September 29, 2018

REVIEW : JOHNNY ENGLISH STRIKES AGAIN


“Let's kick some bottom!” 

Adakah diantara kalian yang merindukan sepak terjang Johnny English? Ada? Tidak? Atau malah tidak tahu siapa karakter ini? Well, jika kalian belum mengenalnya sama sekali, Johnny English adalah seorang agen rahasia asal Inggris yang tergabung dalam MI7. Jangan bayangkan dia mempunyai karisma bak James Bond atau kemampuan bertahan hidup seperti Jason Bourne, karena karakternya sendiri dibentuk sebagai parodi untuk spy movies. Penggambaran paling mendekati adalah Austin Powers dalam versi sama sekali tidak kompeten nan ceroboh, atau oh, Mr. Bean (jangan bilang kamu juga tak mengetahuinya!). Ya, Johnny English tak ubahnya Mr. Bean yang memutuskan untuk menjalani profesi sebagai mata-mata Inggris. Sang agen rahasia dideskripsikan sebagai karakter yang payah dalam hal apapun, tapi memiliki keberuntungan tingkat dewa sehingga pada akhirnya dunia selalu bisa diselamatkan. Kemiripan diantara keduanya sulit untuk dihindarkan mengingat karakter-karakter ini dimainkan oleh aktor yang sama, Rowan Atkinson, dengan gaya bercanda yang senada pula. Gaya bercanda khas Rowan Atkinson yang kerap bergantung pada mimik konyol, tingkah absurd, serta pemikiran ngasal itulah yang menjadi jualan utama rangkaian seri Johnny English yang kini telah membentang hingga tiga instalmen; Johnny English (2003), Johnny English Reborn (2011), dan Johnny English Strikes Again

September 28, 2018

REVIEW : ARUNA DAN LIDAHNYA


“Hati-hati jangan terlalu antipati. Nanti simpati, trus empati trus jatuh hati.” 

Disadur secara bebas dari novel berjudul sama rekaan Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya menyoroti perjalanan empat sekawan ke empat kota di Indonesia dalam misi menginvestigasi kasus flu burung dan pencarian makanan. Empat sekawan tersebut antara lain Aruna (Dian Sastrowardoyo), Farish (Oka Antara), Bono (Nicholas Saputra), dan Nad (Hannah Al Rashid). Mulanya, perjalanan ini diniatkan sebagai pelesiran untuk icip-icip makanan Nusantara semata oleh Aruna dan sahabat baiknya yang seorang koki, Bono, guna menindaklanjuti rencana kulineran yang terus tertunda. Tapi setelah Aruna yang menjalani profesi sebagai ahli wabah ditugaskan oleh atasannya untuk menyelidiki kasus flu burung di Surabaya, Pamekasan, Pontianak, beserta Singkawang, mereka pun seketika mengubah rencana. Bono mengikuti Aruna dalam perjalanan dinasnya, dan mereka akan berburu makanan khas daerah setempat usai Aruna menuntaskan pekerjaannya. Ditengah perjalanan ini, keduanya turut menyambut kehadiran Nad, kritikus makanan yang ditaksir Bono, dan Farish, mantan rekan kerja Aruna yang turut ditugaskan dalam investigasi ini. Keberadaan dua pendatang ini membuat perjalanan yang semestinya sederhana menjadi terasa rumit lantaran Aruna diam-diam menaruh hati kepada Farish. Aruna mengalami pergolakan batin tatkala hendak mengungkapkan cintanya lantaran dia mengetahui sang pujaan hati telah memiliki kekasih dan ditambah lagi, Nad terlihat seperti menaruh perasaan yang sama kepada Farish. 

September 27, 2018

REVIEW : MUNAFIK 2


“Kamu hanya menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan serakahmu.” 

Menurut saya, Munafik (2016) adalah salah satu film horor Asia terbaik dalam satu dekade terakhir. Syamsul Yusof yang merangkap jabatan sebagai sutradara, penulis skrip, aktor, editor, sekaligus pengisi soundtrack ini mampu memberikan warna berbeda bagi sajian horor dengan mengombinasikannya bersama unsur keagamaan – atau dalam hal ini, Islam. Memang betul Munafik bukanlah film pertama yang menawarkan pendekatan tersebut (setumpuk film horor asal Malaysia dan Indonesia dari era terdahulu telah menerapkannya), tapi agama tak sebatas dipergunakan sebagai hiasan untuk mempercantik film di sini. Ada signifikansinya terhadap narasi yang mengkritisi kaum beragama dengan ketaatan palsu, ada pula signifikansinya pada permainan teror. Adegan si protagonis melakukan ruqyah (eksorsisme dalam Islam) terhadap seorang perempuan berhijab yang kerasukan iblis adalah momen paling dikenang di film ini, disamping adegan di lift dan bola mantul-mantul. Saya meringkuk ketakutan saat menontonnya (hei, si iblis bisa merapal ayat suci!), saya juga menyeka air mata tatkala sebuah kebenaran terungkap di ujung durasi. Lebih dari itu, Munafik menggugah keimanan dalam diri yang masih cethek ini dengan mempertanyakan, “apakah ibadahku selama ini telah sesuai dengan petunjuk Tuhan, dilandasi ketulusan dari lubuk hati terdalam, atau hanya keterpaksaan demi menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat?.” 

September 26, 2018

REVIEW : ALPHA


“Life is for the strong. It is earned, not given.”  

Apakah kamu pernah bertanya-tanya mengenai awal mula terbentuknya persahabatan antara manusia dengan anjing? Seperti, apakah manusia di zaman purba telah memiliki keterikatan emosi dengan hewan berkaki empat ini, atau, apakah relasi unik tersebut baru terbentuk beberapa abad silam? Dokumentasi sejarah di belahan dunia manapun (sangat) mungkin tidak meliputi 'persahabatan pertama manusia dengan anjing' mengingat cakupan sumber terlampau luas dan signifikansinya pun kurang nyata, sehingga jika kamu pernah (atau masih) dibayangi oleh pertanyaan tersebut, berterimakasihlah kepada Tuhan karena telah menciptakan Hollywood. Ya, kamu bukanlah satu-satunya orang yang mempertanyakan tentang sejarah pertemanan lintas spesies ini karena Albert Hughes – bersama dengan saudara kembarnya, Allen Hughes, dia mengkreasi From Hell (2001) dan The Book of Eli (2010) – mengajukannya sebagai premis untuk film perdananya sebagai sutradara tunggal, yakni Alpha. Dijual sebagai “incredible story of how mankind discovered man's best friend,” Alpha mencoba memberikan jawaban mengenai asal muasal kisah persahabatan tersebut dengan melontarkan kita ke daratan Eropa di 20 ribu tahun silam atau era Paleolitik Hulu yang berlangsung pada detik-detik terakhir jelang berakhirnya zaman es. 

September 24, 2018

REVIEW : THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS


“There's a clock in the walls. You don't know what it does except something horrible.” 

Tidak pernah terbayangkan akan tiba masanya di saat Eli Roth dipercaya untuk mengomandoi sebuah film keluarga. Kalau kamu mengikuti rekam jejaknya, tentu mengetahui bahwa dia merupakan otak dibelakang Cabin Fever (2002) dan Hostel (2005) yang memperkenalkan kita dengan subgenre 'torture porn'. Sebuah genre turunan dari horor yang dipenuhi dengan visual mengganggu sarat darah, kekerasan dan penyiksaan. Sebuah genre yang jelas tidak ramah bagi penonton anak-anak. Bahkan, lantaran kekerasan telah menjadi signature style dalam film garapannya, nama Roth pun akhirnya identik dengan sadis sampai-sampai diri ini sulit membayangkan, “bagaimana ya jadinya kalau Roth tak bersentuhan dengan kekerasan?.” Menduga dia akan menjajal keluar dari zona nyaman dengan menggarap film drama atau komedi, siapa sangka jika kemudian dia justru direkrut oleh Amblin Entertainment kepunyaan Steven Spielberg untuk menggarap The House with a Clock in Its Walls yang notabene merangkul pasar keluarga? Terdengar menarik sekaligus aneh di waktu bersamaan, tentu saja, meski saya akhirnya bisa sedikit bisa memahaminya mengingat materi sumber film ini adalah sebuah novel anak berjudul sama rekaan John Bellairs yang mengambil jalur horror. 

September 22, 2018

REVIEW : BELOK KANAN BARCELONA


“His future is yours, but his past was mine. You can't change that.” 

(Ulasan di bawah ini agak nyerempet spoiler)

Kala berbincang dengan seorang kawan lama usai menonton sebuah film di bioskop, dia berkata, “aku ingin sekali menonton film ini,” seraya menunjuk ke poster Belok Kanan Barcelona. Alasan yang mendasari ketertarikannya pada judul tersebut ada dua: pertama, dia menyukai materi sumbernya yakni buku rekaan empat penulis (Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya, Iman Hidajat) berjudul Travelers' Tale – Belok Kanan Barcelona (2007) yang dibacanya semasa kuliah, dan kedua, dia menggemari premis klasik mengenai “jatuh cinta pada sahabat”. Saya hanya bisa mengangguk-angguk lantaran belum pernah membaca novelnya sehingga gambaran mengenai apa yang bisa diantisipasi dari guliran penceritaannya masih kabur. Tapi saat materi promosi mulai diluncurkan satu demi satu, ada rasa penasaran yang menggelitik. Modifikasi premisnya yang mengupas tentang rencana mengutarakan rasa suka jelang pernikahan sahabat yang ditaksir melontarkan ingatan ke My Best Friend's Wedding (1997) dan Made of Honor (2008), dan saya juga kepincut lantaran Belok Kanan Barcelona mengambil jalur komedi romantis (satu jalur yang jarang ditempuh oleh film percintaan di tanah air) dengan bubuhan kisah berkelana ke berbagai negara yang secara otomatis menjanjikan pemandangan memanjakan mata. Ditambah lagi, salah satu film termahal produksi Starvision ini menampilkan jajaran pemain utama yang mempunyai jejak rekam mengesankan. Bagaimana bisa menolaknya? 

September 19, 2018

REVIEW : THE PREDATOR


“Gentleman, they're large. They're fast. And fucking you up is their idea of tourism.” 

Ada dua hal yang terbersit di pikiran tatkala seseorang menyebut film berjudul Predator. Pertama, makhluk asing berbadan tinggi besar yang tak segan-segan mengoyak tubuh manusia, dan kedua, Arnold Schwarzenegger. Mantan Gubernur California ini memang hanya mengambil peran di film pertama yang dirilis pada tahun 1987, tapi diantara jilid-jilid lain yang dilepas dalam cap dagang Predator seperti Predator 2 (1990) dan Predators (2010), bisa dibilang hanya judul pembuka yang layak untuk dikenang. Bahkan, ini tergolong salah satu film laga dari era 80-an yang semestinya tidak kamu lewatkan. Selebihnya? Boleh saja kamu pirsa selama ada waktu senggang. Menilik resepsi kurang antusias baik dari kritikus maupun penonton yang diperoleh oleh dua film kelanjutan – plus dua film pecahan yang mempertemukan si Predator dengan Alien dari franchise sebelah – agak mengherankan sebetulnya mendapati pihak 20th Century Fox masih kekeuh untuk menghidupkan jenama ini. Percobaan terbaru mereka dalam memperpanjang usia Predator di layar perak dilabeli The Predator dengan menyerahkan kursi penyutradaraan kepada Shane Black (Iron Man 3, The Nice Guys) yang rupa-rupanya turut berlakon di film pertama. 

September 15, 2018

REVIEW : GILA LU NDRO


“Masa alien namanya Alien juga. Terus dipanggilnya Al. Kenapa nggak sekalian aja Al El Dul. Jangan bilang sama aku kalau ibunya Alien itu Bunda Maia.” 

Pertama kali Falcon Pictures mengumumkan rencana pembuatan sebuah film komedi berjudul Gila Lu Ndro, saya mengira film ini adalah perpanjangan dari dwilogi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss yang menuai sukses besar di bioskop-bioskop tanah air. Atau dengan kata lain, sebuah film pecahan (spin-off). Dugaan ini bukannya tanpa alasan, mengingat “gila lu, Ndro!” merupakan salah satu jargon legendaris yang kerap dilontarkan dalam film-film Warkop DKI, lalu kedua pelakon Indro yakni Indro Warkop beserta Tora Sudiro didapuk sebagai pelakon utama, dan penggarapan film pecahan mulai mewabah di perfilman Indonesia. Jadi ya, saya sempat mengira Gila Lu Ndro bakal menempatkan fokus penceritaannya pada karakter Indro tatkala dia memisahkan diri dari dua sohib kentalnya, Dono dan Kasino. Yang kemudian tak disangka-sangka, materi narasi dari film arahan Herwin Novianto yang sebelumnya memberi kita dua film bagus; Tanah Surga Katanya (2012) dan Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (2016), ternyata bukan bersinggungan dengan Warkop DKI dan justru mengambil jalur komedi satir dalam guliran pengisahannya. Indro Warkop dijelmakan sebagai makhluk angkasa luar yang turun ke bumi guna dimanfaatkan untuk mengkritisi kondisi sosial politik yang carut marut di negeri ini seperti halnya Aamir Khan dalam PK (2014).

September 12, 2018

REVIEW : CRAZY RICH ASIANS


“I'm not leaving because I'm scared or because I think I'm not enough, because maybe for the first time in my life I know I am. I just love Nick so much, I don't want him to lose his mom again.” 

Setidaknya ada tiga kali saya beruraian air mata selama menonton Crazy Rich Asians. Bukan, bukan disebabkan filmnya yang teramat mendayu-dayu atau merobek hati seperti Us and Them (2018) yang baru-baru ini saya tonton (damn that movie!), melainkan karena Crazy Rich Asians adalah sebuah film yang sangat indah. Saya tahu saya telah dibuat jatuh hati oleh film yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Kevin Kwan ini sedari menit pertamanya yang menggebrak. Memberi kita sedikit banyak gambaran mengenai karakter-karakter seperti apa yang akan kita temui di sepanjang durasi. Rasa cinta yang telah tumbuh sejak dini ini semakin menguat, dan semakin menguat, seiring mengalunnya durasi. Meski saya memiliki 'obsesi' tersendiri terhadap film bergenre komedi romantis – jangan kaget, saya pun bisa menikmati yang dilabeli buruk – saya sejatinya menaruh sedikit pengharapan terhadap film Hollywood pertama berlatar dunia modern yang menempatkan pemain berdarah Asia sebagai pelakon utama sejak The Joy Luck Club (1993) ini. Dua faktor pemicunya adalah karya-karya sang sutradara, Jon M. Chu (Step Up 2, Justin Bieber: Never Say Never), acapkali hit-and-miss, dan premis yang diajukannya kurang menggugah selera mengingat pada dasarnya ini adalah interpretasi lain dari formula Cinderella story. Ekspektasi dan prasangka bahwa Crazy Rich Asians sebatas jualan mimpi babu secara perlahan tapi pasti mulai terbungkam tatkala film menguarkan pesona sekaligus jati dirinya yang sesungguhnya. I just can't help falling in love with this movie! 

September 6, 2018

REVIEW : THE NUN


“The abbey has a long history. Not all good.” 


(Ulasan ini nyerempet spoiler)

Apakah kamu masih ingat dengan sesosok iblis yang menampakkan wujudnya kepada manusia dalam rupa seperti halnya seorang biarawati bernama Valak? Rasa-rasanya, jika dirimu adalah penggemar berat cap dagang The Conjuring, sosok Valak cukup sulit untuk dienyahkan dari pikiran terlebih 'gaya berbusananya' tergolong khas (dan dia punya lagu dangdut, "kau seperti Valak..."). Kontribusinya terhadap narasi dalam franchise ini pun tak bisa dipandang sepele – berbeda dengan Annabelle yang cenderung pasif. Dia diketahui memiliki niatan jahat untuk menundukkan pasangan Warren yang acapkali menggagalkan rencana kawanan iblis untuk menguasai manusia-manusia berhati gelap, dan dia merupakan biang keladi dibalik peristiwa supranatural yang menyerang satu keluarga dalam The Conjuring 2 (2016). You don't want to mess with Valak! Jika ada yang kurang mengenai sosoknya, maka itu adalah latar belakangnya yang kurang dieksplorasi. Apakah ini memang disengaja sehingga dia berkesempatan memiliki filmnya sendiri yang difungsikan sebagai origin story? Pastinya begitu. Annabelle saja dibikinin film, Valak juga mestinya punya dong. Terlebih, para petinggi studio tentu tidak ingin mesin pencetak uangnya ini diberhentikan begitu saja. Itulah kenapa tidak membutuhkan waktu lama bagi James Wan bersama Peter Safran selaku otak dibalik kesuksesan semesta The Conjuring untuk mengkreasi The Nun yang menyoroti cerita masa lampau dari iblis berkedok biarawati ini sebelum kelayapan di Inggris. 

September 4, 2018

REVIEW : PETUALANGAN MENANGKAP PETIR


“Meraih mimpi itu harus ada yang dikorbankan.” 

Bikin film emang susah, bikin film emang capek, dan bikin film emang butuh perjuangan. Akan tetapi, bikin film juga seru, bikin film juga candu, dan bikin film juga ngangenin. Banyak pengalaman yang bisa dikenang selama proses pembuatan film. Saya merasakannya secara langsung untuk pertama kali ketika masih berstatus sebagai maba (mahasiswa baru) dan mengikuti sebuah unit kegiatan mahasiswa di universitas yang bersentuhan dengan dunia film. Sewaktu menjalani malam keakraban, anggota-anggota baru ditugaskan untuk menggarap film pendek dengan durasi berkisar 5-10 menit. Sekadar informasi kurang penting, kita butuh waktu selama 8 jam lebih untuk mengeksekusi film dengan durasi 5 menit. Itupun mengindahkan kontinuitas pada pengadeganan maupun plot lantaran tak dibekali skrip memadai serta hanya mengandalkan spontanitas. Pokoknya berlakon, sorot kamera, edit, jadi deh! Jangan ditanya hasil akhirnya seperti apa (bocoran: cenderung memalukan) karena tujuannya sekadar buat memberi pengalaman, berkenalan melalui kerja tim, sekaligus bersenang-senang. Tidak pernah ada niatan untuk membawanya berkelana ke festival film pendek atau mengomersilkannya melalui pemutaran-pemutaran. 

September 1, 2018

REVIEW : WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


“Seluruh ilmuku telah kupasrahkan padamu, Wiro. Kini saatnya kamu memasuki dunia luar, membawa garis-garis hidupmu sendiri.” 

Bagi sebagian penonton, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (untuk selanjutnya disebut Wiro Sableng 212 saja ya, biar nggak kepanjangan) akan membangkitkan kenangan ke masa lampau. Bagi mereka yang sempat merasakan euforia serial televisi tanah air di era 1990-an, pastinya langsung teringat pada versi sinetronnya yang memiliki lagu tema ikonis dengan penggalan lirik berbunyi, “siapa dia? Wiro Sableng. Sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar.” Sedangkan bagi mereka dari generasi yang lebih sepuh, kenangan itu akan lebih melimpah karena turut bersumber dari sumber materinya, yakni cerita silat rekaan Bastian Tito yang memiliki 185 judul, beserta sejumlah film adaptasi layar lebarnya yang memang tak terdengar gaungnya di era sekarang. Menariknya, disamping berfungsi sebagai ajang nostalgia bagi penggemar lamanya, versi termutakhir dari Wiro Sableng 212 yang menampilkan putra si pengarang, Vino G. Bastian, sebagai si karakter tituler ini juga diniatkan untuk mengobati kerinduan penonton terhadap sajian silat yang telah lama raib dari perfilman Indonesia (terakhir adalah Pendekar Tongkat Emas (2014) yang sayangnya melempem) dan memberikan sajian hiburan berskala blockbuster yang jarang-jarang ada kepada khalayak ramai. Demi merealisasikan poin ketiga ini, rumah produksi Lifelike Pictures pun tidak segan-segan berkolaborasi dengan 20th Century Fox dibawah bendera Fox International Productions sehingga memungkinkan Wiro Sableng 212 untuk terhidang sebagai sajian kolosal dengan cita rasa megah nan mewah seperti yang diharapkan. 

Mobile Edition
By Blogger Touch