“I've met my demons and they are many. I've seen the devil,
and he is me.”
Telah menginjak separuh jalan menapaki tahun 2014, apakah Anda telah menemukan sebuah film horor yang meresap hingga ke ulu hati? Adakah? Tahun ini memang bersinar terang bagi film yang pijakan sumber aslinya adalah komik superhero, tetapi bagi film horor... errr, tunggu dulu. Kekeringan film horor berkualitas, ada pertanda bahwa musim paceklik untuk genre ini akan datang. Dua film (maunya) seram yang hadir di awal tahun semacam Paranormal Activity: The Marked Ones dan Devil’s Due adalah lelucon yang menyakitkan bagi penggemar film memedi. Lagipula, masa kejayaan found footage telah berlalu dan kesenangan dalam menyimaknya telah berlungsuran. Saat ini adalah masa-masa dimana film horor bergaya konvensional kembali menunjukkan taringnya ke khalayak ramai. Menyadari penuh tren tersebut, Mike Flanagan (Absentia) pun mengolah film pendeknya untuk diwujudkan sebagai konsumsi penonton bioskop dalam wujud Oculus.
Yang dikupas oleh Oculus pun sebetulnya klasik; sebuah keluarga kecil bahagia yang pindah rumah ke pinggiran kota terancam bahaya akibat ulah sang ‘penunggu rumah’. Tidak selayaknya film horor kebanyakan (terutama dari dalam negeri, uhuk!) yang kelewat sering mengobral penampakan dengan korelasi cerita yang patut dipertanyakan, Oculus memilih untuk berjalan santai di permulaan film. Cenderung menguji kesabaran bagi Anda yang mengharap Flanagan akan menggeber teror tiada henti sepanjang durasi. Menit-menit awal dimanfaatkan untuk membangun pondasi cerita, memperkenalkan penonton kepada kakak adik, Kaylie (Karen Gillan) dan Tim (Brenton Thwaites), yang mendapat pengalaman buruk dengan makhluk gaib di rumah anyar mereka pada sepuluh tahun silam. Lalu, memanfaatkan pola penuturan kilas balik, secara bergantian si pembuat film menyoroti Kaylie dan Tim dewasa dengan Kaylie (Annalise Basso) dan Tim (Garrett Ryan) yang masih bocah.
Yang perlu Anda lakukan selama menonton adalah ketelitian dalam menyimak jalannya tuturan penceritaan. Metode flashback yang digunakan oleh Flanagan seolah dihadirkan sesuka hati, menyelinap di sela-sela, dan terkesan bercampur baur tanpa ada aba-aba secara pasti. Setidaknya hingga memasuki pertengahan film, Oculus sukses membuat saya mengalami fase gregetan; apa yang ingin diutarakan oleh film ini? Dimanakah letak keseraman yang dijanjikan? Menilik jejak rekam sang sutradara yang sebelumnya memerlakukan Absentia dengan cara serupa (malah lebih parah), ini bisa dimengerti. Dalam masa-masa penjabaran kisah, teror terlahir dalam bentuk nuansa serba misterius, terasa mengganggu, dan ganjil yang menyelimuti keluarga Russell. Penampakan yang membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop belum dirasa perlu untuk ditampilkan pada titik ini. Fokus terletak pada membangun ikatan penonton dengan para karakter, suasana rumah, dan si benda misterius.
Seperti yang terjadi pula dalam salah satu film horor terbaik, The Shining, sedikit demi sedikit ketidakberesan mulai terendus lewat sikap tak wajar dari salah satu tokoh. Seiring berjalannya waktu, ketika Flanagan mulai merasa perlu melepaskan teror, tingkah gila tokoh tersebut semakin tidak terkontrol dan merembet pula ke tokoh lain. Inilah saat yang Anda nanti-nantikan ketika ketenangan mulai berubah menjadi bencana. Ketegangan perlahan mendaki ke atas. Kekacauan yang terjadi di masa lalu Kaylie dan Tim, tanpa disadari turut menyaru dengan masa kini. Penonton (dan juga dua jagoan kita ini) kesulitan untuk membedakan realita dan khayalan. Si benda misterius – saya bocorkan saja, ini cermin – menyimpan kekuatan jahat yang tidak terbayangkan dan memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dilumpuhkan. Semakin kuat Kaylie dan Tim memberikan perlawanan, maka semakin kuat pula tingkat pertahanan yang dikedepankan oleh si cermin. Menuntaskan perkara pun tak semudah memecahkan kaca cermin, karena yah itu bukan solusi... sama sekali.
Lalu, bagaimana upaya yang ditempuh oleh Kaylie dan Tim untuk menghindari terulangnya sejarah kelam kehidupan mereka setelah berbagai percobaan yang disiapkan secara matang oleh Kaylie hanya menemui jalan buntu? Sebuah pertanyaan penting yang rasa-rasanya menghiasi angan-angan setiap penonton. Fase gregetan yang hadir saat gelaran teror tak kunjung dimulai, kembali menampakkan diri di sini dengan adanya aliran plot yang berkelok-kelok disertai pula munculnya penampakan yang beberapa diantaranya ampuh menyebabkan saya terlompat-lompat, bulu kuduk merinding, hingga (yang terbaik!) membuat beberapa penonton perempuan di samping saya mengiba-iba kepada pasangannya untuk membawanya keluar dari gedung bioskop. Tentu saja ini pengalaman yang tidak akan Anda dapatkan saat menonton Oculus di depan laptop sendirian, bukan?
Exceeds Expectations
Romulus is a type of how horror movie should be.it's original,well written,it's smart and also scary..supported by brilliant performance by the cast,but the real star nonetheless is young Kylie..terrific acting from someone that young.
ReplyDelete