December 27, 2014

REVIEW : PADDINGTON


“In London, everyone is different, but that means anyone can fit in.” 

Di Indonesia, popularitas beruang menggemaskan dari pedalaman Peru bernama Paddington boleh jadi kurang bergema dibandingkan rekan-rekan sejawatnya semacam Winnie the Pooh, Yogi, atau Barney. Tidak banyak yang betul-betul mengenalnya meski Paddington tergolong salah satu karakter fiksi paling digemari di berbagai belahan dunia lain sejak kemunculan pertamanya di buku literatur anak asal Inggris kreasi Michael Bond pada tahun 1958. Semenjak itu, sosok beruang penggemar selai jeruk ini telah menghiasi puluhan edisi buku yang diterjemahkan ke 30 bahasa, beberapa judul serial animasi khusus televisi, hingga mendapat kesempatan untuk beraksi di layar lebar lewat proyek ambisius berbujet mahal milik Studio Canal berjudul yah, apalagi jika bukan Paddington. Sempat terkatung-katung tanpa adanya kepastian selama 5 tahun lamanya, versi bioskop Paddington akhirnya dilepas ke publik pada akhir 2014 sebagai sajian untuk keluarga pengisi libur Natal dan Tahun Baru. 

Memulai segalanya dari awal, kita berkenalan dengan Paddington (Ben Whishaw) yang hidup damai, santai, serta penuh kebahagiaan bersama paman bibinya yang sudah uzur, Aunt Lucy (Imelda Staunton) dan Uncle Pastuzo (Michael Gambon), di pedalaman Peru seolah-olah tak ada lagi yang bisa diminta lebih dari ini terlebih mereka pun bergelimangan selai jeruk yang menjadi makanan favorit bagi mereka. Akan tetapi, kehidupan ideal bagi Paddington dan keluarga kecilnya ini mendadak direnggut setelah Uncle Pastuzo meninggal dalam sebuah gempa besar yang menghancurkan kediaman mereka. Aunt Lucy lantas mengirim Paddington ke London yang digambarkan oleh seorang penjelajah di masa lampau, Montgomery Clyde, sebagai kota paling ramah di dunia dengan harapan memperoleh tempat tinggal layak. Ketimbang mendapat sambutan hangat, kehadiran Paddington di London justru disambut dingin yang seketika memupuskan mimpinya memperoleh rumah idaman hingga takdir menghantarkannya pada keluarga Brown. 

Sebetulnya, Paddington dibangun di atas fondasi bercerita yang tidak terlampau istimewa dan sedikit menawarkan pembaharuan. Kisah mengenai pencarian satu tokoh yatim piatu di wilayah baru untuk menemukan kehangatan kasih keluarga telah berulang kali menjadi pokok utama kupasan di film-film keluarga terlebih jika ditujukan sebagai hidangan Natal sehingga bolehlah kita menyebutnya sebagai sesuatu yang usang. Pun demikian, seperti dikatakan oleh seorang bijak, “barang usang sekalipun bisa bersinar apabila digosok secara cermat.” Itulah yang berhasil dilakukan oleh Paul King kepada Paddington. Menunjukkan bahwasanya film dengan tuturan daur ulang sekalipun masih sanggup dipresentasikan dengan tampilan mengesankan karena kuncinya, bagaimanapun, terletak pada eksekusi. Paddington memberi penonton nuansa kental ‘holiday movies’ yang menyatukan antara kekonyolan, keseruan, dan kehangatan dalam petualangan penuh kesenangan nyaris tanpa akhir bercita rasa sangat British

Ya, Paddington mencuplik formula kesuksesan yang diterapkan oleh Home Alone, Stuart Little, dan 101 Dalmatians lalu memberinya sedikit sentuhan a la Wes Anderson pada tampilan visual... and it works very well! Sulit menampik pesona yang dipancarkan oleh Paddington terlebih tim efek khusus mewujudkan sang protagonis dalam wujud sesosok beruang menggemaskan, adorable, dan charming yang diberikan jiwa secara sempurna oleh suara dari Ben Whishaw. Jajaran pemain di departemen akting pun memberi performa yang tak kalah bagusnya, dari Hugh Bonneville sebagai Mr Brown dengan adegan penyamarannya yang menjadi salah satu bagian terbaik film (sangat kocak!), Sally Hawkins membawa kehangatan pada Mrs Brown, dan Nicole Kidman dalam peran antagonis yang mengingatkan kita kepada kekejaman Cruella de Vil. Pada akhirnya, Paddington adalah obat rindu bagi siapapun yang mendambakan berlibur beramai-ramai bersama keluarga tercinta seraya menyaksikan holiday movie di bioskop. Ada banyak kesenangan berbalut canda tawa di sini semenjak pemandangan indah hutan Peru terhampar, lalu berlanjut ke kekacauan di rumah keluarga Brown, hingga memuncak di museum. Seluruh hura-hura ini lantas disusupi oleh hati yang memberikan rasa hangat dan feel-good seusai menontonnya.

Exceeds Expectations


No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch