“The enemy dresses like a deer and kills like a lion, which is what we’ve got to do.”
Di tengah deburan ombak kecil serta terik sinar matahari yang menyinari pantai di Ibiza, Spanyol, seorang pemuda bernama Mitch Rapp (Dylan O’Brien) melamar kekasihnya, Katrina (Charlotte Vega). Memperoleh kejutan manis seperti ini, sang kekasih yang tersenyam senyum penuh kebahagiaan buru-buru mengiyakan yang lantas disambut sorak sorai para pelancong lain yang sedang berjemur. Usai memperoleh pelukan dan kecupan dari Katrina, Mitch undur diri sejenak untuk mengambil minuman beralkohol guna merayakan salah satu momen paling berharga dalam kehidupannya yang selama ini sarat penderitaan. Kebahagiaan meluap-luap yang melingkungi Mitch, tanpa dinyana-nyana kemudian terenggut habis usai kelompok teroris Muslim pimpinan Adnan Al-Mansur (Shahid Ahmed) melepaskan tembakan ke berbagai penjuru secara membabi buta. Para pelancong yang panik pun berhamburan kesana kemari demi menyelamatkan diri masing-masing. Sebagian yang beruntung berhasil melarikan diri dengan selamat, sementara sebagian lain meregang nyawa akibat tertembus timah panas. Salah satu korban jiwa adalah Katrina yang ditembak berkali-kali tepat di depan mata Mitch yang tak bisa berbuat apa-apa.
Melalui adegan pembuka berintensitas tinggi yang secara cepat berganti haluan dari semula romantis menuju horor ini, Michael Cuesta (Kill the Messenger, 12 and Holding) memberi penonton sebuah sentakan hebat. Kombinasi antara gerak kamera tangkas, penyuntingan dinamis, serta tata suara tajam memungkinkan kita seolah-olah sedang berada di resor yang mendadak disulap menjadi medan perang oleh kelompok teroris dengan suara tembakan, desingan peluru, serta gelimpangan mayat berlumuran darah menghiasi sekeliling. Apakah Cuesta terinspirasi dari peristiwa penyerangan di Tunisia pada tahun 2015 silam yang menewaskan 37 turis dalam mengonstruksi adegan pembuka yang sangat mengejutkan ini? Bisa jadi memang demikian. Satu yang pasti, adegan pembuka dari film yang didasarkan pada novel rekaan mendiang Vince Flynn ini merupakan peringatan dari si pembuat film untuk para penonton bahwa level kekerasan yang menyertai rentetan gelaran laga di sepanjang durasi American Assassin terbilang tinggi. Dia seolah berkata, “biasakan untuk mendengar suara lesatan peluru yang menembus tubuh manusia secara mendadak maupun pemandangan-pemandangan tak nyaman di mata karena itulah yang akan kamu sering jumpai di American Assassin.”
Kita dipersilahkan sedikit bernafas lega saat film memberi kesempatan untuk melongok sekelumit kehidupan Mitch usai tewasnya sang kekasih. Dia meninggalkan aktivitas normalnya, lalu menggembleng habis fisiknya, dan mempelajari cara menembak beserta berkomunikasi dengan Bahasa Arab. Tujuannya adalah agar dia mampu menyelinap masuk ke dalam markas Adnan dan menghabisinya. Keberhasilan Mitch melacak lokasi pria yang dianggapnya bertanggung jawab atas hancurnya kehidupan miliknya ini mendapat perhatian dari Wakil Direktur CIA, Irene Kennedy (Sanaa Lathan), yang lantas merekrutnya untuk bergabung dengan CIA. Digembleng oleh veteran Perang Dingin, Stan Hurley (Michael Keaton), Mitch dipersiapkan untuk menghentikan misi dari seorang misterius berjulukan Ghost (Taylor Kitsch) yang berencana memulai Perang Dunia III. Semenjak Mitch diterjunkan ke lapangan bersama Stan beserta seorang agen asal Turki, Annika (Shiva Negar), barulah kita menyadari bahwa peringatan dari Cuesta di awal mula bukanlah sebatas gertak sambal. American Assassin memang terhitung brutal kala memvisualisasikan adegan kekerasannya sampai-sampai diri ini sempat dibuat ngilu terutama pada adegan penyiksaan jelang klimaks.
Apakah ini berarti American Assassin disesaki oleh parade adegan sarat kekerasan yang berdarah-darah? Saya bisa memastikan, semuanya ditampilkan sang sutradara dalam batasan yang masih bisa ditolerir. Lagipula kamu tidak akan terlampau merisaukannya, seperti kamu akan melupakan kenyataan bahwa skrip film ini terlampau tipis pula generik sebagai tontonan political thriller, begitu mendapati American Assassin mempunyai sederet sekuens laga beroktan tinggi dengan skala besar yang sedap buat disimak. Ya, mesti diakui bahwa Cuesta sangat terampil dalam mengkreasi adegan yang akan membuat adrenalinmu senantiasa terpacu. Disamping adegan pembuka, kita masih mendapati beberapa kali kejar-kejaran ditengah keramaian pusat kota yang intensitasnya tak sekalipun mengendur, ada pula salah satu adegan baku hantam paling keren dalam film laga yang berlangsung di atas perahu motor yang melaju kencang, sampai sebuah klimaks menghentak di tengah laut melibatkan beberapa kapal perang yang ditampilkan bak film bencana alam. Keseruan sekuens laganya yang terus datang silih berganti ditambah lagi performa barisan pemainnya yang cukup baik khususnya Dylan O’Brien dan Michael Keaton membuat American Assassin berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan eskapisme yang mengasyikkan untuk dipirsa di layar lebar seraya mengunyah berondong jagung meski ada kemungkinan tidak akan mengendap lama di ingatanmu.
Exceeds Expectations (3,5/5)
No comments:
Post a Comment