“Kota disebut maju bukan karena
penduduk miskinnya mampu beli mobil baru. Tapi orang kayanya mau naik kendaraan
umum.” - Karina
Mobil-mobil mewah yang meluncur cepat dalam balapan ilegal di jalanan sempit ibukota, dominasi kaum testosteron tegap atletis yang diwarnai rivalitas tak berkesudahan, hingga kehidupan malam yang serba glamor lengkap dengan para gadis bertubuh seksi yang tidak henti-hentinya menggoda... terdengar seperti salah satu jilid dalam franchise laris Fast & Furious, namun ini adalah deskripsi singkat untuk garapan terbaru Awi Suryadi (Claudia/Jasmine, Viva JKT48), Street Society. Tidak ada yang menyalahkan Anda jika memiliki anggapan Street Society sebagai versi lokal dari Fast & Furious. Kebesaran nama franchise tersebut membuat film apapun yang mengulik seputar balap liar di era jejaring sosial ini sulit terhindar dari pengaitan dengan franchise yang membesarkan nama mendiang Paul Walker tersebut – bahkan itu juga berlaku untuk film Hollywood sekalipun. Street Society pun mengakui secara terang-terangan sumber inspirasinya melalui desain poster, trailer, serta sinopsis yang sedikit banyak dikemas mirip.
Apakah ini lantas berarti bahwa Street Society tak lebih dari sekadar imitasi, plagiarisme, rip-off, copy paste, atau apalah itu sebutannya? Tidak. Awi Suryadi tidak mengizinkan salah satu proyek ambisiusnya ini berakhir sia-sia sebagai film penuh contekan – walau saya sama sekali tidak keberatan, selama film tersebut tergarap serius dan meyakinkan. Kemiripan dalam kasus Street Society pun berakhir hanya sebatas pada tampilan luar semata karena saat kita menjelajah filmnya lebih jauh, menjadi semakin terlihat berbeda.
Tidak ada polisi yang menyamar di sini, hanya ada seorang lelaki kaya yang alergi terhadap komitmen, juara bertahan dalam street racing, dan mengagungkan hedonisme bernama Rio (Marcel Chandrawinata). Musuh bebuyutannya adalah Nico (Edward Gunawan), pewaris sindikat kejahatan di Surabaya, yang senantiasa mengusiknya untuk melakukan pertandingan ulang setelah kekalahan yang memalukan di Jembatan Suramadu. Rio tidak menggubris permintaan dari Nico, terlebih hadirnya Karina (Chelsea Islan) telah membuat prioritas hidupnya perlahan mulai berubah dan lebih terarah. Akan tetapi, waktu belum menghendaki Rio untuk menikmati kehidupan yang tenang dan damai sentosa. Seorang pembalap dengan masa lalu yang kelam, Yopie (Edward Akbar), mendekatinya. Bukan sekadar untuk uji kecepatan di arena, melainkan merekrutnya untuk melakukan sebuah misi berbahaya yang apabila ditolak oleh Rio... nyawa Karina menjadi taruhannya.
Tidak banyak harapan yang saya tanamkan untuk Street Society. Selama film ini berhasil membuat saya terhibur dan tidak menguap kebosanan, itu sudah lebih dari cukup. Dengan mesin Street Society yang agak susah panas pada putaran awal dimana butuh waktu bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan film – adegan pembuka yang menyatukan gelaran aksi berupa balap mobil di atas Jembatan Suramadu dengan sentuhan humor yang mengganggu, terasa janggal – merupakan pertanda yang kurang baik. Ada rasa was-was film yang skripnya ditulis oleh Agasyah Karim dan Khalid Kashogi ini akan menjadi kian kering dan menyiksa. Namun untungnya kekhawatiran saya tidak pernah terjadi. Ditandai pertama kali oleh kemunculan Chelsea Islan di layar (dengan aura kecantikan yang bersinar terang), nyawa film perlahan lahan mulai terkumpul.
Street Society menjadi semakin baik (dan semakin baik) saat kita mengetahui bahwa ini bukan sekadar film tentang adu kecepatan atau ajang pamer ‘mobil siapa yang lebih keren’. Ada romantisme yang terbungkus manis di dalamnya, aksi berbentuk kebut-kebutan dan baku hantam dengan intensitas yang cukup, hingga jalinan kisah berlumur twist yang akan membuat Anda terkecoh sekaligus menahan perhatian Anda hingga babak terakhir. Ditunjang oleh akting mengesankan dari beberapa pemainnya, terutama Chelsea Islan yang semakin menunjukkan kematangan dalam akting setelah menjadi dewi penyelamat di Refrain dan Edward Gunawan yang akan membuat Anda senantiasa geli melihat tingkah lakunya (in a good way), deretan tembang yang sukses menghidupkan suasana, editing yang lincah, dan kelihaian Roby Herbi dalam membingkai gambar, Street Society pun terhidang sebagai sebuah tontonan eskapis yang fun.
Pengharapan awal saya untuk mendapatkan sebuah sajian yang menyenangkan dan menghibur pun terpenuhi. Walau Street Society (tentunya) masih jauh dari kata sempurna, tetapi sebuah upaya untuk memberikan warna baru dalam sinema Indonesia seperti ini seharusnya tetap dirayakan dengan suka cita.
Exceeds Expectations
baru nonton malam ini...mnrtku sangat membosankan...akting si cewek chelsea pas antagonisnya kluar kaku...ending yang masuk ke truk container jd inget film escape plan...memang jauh dr sempurna...dan beda dengan fast furious...seperti ntn film yang isinya cm pamerin mobil...tapi lumayanlah buat batu loncatan buat bikin film balapan yang nantinya sempurna
ReplyDeleteYah, semoga saja sineas Indonesia tidak kapok membuat film semacam ini dan segala kekurangan di Street Society bisa dijadikan pembelajaran untuk film-film berikutnya :)
ReplyDeletebad movie,,,terlalu sinetron dan gak original...boring,,,
ReplyDelete