March 4, 2019

REVIEW : DILAN 1991


“Kalau aku jadi presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya, maaf aku pasti tidak bisa. Karena aku cuma mencintai Milea.”

Siapa sih yang tidak mengetahui pasangan fiktif Dilan dan Milea dari film bertajuk Dilan 1990 (2018)? Terlepas dari kamu menyukainya atau tidak menggemarinya, rasa-rasanya sulit untuk menyangkal bahwa dua sejoli ini merupakan fenomena tersendiri dalam perfilman tanah air. Mereka tak ubahnya Galih dan Ratna, atau Cinta dan Rangga, bagi generasi pemuja gawai. Ada alasan tersendiri mengapa film yang disadur dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq ini mampu mendatangkan 6 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop. Bukan hanya karena materi sumbernya telah membentuk basis penggemar yang loyal, tetapi juga karena rayu-rayuan si karakter tituler kepada Milea mampu meluluhkan hati banyak perempuan dari berbagai lapisan usia maupun tingkatan sosial (!). Bagi perempuan muda, cara Dilan merayu dianggap merepresentasikan hubungan asmara yang ideal. Sementara bagi perempuan di tingkatan usia lebih dewasa, hal ini kerap dijadikan ajang nostalgia ke masa-masa berpacaran di SMA yang manis. Ditunjang pula oleh penampilan berkarisma dari Iqbaal Ramadhan, perempuan mana yang tidak klepek-klepek begitu mendengar sang panglima tempur melancarkan jurus ngegombalnya? Saya saja terkadang tersenyum-senyum gemas sekalipun menjumpai setumpuk kelemahan dari Dilan 1990 diluar faktor akting pemain yang memang merupakan kekuatan utama film. Satu hal yang paling mengusik diri ini selama menontonnya adalah ketiadaan konflik yang kuat untuk menopang narasi sehingga tak jarang film menimbulkan rasa jenuh.

Selama durasi mengalun, saya hanya menyimak sepasang merpati saling bercumbu rayu ditengah-tengah plot yang nyaris kosong. “Apa yang ingin disampaikan oleh film ini melalui kisah kasih Dilan (Iqbaal Ramadhan) dengan Milea (Vanesha Prescilla)?” adalah satu pertanyaan yang saya lontarkan seusai menyaksikannya. Mendengar keluhan saya, seorang kawan baik pun menyahut, “tenang saja, kamu bakal mendapati konflik di buku kedua kok,” yang seketika membuat antisipasi terhadap Dilan 1991 tetap berada dalam posisi tinggi. Dan benar saja, ada problematika yang mencuat di jilid kedua terkait hubungan percintaan Dilan dan Milea yang baru seumur jagung. Penyebab utamanya adalah Milea yang dirundung rasa khawatir lantaran nyawa kekasihnya akan terus terancam apabila Dilan kekeuh mempertahankan posisinya sebagai anggota geng motor. Terlebih lagi, sekelompok orang tak dikenal pernah menyerang Dilan tatkala dia sedang bersantai di warung langganannya. Bukankah itu amat mengerikan? Jadi wajar-wajar saja jika kemudian Milea merajuk lalu meminta Dilan untuk menghentikan kegiatan sampingannya ini. Dia sudah didepak dari sekolah akibat berantem, dia sudah babak belur karena diserang suatu oknum, dan Milea tidak ingin Dilan menanggung konsekuensi lebih besar lantaran memilih untuk membalas dendam kepada mereka yang telah melukainya. Sayangnya, kekhawatiran Milea yang berujung pada larangan justru diabaikan begitu saja oleh Dilan sehingga hubungan mereka yang mulanya manis-manis saja seketika berubah menjadi masam. Kehadiran Yugo (Jerome Kurnia), anak dari sepupu jauh ayah Milea, pun kian memperkeruh keadaan.


Mereka yang menggilai film pertama karena kandungan dialog-dialog gombalnya yang melimpah, bisa jadi bakal mendengus kecewa apabila mengharapkan film kelanjutannya ini akan mengaplikasikan formula senada seirama. Memang benar kamu masih akan menjumpainya di 15 menit pertama – dimana film melanjutkan penceritaan tepat seusai linimasa di penghujung Dilan 1990 – yang menampilkan kemesraan Dilan dengan Milea pasca mereka meresmikan hubungan mereka. Ada adegan naik motor dibawah guyuran air hujan, adegan berciuman menggunakan tangan sebagai pengganti bibir, sampai adegan melepas rindu melalui ujung telepon masing-masing. Tapi tak seperti ‘sang kakak’ yang memunculkannya di sepanjang durasi mengingat fokusnya adalah proses pedekate Dilan kepada Milea, Dilan 1991 mereduksinya secara perlahan terhitung sedari Dilan menjadi korban pengeroyokan dan sang pujaan hati menyuarakan keberatannya mengenai keputusan Dilan untuk bertahan di geng motor. Ini bisa dipahami lantaran fokus film beralih ke masa berpacaran yang tak selamanya berbunga-bunga. Persoalan yang mulanya tak memiliki impak signifikan pada pergerakan kisah, sekali ini dapat berpengaruh besar karena Dilan tak lagi sendiri. Satu tonjokan yang mendarat ke mukanya atau satu keinginan untuk menyerang balik ke geng seberang mampu memicu konflik dengan pasangannya. Milea yang sebelumnya terlihat pasif sebagai karakter sentral dan sebatas diperlihatkan seperti gadis yang kesengsem bad boy, akhirnya diberi kesempatan untuk menunjukkan sikapnya. Dia mengetahui apa yang dimauinya dari hubungannya dengan Dilan.

Dibandingkan dengan sang predesesor, Dilan 1991 jelas berada di tingkatan yang lebih unggul. Terdeteksinya konflik membuat Dilan 1991 terasa lebih memiliki pergerakan, terasa lebih menggigit, dan terasa lebih emosional. Durasi yang merentang sepanjang 121 menit memang agak kepanjangan – bisa dipadatkan sekitar 10 menit utamanya di babak ketiga yang cenderung berlarut-larut – tapi paling tidak, film arahan Fajar Bustomi beserta Pidi Baiq ini mempunyai sesuatu untuk disampaikan perihal toxic relationship yang dipicu oleh ego, nafsu, sampai terbatasnya ruang komunikasi. Menariknya, ini tak melulu bersumber dari dua karakter utama tetapi juga karakter-karakter pendukung semacam Yugo, Kang Adi (Refal Hady), serta guru Bahasa Indonesia berpikiran kotor, Pak Dedi (Ence Bagus), yang kesemuanya menginginkan timbal balik dari relasi mereka dengan Milea. Perempuan polos ini menolak untuk menyerahkan cintanya kepada para lelaki berbahaya nan manipulatif ini seraya tetap berharap kekasihnya akan takluk pada keinginannya tanpa pernah menyadari bahwa hubungan yang terjalin diantara mereka pun sejatinya telah bertumbuh ke arah tidak sehat. Dilan menolak kebebasannya dikekang, sedangkan Milea berharap sang belahan jiwa akan berubah menjadi lelaki baik-baik yang taat aturan. Untuk sesaat, penonton mungkin mengira pilihan Dilan ini terkesan egois dan kekanak-kanakkan karena enggan mengikuti kemauan Milea untuk berubah ke arah positif. Namun satu hal yang perlu diingat, narasi ini dituturkan menggunakan perspektif Milea yang terbatas alih-alih serba tahu sehingga kita baru bisa memahami konflik ini secara utuh selepas menyaksikan jilid ketiga berjudul Milea yang direncanakan rilis di bioskop pada tahun depan. Kita bahkan belum diajak memafhumi motivasi Dilan yang sebegitu ngototnya untuk bertahan di geng motor.


Berhubung si pembuat film akan menyodorkan jawabannya di instalmen berikutnya, saya pun tak ambil pusing. Toh Dilan 1991 terhitung mampu untuk tersaji sebagai tontonan percintaan yang cukup memuaskan. Memang ada kalanya laju penceritaan terasa tersendat-sendat dan tata artistiknya pun masih gagap dalam menguarkan latar waktu secara meyakinkan akibat product placement kelewat ngeyel (ehem, Loop dan Sari Roti belum ada di tahun 1991 yaaa), tapi Dilan 1991 tentu bukan berada di kelas sinetron seperti kerap dituduhkan oleh netizen nyinyir berkat performa jajaran para pemain yang mengesankan. Iqbaal Ramadhan tampak sudah nyaman dengan peran yang dimainkannya, begitu pula dengan Vanesha Prescilla yang sekali lagi membuktikan bahwa dia adalah masa depan perfilman Indonesia. Keduanya menunjukkan transisi meyakinkan dari mula-mula terlihat seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara, lalu perlahan merenggang, sampai kemudian tampak bagaikan dua orang asing yang sebelumnya tak pernah memiliki ikatan antara satu dengan lain. Dari transisi akting ini, penonton dapat merasakan adanya perubahan emosi dalam jiwa Dilan-Milea yang mencakup kebahagiaan, kesedihan, kesepian, sampai ketidakrelaan. Beragam emosi yang juga sempat saya rasakan selama menonton Dilan 1991.

Note : Dilan 1991 mempunyai adegan bonus yang terletak di penghujung end credit. Jadi bertahanlah sampai film benar-benar tuntas.

Exceeds Expectations (3,5/5)


11 comments:

  1. Hai bang, ada akun sosmed IG / Facebook / Twitter ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada. Untuk pribadi bisa ke @TarizSolis sementara khusus blog kunjungi @Cinetariz. Semuanya di Twitter ya, aku kurang aktif di IG.

      Delete
  2. Dilan 1991 mnurut saya jauh lbih bagus, dan saya penonton jdi ingin ikut terlibat ddlm fim hahaa gemaaas krn hnya prsoalan komunikasi dan slah paham mmbuat mreka ptus, krn pd akhirnya saya hnyalah pnonton itu yg mmbuat saya sedih krn tdk bsa mmbntu mreka hehee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Persoalan komunikasi itu nggak bisa disebut 'hanya' lho. Banyak pasangan putus yang sumbernya dari komunikasi.

      Delete
  3. Mas cinetariz, bisa uraian ga?? Gimana cara buat ulasan film.. singkat saja menurut pengalaman mas cinayariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau tahap-tahapku sih biasanya catetin dulu plus minus dari film itu. Konsenku di awal-awal lebih ke naskah, akting, sama penyutradaraan. Setelah itu dikembangin ke paragraf yang susunannya pengenalan, sinopsis, isi, dan konklusi.

      Delete
    2. Dan naskah, akting, dan penyutradaraan yg bagus itu seperti apa ?
      Nanya juga soalnya saya suka bingung saat review film 😊

      Delete
    3. Mudahnya sih seperti ini. Naskah itu meliputi dialog, plot, dan penulisan karakter. Plot punya logika bercerita yang masuk akal nggak (dari sebab akibat) dan karakternya dituliskan dengan jelas atau tidak. Mereka punya sifat maupun motivasi tindakan yang kuat atau hanya sekadarnya. Akting bisa dilihat dari cara si pemain menghidupkan karakter, ada kesesuaian dengan deskripsi karakter atau terlalu datar atau terlalu berlebihan. Kalau penyutradaraan secara sederhananya, hasil akhir. Kadang film yang naskahnya buruk pun bisa enak ditonton karena faktor penyutradaraan. Bagaimana dia memilih laju penceritaan (cepet, lambat, atau sedang), bagaimana dia memilih tone penceritaan (dibikin suram, ceria, dsb). Mudah-mudahan membantu dan nggak makin bikin bingung. Aku juga masih butuh banyak belajar 😊

      Delete
    4. Wah gitu ya min.. makasi banyak atas penjelasan nya 😁

      Delete
  4. Bang kenapa ga pernah review film dokumente..
    Ada film bagus free Solo sama leaving neverland

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pernah kok. Dulu sempet ngulas Banda dan Noah Awal Semula. Priotitasku kan emang film-film yang tayang di bioskop dulu (kecuali emang lagi pengen banget) dan emang jarang sekali ada film dokumenter yang rilis di bioskop.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch