July 26, 2014

REVIEW : STEP UP: ALL IN


Menapaki instalmen kelima, franchise Step Up yang memulai langkahnya delapan tahun silam ini jajal hadir dalam suasana lebih gegap gempita dari sebelumnya. Caranya? Bukan saja lewat pertarungan tari yang dipersiapkan (sekaligus diharapkan) epik, tetapi juga lewat reuni akbar. Ya, Trish Sie mengambil alih posisi Scott Speer di tampuk penyutradaraan mengundang wajah-wajah lama pemeriah franchise dari angkatan pertama hingga Step Up: Revolution untuk diajak bernostalgia bersama para penggemar berat. Tidak semuanya bisa hadir, memang, seperti Channing Tatum, Jenna Dewan, Rick Malambri, Kathryn McCormick dan Robert Hoffman yang sungguh disayangkan malah absen (damn!). Tapi tenang, sekalipun kesan ditimbulkan mungkin tak secetar seharusnya, Step Up: All In masih memberikan suasana meriah yang diharapkan. Ya, seperti yang sudah-sudah, jilid ini pun dibekali rangkaian pertarungan tari apik walau untuk sekali ini tidak cukup kuat mengangkat film ke tataran terpuji dan menghapuskan kehampaan yang melingkupi. 

Melanjutkan dari apa yang tersisa dari seri sebelumnya, Step Up: All In berfokus pada Sean (Ryan Guzman) dan grup tari miliknya, The Mob, yang mencoba peruntungan berkarir di Los Angeles setelah berkesempatan membintangi iklan untuk Nike. Hanya saja, sekalipun sebuah produk ternama tertera dalam riwayat kerja, tidak lantas menjamin jalan The Mob menggapai mimpi di Hollywood berlangsung mulus tanpa hambatan. Terkatung-katung berbulan-bulan setelah kegagalan di beragam audisi, semangat juang grup ini perlahan tapi pasti menguncup. Puncaknya, saat surat peringatan penunggakan pembayaran apartemen dilayangkan. The Mob memutuskan balik kampung ke Miami meninggalkan Sean yang masih berambisi mencapai kejayaan. Di tengah keterpurukan, Sean pun menelusuri sejumlah audisi tari di dunia maya yang membawanya pada sebuah jalan keluar berbentuk ‘The Vortex’, sebuah kompetisi tari berhadiah kontrak tampil tiga tahun di Las Vegas. Tidak memiliki grup tari, Sean pun meminta bantuan Moose (Adam Sevani) yang lantas menghubungi rekan-rekan lamanya dari jilid terdahulu, termasuk Andie (Briana Evigan), untuk membentuk grup anyar bernama LMNTRIX dan berjuang bersama menaklukkan kompetisi. 

Setipis kertas adalah analogi tepat dalam mendeskripsikan seperti apa bobot tutur di Step Up: All In. John Swetnam enggan bersusah payah mengkreasi plot baru dan sekadar copy paste dari tatanan pengisahan yang diciptakan oleh para seniornya. Bukan permasalahan baru, sebetulnya, karena lantunan cerita sejak Step Up hingga Step Up: Revolution pun nyaris tak mengalami perombakan berarti dan cenderung berjalan di tempat. Masih saja generik pula mudah tertebak. Hal ini kerap diwajarkan lantaran fokus utama film terletak pada pengemasan gerak tarinya serta (baru-baru ini) pemanfaatan 3D. Akan tetapi, saat franchise telah dihadapkan pada titik jenuh, maka pengulangan tuturan back-to-basics jelas bukanlah solusi terbaik yang bisa diberikan terlebih Revolution telah sedikit banyak berani keluar dari comfort zone menyingkirkan segala keklisean berbau kompetisi dan klub dansa. Ketimbang membawa franchise – yang mulai menunjukkan perkembangan pada Step Up 3D – bergerak maju ke level lebih tinggi, All In malah justru mundur teratur. 

Departemen musik yang biasanya bertindak sebagai dewa penolong pun, untuk sekali ini, terbentur persoalan serupa. Isian tembang bersifat easy listening sukar dijumpai di sini sehingga tidak terbentuk momen ‘Club Can’t Handle Me’, ‘Goin’ In’, atau ‘Low’ yang secara magis mampu menyihir penonton untuk turut menggoyangkan tubuh – atau minimal menghentakkan kaki – dengan riang. Sungguh sayang. Tapi untungnya, koreografi tari yang merupakan amunisi utama dari film tidak turut terseret ke lubang hitam menyedihkan yang sama. ‘Wow factor’ memang agak berkurang di sisi dance sequence, namun sulit disangkal bahwa adegan puncak yang berlangsung di panggung ‘The Vortex’ – konsepnya seperti perpaduan antara The Voice dan So You Think You Can Dance – terhidang cukup memukau, megah meriah, dan cantik. Memberikan penghiburan di atas keringnya naskah maupun tokoh utamanya, Sean, yang cenderung menjengkelkan daripada karismatik. Setidaknya, uang dan waktu untuk menghadiri ajang reuni yang hambar ini tak terhambur sia-sia.

Acceptable

1 comment:

  1. gw aneh sama beberapa hal. knp sean jd karakter yg nyebelin d sini. pdahal sebelumnya kan chara nyebelin n egois tuh c eddie, temennya. sean jd aneh bgt d sini. n yg katanya all in yah ga sesuai yg dharapkan. ngapa pasangan tokoh utama andie n sean kagak nongol lg? malah bkin romance bru. jd bkin gw gregetan. yup. adegan dance paling cetar emg pas final yg andie niup2 api itu wow b.g.t

    cerita romance om robot gedhek gw mayan suka dah. lucu. yg romance penari emak2 sama violet kayak rada maksa tp oke lah. ga nahan gaya lebaynya alexxa brava. ampun2an dah mengingatkan gw sama effie hunger games

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch