February 16, 2019

REVIEW : ANTOLOGI RASA


“Kalau dia bikin lo ketawa, itu tandanya lo suka sama dia. Tapi kalau dia bikin lo nangis itu artinya lo cinta sama dia"

Sebelum dihidangkan menjadi sajian layar lebar, Antologi Rasa lebih dulu dikenal sebagai novel metropop (fiksi tentang masyarakat urban kelas menengah) rekaan Ika Natassa yang juga menulis Critical Eleven dan Twitvortiare. Ada banyak sekali pengagumnya di luar sana, bahkan tak sedikit diantaranya yang berani menyematkan label “salah satu novel percintaan dewasa terbaik buatan penulis tanah air” sampai-sampai saya turut dibuat penasaran. Memang, sebagus apa sih novel ini? Seusai membuktikannya sendiri, saya pun bisa mengangguk-angguk setuju ketika ada seseorang menyinggung Antologi Rasa dalam sebuah percakapan lalu melontarkan puja puji untuknya. Dari segi premis sebetulnya tidak ada yang mencengangkan, yakni seputar empat teman baik yang terjebak dalam friendzone tatkala mereka memilih untuk memendam perasaan lantaran tak ingin merusak tali persahabatan. Yang lantas membuatnya istimewa adalah bagaimana si penulis menyajikan kisah sederhana ini; ada berbagai sudut pandang dalam novel sehingga memungkinkan pembaca untuk mengetahui isi kepala dari setiap karakter inti, dan barisan karakter yang menggerakkan roda penceritaan pun dideskripsikan dengan sangat menarik. Kita bisa memahami mereka, kita bisa pula jatuh hati pada mereka. Kalau boleh jujur, prosa ini sejatinya memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi untuk diekranisasi karena beresiko terjerembab menjadi tontonan membosankan apabila memperoleh penanganan yang keliru. Itulah mengapa saya memutuskan untuk tidak menaruh ekspektasi apapun ketika mendapati Antologi Rasa diboyong ke layar lebar terlebih jajaran kru dan pemain yang dilibatkan pun (mohon maaf) tak terdengar menjanjikan.

Dalam versi layar lebar, Antologi Rasa masih menempatkan Keara (pendatang baru Carissa Perusset), Harris (Herjunot Ali), serta Ruly (Refal Hady) di poros utama penceritaan. Mereka bertiga adalah bankir di BorderBank Jakarta yang lantas menjalin tali persahabatan selepas merasakan pahit manisnya menjalani penempatan di suatu daerah yang jauh dari ibukota bersama-sama. Saking akrabnya manusia-manusia ini, Keara hampir selalu mengajak serta Harris untuk melepas penat dan terkadang Ruly yang cenderung pendiam pun turut bergabung. Ditengok secara sekilas lalu, ketiganya tak menunjukkan adanya rasa berbeda dibalik topeng persahabatan yang mereka kenakan. Tapi jika kita bersedia untuk mengamati lebih jauh, kita bisa mendeteksi bahwa mereka menyimpan kegundahan yang sama lantaran tak sanggup mengutarakan satu rasa yang disebut cinta. Keara diam-diam mencintai Ruly yang digambarkannya sebagai lelaki santun dan perhatian, lalu Harris yang playboy ternyata menaruh rasa kepada Keara yang sebatas menganggapnya sebagai partner in crime buat gila-gilaan, sementara Ruly yang dicintai Keara dengan sepenuh hati malah kesengsem dengan teman mereka yang lain, Denise (Atikah Suhaime), yang sudah berumah tangga. Rumit, bukan? Kerumitan “zona pertemanan” yang hadir ditengah-tengah persahabatan mereka bertiga ini menjadi semakin runyam usai Keara dan Harris bertolak ke Singapura untuk menyaksikan pertandingan Formula 1. Sebuah ‘kecelakaan’ yang dipicu rasa kesal Keara terhadap ketidakpekaan Ruly menyebabkan hubungan Harris dengan Keara merenggang yang seketika tidak hanya mengancam ikatan persahabatan keduanya tetapi juga kemungkinan bagi Harris dan Keara untuk bersatu sebagai pasangan.


Selepas menonton Antologi Rasa beberapa hari lalu, saya terpaku sejenak di kursi bioskop lantaran tidak mengetahui harus berkata apa mengenai film yang baru saja disaksikan. Apakah semestinya berkomentar “rasanya tidak sabar ingin menunggu filmnya usai”? Tentu terkesan kasar meski itulah yang saya rasakan selama tontonan berlangsung. Atau melontarkan komentar “rasanya ingin sekali memejamkan mata usai setengah jam berjalan”? Ini juga tak kalah kasar meski (lagi-lagi) itulah yang saya rasakan. Bagaimana ya, yang jelas Antologi Rasa mewujudkan kemungkinan paling buruk yang sempat diri ini khawatirkan sebelum melangkahkan kaki ke bioskop: membosankan. Alih-alih dibuat baper menyaksikan kisah cinta segirumit yang terjalin diantara Keara-Harris-Ruly, saya justru tidak merasakan apa-apa. Rasanya, benar-benar hambar. Tidak ada keterikatan emosi dengan para karakternya, tidak ada pula kepedulian terhadap nasib mereka. Apakah hati ini telah mati karena tidak sedikitpun tersentuh oleh gundah gulana mereka? Bisa jadi memang demikian. Tapi bagaimana jika kesalahannya ternyata bukan terletak pada hati dingin saya melainkan karena Rizal Mantovani (Kuntilanak, Eiffel… I’m in Love 2) selaku sutradara mengalami kesulitan untuk mengejawantahkan novel gubahan Ika Natassa ke dalam bahasa gambar? Bagaimana jika ini ternyata disebabkan oleh Ferry Lesmana dan Donny Dhirgantoro yang tak sanggup memindahkan prosa ke dalam bentuk skenario? Dan bagaimana jika ini ternyata karena jajaran pemainnya yang mengalami kebingungan kala menginterpretasikan karakter yang mereka mainkan? Berhubung saya tidak ingin menyalahkan diri sendiri, maka saya jelas menganggap faktor-faktor inilah yang bertanggung jawab atas ketidakmampuan Antologi Rasa dalam menghadirkan rasa yang seharusnya ada.

Sungguh, saya tidak sanggup merasakan apapun saat menyaksikan Antologi Rasa yang mengalun dengan begitu perlahan ini. Saya tidak mampu berempati kepada Keara, Harris, maupun Ruly yang lebih sering terlihat canggung antara satu dengan lain ketimbang terlihat akrab bak sobat karib maupun malu-malu tapi mau seperti seseorang yang tengah kasmaran. Ya, percikan ‘unsur kimia’ Carissa Perusset bersama Herjunot Ali dan Refal Hady (apalagi Atikah Suhaime yang akan hilang begitu kamu berkedip, mak cling!) seringkali berada di mode off sehingga membuat saya urung percaya bahwa mereka adalah sahabat karib. Atau jangan-jangan, mereka ini sebenarnya terpaksa untuk menjalin tali pertemanan lantaran tidak ada pilihan lain? Biar terlihat keren gitu? Kalau demikian, tentu lebih masuk akal karena saya terus meraba-raba letak keguyuban trio bankir ini disamping berusaha keras untuk memahami alasan Keara cinta mati kepada Ruly, atau alasan Harris kepincut Keara, maupun alasan Ruly bisa terobsesi dengan Denise. Dalam versi novel, saya bisa menerima penjabaran Ika Natassa yang cukup detil dalam menjelaskan kompleksitas hubungan empat sekawan ini. Tapi dalam film, alasan-alasan tersebut diutarakan sekenanya saja cenderung menyederhanakan – melalui beberapa baris dialog dan satu dua montase – sehingga memicu reaksi, “hah masa gitu doang?” yang bisa jadi turut dilontarkan oleh para awam yang belum pernah membaca materi sumbernya. Saya masih bisa menerima alasan Keara, tetapi untuk Harris dan Ruly? Well, ini membingungkan dan mereka pun seringkali sebatas terlihat layaknya laki-laki sialan yang hobi mencari-cari kesempatan ditengah duka seorang perempuan (khususnya Harris dalam adegan 'pemerkosaan'). Kalau ditelusuri lebih jauh, persoalan ini sebetulnya datang akibat sosok Denise ditampilkan kelewat sedikit, interaksi antara Ruly dengan karakter lain khususnya Keara yang terbatas, dan Keara mempunyai perangai berbeda dari deskripsi.


Oleh Ruly, dia disebut “tidak terduga” dan oleh Harris, dia disebut “fun serta berbeda”. Dalam kenyataan, Keara lebih terlihat seperti perempuan dingin nan angkuh yang lebih suka membicarakan hal-hal krusial berkaitan dengan pekerjaan ketimbang seseorang yang menaruh minat pada fotografi (yang tak juga dijelaskan!) serta kerap meluangkan waktu untuk dugem. Carissa Perusset sebetulnya mempunyai potensi sebagai aktris bagus yang dibuktikan melalui adegan perpisahan di bandara, tapi pengarahan beserta naskah membuat dia seringkali tampak kebingungan untuk menampilkan sosok Keara. Apakah dia semestinya kalem di luar tapi liar di dalam, atau semestinya liar di luar tapi kalem di dalam, atau bagaimana? Karena dia tidak terlihat sedikitpun memenuhi syarat atas deskripsi yang diucapkan oleh karakter lain. Keputusan untuk memangkas porsi tampil Dinda (Angel Pieters), teman curhat Keara, dan kebersamaan Ruly dengan Keara tentu memiliki andil atas gagal terjelaskannya satu pertanyaan penting: siapa sebenarnya Keara? Antologi Rasa berusaha terlalu keras untuk semirip mungkin demi versi novelnya – termasuk mengaplikasikan voice over untuk bernarasi yang tak efektif dan linimasa yang terkadang acak mengikuti ingatan karakter – sampai melupakan fakta bahwa keduanya berada di medium berbeda. Tak semuanya bisa dikreasi sama persis, terkadang butuh pula penyesuaian. Rizal Mantovani beserta tim pun seolah lupa bahwa Antologi Rasa tidak hanya akan ditonton oleh para penggemar berat materi sumbernya tetapi juga oleh penonton yang belum pernah mengenal versi novelnya. Memang betul bahwa alurnya masih bisa dipahami oleh siapapun – dan mungkin masih relate pula bagi para pejuang friendzone – hanya saja film ini tidak mampu menangkap poin-poin yang sanggup membuat novelnya amat digandrungi khususnya mengenai kompleksitas karakter dan dinamika hubungan mereka.

Alhasil, Antologi Rasa pun menjelma tak ubahnya film percintaan generik yang hanya mengandalkan tampang rupawan pemain beserta lokasi-lokasi mahal sebagai jualannya. Adanya barisan lagu pengiring yang mengganggu (duh, penempatannya seringkali dipaksakan sekali!), performa pemain yang lempeng-lempeng saja termasuk Herjunot Ali yang ketengilannya kelewat ngoyo sampai berada di ambang berlebihan, serta tangkapan gambar yang tidak sedikitpun membangkitkan hasrat untuk memesan tiket pesawat ke Singapura atau Bali terlebih beberapa diantaranya hadir dalam resolusi rendah, jelas hanya memperburuk keadaan. Andai saja Antologi Rasa memperoleh penanganan yang tepat, bukan tidak mungkin hasilnya akan ciamik mengingat materi asalnya yang apik. Kalau sudah begini, saya pun hanya bisa berkata, “sungguh sangat disayangkan”.

Poor (2/5)


31 comments:

  1. Jelek ya padahal saya sempat mau nonton karena saya suka sekali film dari adaptasi novel "Ika natassa" yg "Critical Eleven".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku sih nggak suka tapi coba saja tonton siapa tahu cocok. Ada beberapa yang bilang lebih oke dari Critical Eleven kok. Kalau aku sih milih Critical Eleven kemana mana. 😀

      Delete
  2. Setuju kak!!! Akhirnya ada yang bisa menjelaskan perasaan 'aneh' yang gue rasakan after nonton filmnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya kan? Kayak berasa kosong gitu habis nonton. Nggak ngerasain apa-apa.

      Delete
  3. Sayang banget si cewek disini jadi bucin, kwkwkw kirain penulis skenarionya bakal kerja keras , ternyata sama persis seperti novel , saya ngga setuju sih seharusnya novel dan film harus berdiri sendiri tanpa saling dikaitkan , padahal media yang berbeda.

    Buat yang bukan pembaca novelnya pasti kebingungan , novelnya sendiri terlalu hedon dan kebarat-baratankebarat-baratan , kirain pas di filmkan penulis skenario berani berinovasi memasukkan unsur yang mungkin cocok untuk drama percintaan negara berkembang , hmm Herjunot Ali ini sebenarnya sama Soraya dan Hit Maker gimana sih ? Harus selalu dia jadi aktor utama, kadang doi terlalu maksa gitu namun kualitas aktingnya "ngga banget" padahal udah aktor senior tapi aktingnya ngga ada perkembangan, selain ph ini ngga pernah liat dia main di ph lain , kwkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maklum, Ika Natassa kan bergerak di jalur metropop (semacam chicklit). Salah satu ciri khasnya emang menyoroti kehidupan masyarakat urban kelas menengah yang sukses secara karir jadi bisa dipahami kalau hedonisme terintegrasi ke gaya hidup si tokoh utama. Kenyataannya memang seperti itu. 😀

      Herjunot Ali sepertinya punya kontrak tertentu yang mesti dipenuhi dengan Soraya seperti Shandy Aulia dulu. Jadi mau tak mau dia mesti dilibatkan meski sering banget terkesan maksa (dan miscast). Dia juga pernah main di film diluar buatan Soraya kok tapi emang bukan high profile sih jadi kurang dikenal.

      Delete
    2. Akting Herjunot ali yg ku suka hanya di "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" lain nya biasa saja.

      Delete
    3. Yup. Salah satu akting terbaiknya Junot selain di Realita Cinta dan Rock n Roll.

      Delete
  4. Ternyata bukan hanya diriku yang merasakan ada yang 'ngga pas' dari akting Herjunot.. 😅😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terlalu konyol dan berlebihan sih buatku daripada tengil. 😂

      Delete
  5. Agak kecewa memang, mendapati Junot yang aktingnya menjurus ke Zafran (5 cm).. bukan yg benar2 Harris..
    Dan yaaa.. film nya biasa2 aja..

    ReplyDelete
  6. Ngerasa gini juga pas dan abis nonton. Filmnya overhyped banget, tapi pas ditonton ya....Meh. Multiple points of view yang bikin AR unik di filmnya malah jadi kayak dipaksakan. Saya nggak ada ekspektasi apa-apa pas mau nonton, cuma eksekusi multiple points of view-nya aja kayak gimana, soalnya yang beginian kan susah dapet flownya yang enak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mending ditiadakan saja sih karena disinipun nyatanya mubazir. Nggak nambah apa-apa, malah justru ngurangi. Dialognya terlalu cerewet sementara adegannya nggak nunjukkin apapun buat memperkuat dialog itu. Aneh sih jadinya.

      Delete
  7. Wah serius nih? Aku penggemar berat novelnya sih, hampir semua novel kak Ika Natassa. Tapi film Critical Eleven kemaren pun kurang ngena aja kayak ada yg ga komplit

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah kalau penggemar berat tentu mesti nonton buat buktiin sendiri. Siapa tahu suka. Tapi aku lebih milih Critical Eleven sih.

      Delete
  8. Saya curiganya ika natassa terlalu controlling ttg skenario dll .kalao dr twit2nya, kelihatan sekali dia ingin dilibatkan dlm segala hal. Seharusnya ketika dia jual hak cipta utk difilmkan, dia bebasin aja tim yg bekerja. Dia duduk manis aja. Tapi ternyata nggak. Masalahnya dia sering merasa sok tau sndiri, merasa paling pintar sendiri, jd pengen semua seperti yg dia pikirkan yang belum tentu tepat. Ika natassa bisa saja hebat sebagai banker dan penulis, tapi cukup di situ saja seharusnya. Gak usah pake ikut campur soal adaptasi bukunya ke film. Kasihan para pembaca setia nya yg kecewa. Gak mungkin kan diperbaiki bikin film AR baru?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maklum, orang tua manapun pasti akan was-was saat menyerahkan buah hatinya untuk diasuh oleh orang lain. Jadi aku paham dengan tindakan Ika yang minta dilibatkan dalam proses pembuatan film. Malah sebenernya aku agak ragu kalau Ika beneran mengontrol karena well, kalau aku jadi dia tentu nggak setuju dengan pemilihan Rizal Mantovani sebagai sutradara dan Herjunot Ali melihat track record mereka. Pengakuan Ika mengenai kurangnya kontrol pada adegan bobo bareng itu makin bikin curiga sih. Itu adegan krusial lho, kok bisa sampai kelewat?

      Delete
    2. Kalau ikutin pemilihan castnya tahun lalu , Ika Natassa kayanya emang dilibatkan deh di pemilihan cast , sayang aja sih karakter berpotensi jadi sia-sia ditangan Junot karena dia tidak mampu melebur kedalamnya, ini Junot kalau terus main di Soraya atau Hit Maker akan jadi aktor medioker, kegiling dia sama aktor muda pendatang baru macam Jefri Nicho , Iqbal Ramadhan, dkk padahal aktor lain kan banyak di Indonesia.

      Delete
    3. Padahal Junot sebenernya bisa bagus kalau mendapat peran yang sesuai. Tapi entahlah, mungkin dia memang merasa nyaman dengan kontraknya bersama Soraya seperti halnya Shandy Aulia.

      Delete
  9. Yes sih ini review, jujur gue nonton ampe 2x pengen ngerasain gitu beneran alur ceritanya, tapi emang 2x nya pun kerasa hambar 😢😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh. Aku nggak sanggup kalau mesti nonton lagi. Hahaha.

      Delete
  10. dataaarrr banget filmnya dari awal sampe akhir. Junot sama Refal gak pas aktingnya. Wagu. Carissa agak mending tapi gak bisa dikatakan wah sbg pendatang baru.

    btw, aku blm pernah baca novelnya, jadi memang awam sama sumber cerita film ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau awam malah makin bisa ngerasain dimana kekurangannya karena motivasi karakternya jadi keliatan nggak jelas. Tapi memang, akting pemainnya dapat dibilang sangat kurang sih.

      Delete
  11. Hi Cinetariz,
    Salam kenal, saya Aryan anak kudus juga, tapi sekarang udah tinggal di Jakarta, dan penggemar film juga.
    Saya setuju bahwa Soraya salah pilih Rizal jadi sutradara, melihat track record film yang digarapnya. Mungkin film ini jadi lebih terasa kalau digarap tanpa campur tangan Rizal, toh di film Tenggelamnya kapal van der wijck digarap soraya n fams hasilnya oke oke aja tanpa harus hired sutrada lagi.

    Tapi, menurut saya Antologi rasa bukanlah film yang kehilangan rasa, Carissa cukup natural aktingnya dan dapat melebur dengan karakter Keara dibayangan saya. namun ntah kenapa film nya tidak banyak menggunakan english dialog, toh ini drama dari buku metropop yang memiliki image hedonis dan kebarat baratan. Target audience juga pasti yang dia sedikit2 bisa bahasa inggris karena ini film untuk 17 tahun keatas. kemudian di novel juga mostly dialognya english.
    Junot cukup bagus juga sebagai Harris, cukup menaikan pamornya setelah gagal di film Suzzana tahun lalu.
    Sinematografi juga indah terutama pas scene di Bali, sejauh ini masih recomended untuk ditonton. film ini masih bisa dinikmati. Jadi buat kalian jangan ragu buat nonton film ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau Joko Anwar ngedirect mungkin film ini jadi lebih dark romance kali ya , Soraya masih Setia pake Rizal Mantovani, padahal akhir-akhir ini film dia buruk semua.

      Delete
    2. Pilihan sutradara di Indonesia emang nggak banyak sih, jadi mau nggak mau akhirnya kerjasama dengan orang-orang yang sama. Padahal melihat hasil akhir Critical Eleven kemarin, bisa tuh ngerekrut Monty Tiwa. Buatku dia memiliki sensitivitas dalam meramu film percintaan. Rompis yang punya cerita sederhana dan berpotensi FTV banget saja bisa jadi manis dibawah pengarahan beliau.

      Delete
  12. Kalo Mas Tariz udah sampe kebosenan di bioskop itu pertanda buruk.
    Anyway, yang paling cringey menurutku adalah penggunaan voice-over yang entah gimana kurang bijak, dan terkesan malas. Penulis naskahnya ngga mau mencontoh Critical Eleven yang menurutku sukses merekonstruksi bukunya yang unfilmable jadi kerasa emosional. Star factor juga sih ya :))))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh ada Bang Paskal, salim dulu ahhh...

      Critical Eleven juga banyak terbantu sama Reza dan Adinia. Kalau bukan mereka, bisa jadi nggak sebagus itu. Dan aku setuju banget kalau penggunaan voice over di sini emang sangat mengganggu. Mereka lebih milih buat jelasin daripada nunjukkin. Seringkali, apa yang dijelasin nggak sesuai dengan bahasa gambarnya. Kan wagu yaaa :)))

      Delete
  13. “rasanya ingin sekali memejamkan mata usai setengah jam berjalan”

    Demi apapun bang. Gue setuju banget sama lo, dan pas gue liat ini film di bioskop, gue masih tahan pas Keara - Harris di Singapore, habis itu lanjut ke Bali, gue setengah ngantuk dan pas pertengahan film, gue tidur pulas sampe dibangunin petugasnya gara - gara filmnya udah selesai.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya ampun sampai bobo pulas :)))))

      Menit-menit awal emang masih asyik sih walau aku udah ngerasa gatel dengan kemunculan gambar-gambar beresolusi rendah (ngilangin kesan mahalnya!). Ironisnya film malah jadi ngebosenin setelah konflik dimulai.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch