"If you had a chance to change your fate, would you?" - Merrida
Yang bisa saya katakan seusai menyaksikan Brave di layar bioskop beberapa waktu lalu adalah saya tercengang. Seraya menunggu post-credit scene datang, saya duduk termenung beberapa saat seraya berusaha mengumpulkan potongan-potongan memori yang tersebar yang menggabungkan antara adegan-adegan dalam film tersebut dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata. Sungguh, saya belum pernah seemosional itu sejak awal tahun ini. Saya pun sama sekali tidak menyangka akan merasa sangat terpengaruh serta terlibat di dalamnya. Saat menyaksikan trailernya, Brave tak terkesan akan menjadi sebuah suguhan yang seindah ini terlebih Pixar tidak lagi menjadi studio animasi yang maha perkasa dalam beberapa tahun belakangan. Maka ketika ekspektasi saya tekan serendah mungkin, bahkan saya sendiri awalnya tidak mengetahui film ini akan bercerita mengenai apa, maka sebuah kejutan manis menghampiri saya. Berharap mendapat kecupan di pipi dari seorang gadis, malah justru diberi kecupan di bibir. Bolehlah kebanyakan orang menyebut Madagascar 3: Europe’s Most Wanted sebagai film animasi terbaik di tahun 2012 sejauh ini, akan tetapi saya tetap berpegang teguh Brave adalah yang terbaik. Sebuah kejutan manis yang sama sekali tidak saya sangka.
Dalam film besutan Mark Andrews dan Brenda Chapman ini, setting berpindah ke Skotlandia dan tokoh utama diserahkan kepada seorang putri pembangkang bernama Merrida (Kelly Macdonald). Jangan bayangkan Merrida seperti putri khas Disney yang anggun, lemah lembut, penuh kasih sayang, dan senantiasa tampil cantik. Tingkah laku putri sulung dari Ratu Elinor (Emma Thompson) dan Raja Fergus (Billy Connolly) ini luar biasa liar, sama sekali tidak terlihat keanggunan yang biasanya dimiliki oleh seorang putri mahkota. Karakter Merrida yang keras, tangguh, dan menyukai tantangan merupakan warisan dari sang ayah. Dia enggan untuk patuh kepada aturan yang ada. Inilah yang dipermasalahkan oleh Ratu Elinor. Dia menuntut anaknya untuk berperilaku selayaknya seorang putri. Ratu Elinor telah mempunyai rencana untuk putrinya, bahkan jauh sebelum Merrida dilahirkan. Segalanya telah diatur oleh sang ratu. Dasar bandel, semakin dikekang, Merrida malah justru semakin menggila. Tidak ada bedanya antara Merrida dengan ketiga adik laki-lakinya yang tingkah polahnya selalu bikin gemas penonton.
Hingga sekitar setengah jam film mengalir, saya pun bertanya-tanya, dimana konfliknya? Apakah beruang besar bernama Mor’du yang muncul di awal film dan merenggut kaki kiri Raja Fergus akan muncul kembali sebagai ‘villain’ yang keji? Rupanya tidak. Merrida menolak untuk menjalankan rencana yang telah disusun secara rapi oleh Ratu Ellinor selama bertahun-tahun. Dia tidak ingin menjalani kehidupan layaknya sang ibu. Merrida sama sekali tidak menaruh minat untuk mengemban tanggung jawab kerajaan dan tak menyetujui perjodohan hanya demi memperkokoh posisi klan mereka. Penolakan sang putri membuat Ratu Ellinor geram. Pertengkaran antara ibu dan anak pun tak terelakkan. Dikuasai oleh emosi yang memuncak serta tak mampu berpikir jernih, kedua belah pihak melakukan sebuah kesalahan besar yang membawa sebuah perubahan yang signifikan terhadap kehidupan mereka. Tanpa mengandalkan sosok villain yang dominan, Brave tetap mampu mengaduk-aduk emosi melalui hubungan Merrida dengan Ratu Ellinor yang tarik ulur.
Siapapun yang pernah mengalami sebuah fase transisi dari seorang remaja labil menuju dewasa hampir dapat dipastikan pernah merasakan bagaimana rasanya cekcok dengan orang tua seputar masa depan. Si orang tua telah membuat perencanaan yang matang, sementara si anak enggan mengikuti dan memilih untuk membuat jalan hidupnya sendiri. Beberapa anak memilih untuk ‘manut’ dengan perkataan orang tua sedangkan yang lain memilih untuk menentang. Dimanakah posisi Anda? Adanya keterkaitan secara personal inilah yang membuat saya sulit untuk tidak jatuh hati kepada Brave, apalagi ending-nya sangat menyentuh. Pixar berkampanye perihal meningkatkan intensitas komunikasi dari hati ke hati antara orang tua dengan anak sehingga miskomunikasi dapat terhindarkan. Sebuah pesan penting yang dikemas dalam film animasi 3D dengan grafis yang luar biasa indah, lembut dan detil serta ditimpali dengan humor yang menyegarkan, petualangan yang seru serta drama yang memikat. Brave memang belum mampu mengembalikan Pixar ke posisi puncak, akan tetapi ini adalah sebuah peningkatan yang melegakan dari Cars 2. Anak-anak dijamin menyukainya.
Note : Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena Brave memiliki post-credit scene di ujung film. Bersabarlah menanti.
Exceeds Expectations
ada post credit scene? *dua kali nonton, dua kali terlewat* T_T
ReplyDeleteIya, post-credit scene terletak di ujung film :)
ReplyDeleteahhh pengen nonton ini filem hiks hiks
ReplyDeleteBagi gw masih mending nonton Madagascar 3 atau Ice Age sekalian daripada Brave... Gw kurang suka, nawarin komedi nggak, live-action pun bukan... :(
ReplyDeleteBerarti kamu belum paham dengan Pixar. Film buatan mereka nggak akan sepenuhnya komedi seperti Madagascar atau Ice Age. Kalau kamu ngikutin dari jamannya Toy Story pertama hingga Brave, pasti tahu pola mereka. Walaupun kadang suka menceramahi, film mereka itu unforgettable, bahkan yang terburuk sekalipun :)
ReplyDeleteSetuju. :) Film ini benar-benar unforgettable. Apalagi bagian ending-nya yang benar-benar seperti ditampar habis-habisan. :')
ReplyDelete