May 22, 2016

REVIEW : AISYAH BIARKAN KAMI BERSAUDARA


"Sebaik-baiknya sarjana adalah yang mengabdikan ilmunya untuk masyarakat. Sementara sarjana yang sekedar bekerja itu sarjana kelas dua."

Walau sejatinya secara personal telah mengalami kejenuhan teramat sangat menyaksikan film berembel-embel reliji, Aisyah Biarkan Kami Bersaudara mempunyai dua daya tarik cukup kuat yang membuat saya tak kuasa memberi penolakan. Pertama, keterlibatan Laudya Cynthia Bella yang permainan lakonnya tengah menguat, dan kedua, Aisyah Biarkan Kami Bersaudara mengusung isu agak berbahaya di bawah penanganan salah kaprah mengenai toleransi antar umat beragama. Sempat ketar ketir film ini akan berakhir seperti selayaknya sederet film religi buatan sineas tanah air dalam beberapa tahun belakangan yang guliran penceritaannya kelewat tendensius serta penyampaian pesan moral serba verbalnya justru bikin telinga panas alih-alih bikin hati adem, kenyataannya Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (baiklah, biar tidak terlalu panjang, sebut saja Aisyah BKB) justru tidak demikian. Dihantarkan elegan tanpa terlihat kelewat bernafsu untuk mengkhotbahi penonton menjadikan Aisyah BKB terasa begitu indah, hangat, menyentuh sekaligus penting. Mungkin masih terlalu dini, namun saya memiliki keyakinan kuat Aisyah BKB akan menjadi salah satu kandidat kuat peraih kategori Film Terbaik di berbagai ajang penghargaan film pada akhir tahun ini. 

Bersama Aisyah (Laudya Cynthia Bella), kita memasuki sebuah perkampungan bernama Dusun Derok, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang sangat terpencil. Tujuan Aisyah sendiri merantau jauh dari Jawa Barat ke perkampungan ini adalah untuk mengajar. Yayasan tempat dia mendaftarkan diri menugaskannya ke NTT. Walau sempat ditentang keras oleh sang ibu (Lydia Kandou) lantaran khawatir putrinya tersebut kesulitan beradaptasi mengingat lingkungan yang sama sekali berbeda, Aisyah tetap teguh pada pendiriannya karena ingin mewujudkan harapan almarhum ayah: menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Tidak mudah bagi Aisyah melewati hari demi hari di Dusun Derok. Selain akses ke dunia luar terhitung ribet yang jangankan memperoleh sinyal seluler, kampung ini bahkan tidak mendapat aliran listrik sampai-sampai untuk mengisi baterai ponsel genggamnya Aisyah harus menitipkannya terlebih dahulu ke pedagang sayur keliling, Aisyah juga mendapat penolakan keras dari salah satu muridnya, Lordis Defam (Agung Isya Almasie Benu), hanya karena berbeda agama. Beruntung Aisyah memperoleh dukungan dari Pedro (Arie Kriting) dan para warga sehingga perlahan tapi pasti cita-citanya dapat terwujud. 

Aisyah BKB adalah film reliji. Itu betul. Tapi dia bukanlah film reliji konvensional yang hanya mempergunjingkan isu personal satu agama saja melainkan cenderung universal seolah-olah ingin mengingatkan bahwa Indonesia bukan cuma ada Islam. Topik pembahasan utama di film arahan Herwin Novianto (Tanah Surga... katanya, Jagad x Code) ini mengenai toleransi antar umat beragama. Si pembuat film mencoba menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih indah ketimbang cinta dan kasih. Salah satu materi promosi film, yakni trailer, memang seolah mengindikasikan masyarakat Dusun Derok yang notabene beragama Katolik menunjukkan ketidaksukaan atas keberadaan guru beragama Islam di kampung halaman mereka. Entah telah menonton filmnya atau belum, beberapa netizen menyalahpahami Aisyah BKB sebagai bentuk propaganda agama tertentu untuk membenci agama tertentu. Kenyataannya, bukan wajah-wajah penuh amarah yang ingin ditunjukkan oleh film ini, melainkan keharmonisan. Bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang untuk bersosialisasi dan paling penting, saling membantu satu sama lain. Bagusnya, konsep soal pluralisme agama tersebut tak didefinisikan kebablasan oleh Herwin maupun sang peracik skenario, Jujur Prananto. 

Tidak ada adegan Aisyah mengikuti perayaan Natal meski dia diperlihatkan membantu murid-muridnya menyusun pohon Natal atau Aisyah terpaksa menyantap daging babi untuk makan malamnya sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah mengingat tidak ada pilihan lain (well, kecuali mi instan) sementara dia juga memiliki masalah pencernaan. Tidak ada. Sikap toleran yang ditunjukkan Aisyah, begitu pula murid yang dekat dengannya, Siku Tafares (Dionisius Rivaldo Moruk), dan penduduk kampung masih sebatas sesuai porsi. Demi beradaptasi dengan lingkungan baru yang mendadak menempatkannya sebagai minoritas, Aisyah tidak lantas menanggalkan ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Penduduk kampung juga tidak menunjukkan pelarangan atau menyusahkannya. Satu-satunya kebencian yang diterima oleh Aisyah berasal dari Lordis Defam. Itupun dilandasi alasan kuat dan masuk akal. Tumbuh bersama seorang paman yang pemarah, Lordis dicekoki pemikiran bahwa Aisyah akan menghancurkan gereja-gereja di sekitar mereka. Mengingat berita mengenai penghancuran gereja oleh ormas Islam tengah merebak lalu Lordis plus beberapa kawan, pada mulanya, bisa jadi belum pernah mengenal berkawan langsung dengan seseorang beragama Islam, ketakutan berbuah kebencian ini bisa dipahami. 

Pun begitu, Aisyah BKB tidak menghabiskan waktunya untuk sekadar membahas persoalan tersebut. Si pembuat film lebih asyik memotret momen-momen kebersamaan Aisyah bersama para muridnya beserta warga kampung yang seringkali menyentuh hati. Kita melihat Aisyah yang aura meneduhkannya berhasil dipancarkan oleh Laudya Cynthia Bella menerapkan sistem pengajaran menyenangkan lalu sesekali mengajak murid-muridnya berjalan-jalan ke kota, membantu Bu Dusun mengambil air, sampai memberikan solusi atas kurangnya air bersih di desa. Adanya chemistry bagus antara Bella dengan para pelakon lain khususnya Dionisius Rivaldo Moruk dan Arie Kriting (dalam lakon terbaiknya!) semakin memberi keyakinan bahwa setiap penduduk mempunyai hubungan dekat yang sangat baik satu sama lain. Maka ketika ada satu momen penuh kebaikan muncul – Roger Ebert selalu berkata, kebaikan lebih sering membuatnya emosional ketimbang kesedihan – diiringi musik grande dari Tya Subiakto, sulit menahan aliran air mata. Adegan mendekati penghujung film yang melibatkan ibu-ibu perkampungan ini berpotensi menceramahi, namun skrip, akting, musik, dan pengarahan cermat membawanya sebagai salah satu highlight bagi film yang inspiratif ini. Inspiratif? Ya, karena saya juga memiliki keyakinan para penonton akan tergerak hatinya untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi sesama selepas menyaksikan Aisyah BKB. What a lovely movie!

Adegan favorit : Ada tiga. Pertama, saat Aisyah makan malam bersama para penduduk desa untuk pertama kalinya. Kedua, kala ibu-ibu kampung menemui Aisyah. Dan terakhir, adegan 'serah terima' sajadah. Bikin hati berdesir saking indahnya.

Outstanding (4/5)



4 comments:

  1. Senang sekali, semoga banyak yang sependapat dengan anda dan banyak yang menonton.

    ReplyDelete
  2. Baru nonton kemaren
    Adegan favorit yang sangat mengharukan waktu ibu2 dateng untuk menyerahkan uang pada Aisyah dan pepisahan dengan para murid serta warga kampung

    ReplyDelete
  3. Apalah daya kalo cinetariz sudah bilang outstanding. Susah kaki buat nolak buat nonton film ini hahaa... apalagi, Laudya Cintya Bella makin ke sini makin bagus banget aktingnya!!! Semoga memang pesan toleransinya nyampe. Selama ini film-film tema toleransi malah suka jadi salah kaprah dan bikin pengen nasehatin yang bikin film hehehe....Sudah hampir empat tahun ini ngikutin cinetariz dan berhubung review-nya jarang beda sama perndapat saya pribadi. Lama-lama jadi kebiasaan kalo mau nonton film pasti buka blog ini dulu wkwk..maklum, ga mau buang-buang duit buat film yang kualitasnya ala kadarnya.
    Makasih....semoga makin mantaplah...^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Whoaaa... makasih banyak udah menjadi pengunjung setia blog ini. Jadi terharu nih mendengarnya dan jadi makin bersalah juga karena sudah jarang banget update. Ingin sekali terus memberi rekomendasi film bagus tapi apa daya sekarang tak sebebas dulu. :(

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch