"We're cops, everyone wants to kill us." - Taylor
Apakah Anda pernah menyaksikan Cops yang ditayangkan oleh kanal berbayar, Fox Crime, saban hari? Acara realita tersebut mengikuti beberapa petugas polisi yang tengah berpatroli dan memerlihatkan sepak terjang mereka kala berjibaku dengan sejumlah pelaku tindak kriminal. Film ketiga dari David Ayer setelah Harsh Times dan Street Kings yang diberi titel End of Watch ini mempunyai gaya tutur yang nyaris senada dengan acara realita peraih empat nominasi Emmy tersebut. Selama kurang lebih 109 menit, Anda akan diajak oleh Brian Taylor (Jake Gyllenhaal) dan Mike Zavala (Michael Pena), rekanan di Los Angeles Police Department, menyusuri jalanan di Los Angeles bagian selatan dimana kriminalitas merajalela sehingga memaksa para petugas yang diterjunkan ke wilayah ini untuk senantiasa waspada setiap saat. Ayer menyampaikan kisah dua sahabat ini dengan menerapkan teknik kamera handheld yang membuat film menyerupai sebuah tayangan reality show. Ya, seperti yang saya tulis di awal paragraf, End of Watch mengingatkan pada Cops. Apabila Anda menggemari Cops, maka tentu sulit bagi Anda untuk menampik pesona dari End of Watch.
Tidak seperti film bergaya mockumentary kebanyakan, film garapan Ayer ini menghindari sebuah pola penceritaan yang runtut dengan tata waktu simetris. End of Watch diperlakukan selayaknya sebuah acara realita. Seolah-olah ada seorang produser dengan kewenangan penuh dalam menentukan potongan-potongan peristiwa mana saja yang sekiranya mampu mengundang perhatian penonton yang akan dimasukkan ke dalam film. Itulah mengapa film loncat kesana kemari. End of Watch mengawali kisah dengan sebuah ‘car chase scene’ yang cukup seru dimana aktivitas tersebut direkam oleh Brian untuk proyek filmnya. Pengejaran tersebut berakhir petaka setelah Brian dan Mike memberondong para tersangka dengan tembakan. Aksi kedua polisi ini mendapat teguran, terlebih keputusan Brian untuk memfilmkan setiap hela nafas kehidupannya mengganggu para rekan kerjanya terutama Van Hauser (David Harbour). Menit demi menit berikutnya, penonton digiring untuk menyaksikan rangkaian tindakan heroik – dan tidak jarang, tolol, iseng, dan menjengkelkan – dari kedua tokoh utama film ini.
Di sela-sela rutinitas pekerjaan yang beresiko tinggi, Ayer tidak lupa untuk memperkenalkan latar belakang dari Brian dan Mike walau hanya sebatas pada kehidupan asmara mereka. Mike telah memiliki seorang istri, Gabby (Natalie Martinez). Keduanya tengah menanti momongan pertama mereka. Sementara Brian yang terbiasa gonta-ganti pasangan akhirnya bertekuk lutut saat bertemu dengan Janet (Anna Kendrick). Dikemas dalam bentuk percakapan santai penuh humor, subplot ini menjadi pencair ketegangan seusai mengikuti duo sahabat ini berpatroli di kawasan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang tidak terduga. Dengan adanya persaingan panas antara kartel dari Mexico dengan kartel kulit hitam untuk menguasai wilayah, maka sudah jelas nyaris tidak ada kesempatan bagi mereka untuk bersantai. Berhenti di pinggir jalan sambil menyeruput kopi dan melahap donat? Bisa saja dilakukan jika Brian dan Mike memutuskan untuk menjadi polisi malas atau polisi korup. Untungnya, Ayer tidak menggambarkan mereka seperti itu. Brian dan Mike dikisahkan sebagai sosok yang gemar menantang maut dan mengambil resiko saat tengah bertugas. Inilah yang kemudian menuntun mereka kepada ‘villain’ utama dari film ini yang.... harus Anda cari tahu sendiri.
Sungguh menyenangkan menyaksikan sebuah film dimana Anda merasa seolah-olah ikut terlibat di dalamnya. Tidak ada satupun momen dalam End of Watch yang membuat saya terkulai lemas kebosanan atau menguap lebar-lebar di dalam bioskop. Kerjasama yang solid antara pemain dan kru membuat Ayer mampu mengarahkan film ketiganya ini secara maksimal. Kekuatan utama dari film ini terletak pada naskahnya yang patut mendapat acungan jempol dimana dialog-dialognya yang mengalir lancar mampu menggambarkan keintiman dari setiap tokoh di film ini; baik Brian, Mike, Gabby, maupun Janet. Dari sinilah Ayer membangun ikatan antara penonton dengan setiap tokoh di film ini. Menyaksikan mereka berinteraksi dengan dialog-dialog yang seru, menggelikan, sekaligus menyentuh. Dengan hadirnya ikatan, maka rasa empati penonton pun secara otomatis tumbuh. Apapun yang dilakukan oleh keempat tokoh utama film ini, saya peduli. Saya merasa kenal dekat dengan mereka. Saya merasa menjadi bagian dari lingkaran kehidupan mereka. Dan ini membuat film terasa menyenangkan.
Chemistry yang terjalin antara Jake Gyllenhaal dan Michael Pena luar biasa padu, intim dan believable. Dengan sokongan naskah dan pengarahan yang mumpuni dari Ayer, mereka kian bersinar. Kala menyaksikannya, saya benar-benar dibuat percaya bahwa mereka adalah rekanan yang telah bekerjasama selama bertahun-tahun. Dinilai dari cara mereka beraksi di lapangan, berkomunikasi maupun bersenda gurau. Dua aktris, Natalie Martinez dan Anna Kendrick, dengan porsi tampil tidak terlalu banyak dan mengiaskan bahwa mereka dimaksudkan untuk menjadi pemanis mata, sanggup mengimbangi Gyllenhaal dan Pena. Anna Kendrick sekali lagi berteriak lantang, “berikan aku peran apapun, meski kecil sekalipun, aku akan melahapnya dengan habis!.” Di luar skrip yang matang dan dalam serta para pemain yang bermain apik, keunggulan lain dapat ditilik dari pengambilan gambar serta editing cekatan dari Dody Dorn.
Memang, dengan mengaplikasikan teknik kamera handheld yang senantiasa bergerak dan penuh goncangan, konsekuensi yang kudu dihadapi adalah tidak semua penonton bisa menerimanya. Cukup memusingkan. Jika Anda mudah mual, bukan tidak mungkin akan muntah. Selain itu, sudut pandang yang terkadang kurang tepat – dimana seharusnya tidak ada kamera bertengger di beberapa sudut mengingat film ini mengusung gaya mockumentary – terasa mengganggu di beberapa kesempatan dan sedikit banyak menodai konsep realistis yang ingin diusung Ayer. Akan tetapi, dengan teknik inilah penonton justru lebih terkoneksi dengan apa yang tersaji di hadapannya. Seolah apa yang tengah disaksikan adalah peristiwa nyata, bukan sebuah film. Tentu saja hal ini sia-sia belaka jika tidak mendapat sokongan dari departemen lain, khususnya akting dan skrip. Maka sesuatu yang wajar jika Ayer melayangkan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada para aktor yang telah berakting natural dan membangun chemistry yang meyakinkan serta intim. Pada akhirnya, End of Watch bukanlah ‘another buddy cop movie’ dengan konsep yang usang dan mudah ditebak. Memilih pendekatan baru untuk genre ini dengan mencampurkan found footage dan mockumentary, menyuntikkan hati, dan menyeimbangkan antara aksi, drama serta sedikit ‘teror’, End of Watch pun berakhir sebagai sebuah hidangan yang sederhana namun lezat. It’s gripping, intense, and fun. It brought every single one of my emotions out. I highly recommend it.
Exceeds Expectations
Diluar dugaan ini film keren. Saking pedulinya sama dua karakternya pas adegan klimaks rasanya bener-bener tegang :D
ReplyDeleteTegang dan menyentuh ya :) Saya pun tidak menduga film ini akan keren. Awalnya saya kira tidak akan jauh beda dengan Training Day. Ternyata...
ReplyDeleteSaya ngantuk nntn neh film
ReplyDeleteAku belum nonton .____.
ReplyDeleteWaaah thank youuu jadi ada referensi
ReplyDelete