May 22, 2019

REVIEW : BRIGHTBURN


“Whatever you’ve done, I know there is good inside you.”

Mesti diakui, Brightburn mempunyai premis yang menggoda selera. Coba bayangkan, bagaimana seandainya Clark Kent – sosok dibalik kostum Superman – yang berasal dari planet lain ternyata memiliki motif berbeda saat mendiami bumi? Alih-alih menyelamatkan planet barunya dari cengkraman manusia-manusia lalim, dia justru menciptakan huru-hara secara masif dengan mendayagunakan kekuatannya yang luar biasa. Terdengar menjanjikan sekaligus mengerikan di waktu bersamaan, bukan? Gagasan untuk mendeskontruksi hikayat kepahlawanan yang telah kita akrabi selama puluhan tahun ini mencuat dari James Gunn yang kita kenal sebagai sutradara dwilogi Guardians of the Galaxy. Selagi lebih memilih untuk menduduki kursi produser lantaran disibukkan oleh proyek besar Marvel Cinematic Universe, James menyerahkan amanat kepada saudara beserta sepupunya, Mark Gunn dan Brian Gunn, guna mengejawantahkan ide ini ke dalam bentuk skenario. Sementara untuk mengomandoi proyek, kepercayaan diberikan kepada David Yarovesky yang jejak rekamnya mencakup film seram bertajuk The Hive (2014) beserta beberapa film pendek. Menilik betapa menjanjikannya gagasan yang diusung oleh Brightburn yang memberikan pelintiran terhadap Superman, sukar untuk tidak penasaran seraya bertanya-tanya, “akankah film benar-benar mampu memenuhi potensi yang dipunyainya atau malah hanya akan memperpanjang daftar kegagalan tontonan yang mengusung high concept?”

Seperti telah kita ketahui bersama, Clark Kent yang masih bayi dikirim ke bumi oleh ayahanda kandungnya demi keselamatan dirinya. Sesampainya di tanah Amerika, Clark ditemukan oleh sepasang suami istri yang tak kunjung dikaruniai momongan dan mereka pun memutuskan untuk membesarkan Clark. Dalam Brightburn, awal mula kisahnya pun bisa dibilang senada. Tori (Elizabeth Banks) beserta suaminya, Kyle (David Denman), mempunyai latar belakang serupa dengan Jonathan maupun Martha. Mereka memiliki sebuah peternakan dan segala upaya untuk mendapatkan keturunan tak kunjung membuahkan hasil. Di saat mereka mencoba menerima kenyataan yang ada, Tuhan (atau sesuatu yang lain?) akhirnya mengabulkan doa mereka selama bertahun-tahun dengan mengirimkan sebuah meteor. Bukan sembarang meteor, karena ada bayi mungil nan menggemaskan yang tersembunyi di dalamnya. Memperoleh kiriman seperti ini, Tori dan Kyle jelas berbahagia. Keduanya sebisa mungkin menciptakan lingkungan yang kondusif bagi putra angkat mereka yang diberi nama Brandon (Jackson A. Dunn) ini. Untuk tahun-tahun pertama, Brandon memang terlihat seperti bocah kebanyakan yang kebetulan mempunyai otak encer. Tapi setelah dirinya menginjak usia 12 tahun, perubahan yang lebih signifikan mulai menjangkiti dirinya. Bermula dari “panggilan gaib” yang diterimanya, Brandon tak lagi bersikap manis kepada orang-orang di sekitarnya termasuk orang tua angkatnya. Dia merancang sesuatu yang jahat dan tak segan-segan menghabisi nyawa mereka yang menghalangi langkahnya.


Sebagai tontonan yang berpijak di koridor horor, Brightburn dibekali trik menakut-nakuti yang boleh dikata cukup mumpuni. Yarovesky menguarkan kengerian melalui perpaduan atmosfer mengusik ketenangan batin dengan kesadisan yang levelnya tidaklah main-main. Bagi kamu yang ‘alergi’ terhadap darah, bersiaplah untuk menutup mata berulang kali selama menyaksikan film ini karena warna merah pekat tersebut kerap berpartisipasi dalam memeriahkan adegan teror maupun pembunuhan. Beberapa diantaranya memang sudah ditampakkan lewat materi promosinya, tapi tetap saja, saya masih bisa mendapati sensasi ngeri tatkala menengok bola mata ketujes beling, rahang terjatuh yang diilustrasikan secara harfiah, sampai anggota tubuh yang terkoyak-koyak. Tubuh ini mendadak bergidik dibuatnya. Ya,  untuk urusan memberikan mimpi buruk kepada penontonnya, Brightburn memang layak memperoleh apresiasi. Apabila ekspektasi yang kamu tanamkan terhadap film ini semata-mata hanya ingin dibuat merem segan melek tak mau maupun sesekali terlonjak dari kursi bioskop, Brightburn tak akan mengkhianati pengharapanmu. Namun jika dirimu melangkahkan kaki ke bioskop lantaran tergoda oleh premisnya yang seksi dan mendamba akan memperoleh sajian yang mindblowing, maka antisipasi munculnya reaksi-reaksi berikut ini: geleng-geleng kepala, mengerucutkan bibir (kalau kata orang Jawa, mecucu), serta menguap-nguap. Sederet reaksi yang sering saya utarakan di berbagai titik lantaran potensi besar yang dimiliki film ternyata disia-siakan begitu saja.

Ketimbang mengelaborasi premis, si pembuat film justru hanya bermain di permukaan. Selama durasi mengalun, Brightburn sebatas berceloteh soal bocah berkekuatan Superman yang bertindak jahat. Udah, gitu aja. Tak ada penggalian terhadap motivasinya, tak ada pula penjabaran mengenai masa lalunya, tak ada juga upaya untuk membuat penonton terkoneksi dengan para karakternya. Saya sih tidak terlalu berharap klan Gunn beserta Yarovesky akan memberi penonton penglihatan ke planet asal Brandon mengingat keterbatasan bujet, tapi setidaknya, berikan informasi terkait masa kecilnya. Apakah kedua orang tua angkatnya benar-benar memperlakukan dia dengan baik seperti pengakuan mereka? Dan apakah gelagat Brandon sebagai bocah berhati iblis telah tampak sedari bayi tapi hanya dianggap angin lalu oleh orang tuanya? Dalam The Omen (1976) yang kentara menjadi salah satu bahan rujukan, penonton sudah bisa mendeteksi bahwa Damien tidak seimut kelihatannya sedari mula. Kita paham pula mengapa dia bisa bertindak sedemikian keji. Sedangkan dalam Brightburn, transformasinya terlampau tiba-tiba yang memunculkan tanya: apakah perubahan ini karena pengaruh bisikan gaib? Jika ya, darimana asalnya bisikan tersebut? Apakah ‘sekoci’ yang ditungganginya mempunyai kekuatan supranatural? Kalau benar, mengapa muncul obsesi menghancurkan bumi? Menggunakan pikiran positif, saya berasumsi kalau ini adalah upaya si pembuat film untuk meneguhkan elemen misteri sehingga kita berkeinginan mencari tahu di jilid berikutnya (jika memang dilanjutkan sebagai franchise). Hanya saja, pikiran positif ini tak sanggup didayagunakan untuk bersimpati kepada barisan karakternya.


Satu-satunya karakter yang tampak simpatik adalah Kyle, sementara Brandon terlampau satu dimensi sebagai villain dan Tori acapkali bikin ngedumel akibat penyangkalan-penyangkalannya yang hanya memperburuk situasi. Saya sulit untuk melihat sisi baik dari Brandon yang kobaran api dendamnya begitu meluap-luap hanya karena satu dua ejekan (maksud saya, ini tetap bullying tapi tarafnya belum cukup untuk menciptakan amarah ala Carrie White) dan saya juga sulit untuk memahami tindakan Tori. Dia menyadari ada sesuatu yang salah dengan putranya, tapi dia memilih untuk mengabaikannya sampai semuanya benar-benar terlambat. Gemes nggak sih? Saya memang mengagumi cara Brightburn dalam meneror penontonnya, tapi narasi terlampau sederhana hasil dari premis menakjubkan yang membuat sebagian besar karakter “menderita” ini nyatanya amat mendistraksi. Bukannya geleng-geleng kepala karena kagum, saya justru geleng-geleng kepala karena gagal paham begitu lampu bioskop dinyalakan. Saya pun hanya bisa berkata, “Brightburn tak pernah memenuhi potensinya dan hanya memperpanjang daftar kegagalan tontonan yang mengusung high concept” yang sekaligus menjawab pertanyaan di penghujung paragraf pertama. Sayang sekali.

Acceptable (2,5/5)

4 comments:

  1. Tapi banyak yg kasih ulasan bagus min,,, malah ada yg berani kasih rating 4.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya itu pendapat mereka. Masa karena banyak yang ngasih ulasan bagus terus ngikutin juga?

      Delete
    2. Benar juga sih, saya juga pernah beberapa kali nemui film yg kata banyak orang bagus tapi pad daya tonton biasa saja. Gak tahu krn cara pandang nya beda atau memang bukan selera saya. 😁

      Delete
    3. Disitulah menariknya film. Berhubung bukan ilmu pasti jadi bisa menerima berbagai perspektif. Sah-sah saja kok kalau pandangannya berbeda. Pengalaman setiap orang kan beda-beda dan ini biasanya berpengaruh ke penilaian.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch