,masi terasa ada blank or black hole gitu antara scene per scenenya..
dramanya juga kurang bagus *buat gw selama Hp dipegang yates kok rasa2nya dramanya kurang nendang gitu loh* feel n emosinya dapet karena kekuatan akting para pemerannya aja kalo menurutku IMO loh ya...Watson n Grint seperti biasa bermain sangat apik,,radcliffe yaaaa so so aja lah ya ;P *digampar langsung sama fansnya radcliffe niyh gw* bener kata jeng olie rupert grint is totally ron weasley,,gak ada yg bisa ngalahin ekspresi n mimicnya grint as ron weasle deh sepertinya hahaha..
n kesimpulannya buat gw DH part 1 ini sejauh ini belum jadi film faav gw..fav gw tetep PoA sama Sorcerer's Stone *coz i feel that through that moviee the magic touch my hearth n my world #lebai beneer dah hahahaha..
sori kalo komennya kepanjangan ye tar ;D
Terima kasih banyak ya yang sudah kasih komen :)
ReplyDelete@ anonim : thanks :)
@ smiledevils : kalau udah nonton, jangan lupa kasih komen soal filmnya ya :)
@ ollie : yah aku setuju, Rupert Grint memang yang paling bagus diantara aktor ramaja lainnya untuk urusan akting. Dan memang biasa aja, tapi jauh lebih mending lah aktingnya ketimbang akting para aktor di film sebelah *hmpfh
@ alpen : haha, maafkan diriku. besok deh ya nobar Narnia dan Tron Legacy aja :)
tak apa soal komen yg panjang, aku malah justru menyukainya. Jadi diskusi bisa berjalan. Ya, namanya juga opini ya tiap orang punya pendapat sendiri. Meski masih kurang smooth, tapi apa yg dilakukan oleh Yates disini benar" suatu kemajuan karena bagiku, HBP itu sangat buruk, makanya aku cukup amazed dengan pengarahan dia disini.
Btw, aku kok kurang suka ya dengan Sorcerer's Stone? Tak buruk seperti Yates, tapi Columbus juga biasa saja, malahan Newell dan Cuaron yg bisa dibilang sukses :)
Maaf, saya kurang setuju bila menilai garapan Yates yang lain hancur... mungkin buruk bagi Anda, tapi tidak hancur sebagai sebuah film... Justru, terutama film ke-6, merupakan pelengkap variasi film harpot agar tidak menjadi film hiburan semua. Mungkin di angka pendapatan gagal, tapi bila dilihat lebih dalam, Yates berusaha menguatkan sisi filosofis dari cerita harpot. Sebagai film filosofis, film ke-6 tergolong sukses..
ReplyDeleteBila hancur karena keluar dari novel, saya agak tidak setuju bila menilai sebuah film dengan membandingkannya dari media yang lain. Tidak akan pernah ada kecocokan bila tetap dibandingkan keduanya. Hargai film selayaknya sebuah film. Novel dan film memiiki batas keindahan yang berbeda, tidak bisa dibandingkan. Bila menilai suatu karya yang diadaptasi dari media yang berbeda, kita cenderung akan pro pada media pertama yang kita nikmati. kalau bisa, hindari sikap ini ketika menilai sesuatu. Jurus ini juga berguna bila ingin menilai suatu novelisasi dari sebuah film. jangan mengingat filmnya ketika membaca novelnya..
saya setuju pada akting danrad yang kalah dibandingkan dengan teman2nya. tapi, saya tetap melihat ada peningkatan kualitas akting danrad dari film2nya yang terdahulu.. walau tidak sesignifikan pemain yang lain.
btw, NUMPANG PROMOSI (KRITIK PENONTON)
Review terbaru kritik penonton ada lima film:
-inglourious basterds
-eat pray love
-step up 3d
-megamind
-harry potter and the deathly hallows
silakan lihat di:
http://kritikpenonton.wordpress.com/
bila berminat silakan gabung di group kritik penonton:
http://www.facebook.com/group.php?gid=273070875272&ref=ts
bisa juga follow @kritikpenonton / http://twitter.com/kritikpenonton
Terima kasih
Mohon maaf bila komentar saya menyinggung.. saya peduli pada pecinta2 film kayak Anda,, saya senang bila ada diskusi semacam ini. pada dasarnya, pendapat Anda tidak salah.. saya hanya ingin mengungkapkan pendapat saya. perbedaan pendapat akan mewarnai sebuah diskusi, bukan?
Terima kasih ya buat komennya, iya memang pendapat tidak ada yang salah. Justru pendapat" yang berbeda itulah yg membuat saya suka. Jika kita semua memiliki pendapat yg serupa, tentu dunia ini akan membosankan. Bahkan film sekelas Citizen Kane pun ada yg mengecap sebagai film yg buruk.
ReplyDeleteWah, anda keliru kalau menyebut saya membandingkan film Harpot ke-6 dg novelnya. Sejak dulu saya memang berusaha untuk tidak membandingkan dua media yg berbeda. Tapi memang bagi saya HP 6 itu sangatlah membosankan, banyak adegan yg terlalu bertele-tele dan tidak perlu, hal ini juga diamini banyak orang (bahkan yg belum membaca novelnya). Sejak awal, kita mengenal seri Harpot sebagai film hiburan, tentu kaget kalau mendadak Yates berusaha untuk menjadikannya seakan film khusus festival. Jujur, HP 6 terasa seperti film indie yg garing. Saya dan kebanyakan penonton tidak mengharapkan suguhan filosofis dari sini. Kalau terpaksa harus dibandingkan dg buku, HP 6 seharusnya menjadi babak paling tragis namun filmnya malah berjalan datar dan sungguh, 2,5 jam terasa sangatlah lama disini :)