“Are you not disturbed by what we just saw?”
Pada tahun 2018 lalu, sutradara
pendatang baru Ari Aster membuat para pecinta film terhenyak melalui debutnya
bertajuk Hereditary yang kerap
disebut-sebut sebagai salah satu tontonan seram terbaik di era 2010-an. Tanpa
banyak mengandalkan jump scares untuk
memantik ketakutan, si pembuat film justru banyak bergantung pada atmosfer
beserta imaji-imaji menggelisahkan guna menciptakan mimpi buruk bagi penonton. Sebuah
trik yang terhitung berhasil, lebih-lebih karena Aster mempunyai dua bekal
penunjang yang kuat: narasi mengikat beserta akting pemain yang gila. Saking
mempannya Hereditary dalam
meninggalkan kesan tak mengenakkan selepas menonton, para penonton (termasuk
saya) pun seketika menaruh perhatian terhadap langkah Aster selanjutnya. Kita
ingin tahu, akankah dia mengkreasi kegilaan lain dalam film keduanya, atau dia akan
mencoba bereksperimen dengan menjajal genre lain? Tanpa mengambil waktu jeda
terlampau lama, sutradara yang mengawali karirnya dengan menggarap film-film
pendek ini lantas berkolaborasi kembali dengan A24 – distributor dari film
perdananya – untuk mengerjakan sebuah film horor. Mengusung judul Midsommar, pendekatan yang coba diambil
sekali ini agak berbeda dengan buah karya terdahulu. Tak ada lagi nuansa serba
gelap nan bermuram durja untuk membangun atmosfer mengganggu, sebagai
penggantinya adalah warna-warna ceria khas musim panas. Menilik pendekatan yang
terbilang nyeleneh tersebut, maka tak heran ada satu pertanyaan mengemuka: apa
yang lantas menjadikan Midsommar terasa
menyeramkan jika segalanya serba cerah?
Well, seperti kita ketahui bersama, dunia ini begitu misterius.
Sesuatu yang tampak dilingkupi kegembiraan belum tentu memberikan rasa aman,
demikian pula sebaliknya. Dalam kasus Midsommar,
kengerian beserta teror berasal dari sebuah lokasi yang tampilan luarnya
memberikan kesan seperti tempat paling layak huni di muka bumi. Para
penduduknya senantiasa tersenyum ramah, pesta perayaan penuh suka cita dihelat
saban musim panas, pemukiman yang jauh dari hingar bingar perkotaan, dan sinar
matahari pun tak henti-hentinya menyinari sekalipun malam telah tiba. Menengok
deskripsi tersebut, apa sih yang mungkin salah dari komunitas Harga di Swedia
ini? Dani (Florence Pugh), seorang mahasiswi asal Amerika Serikat, yang
mengunjungi komunitas ini bersama kekasihnya, Christian (Jack Reynor), beserta
teman-temannya, Mark (Will Poulter) dan Josh (William Jackson Harper), pada mulanya
menganggap segala sesuatu di tempat ini tampak sempurna. Lebih-lebih bagi Josh
yang berencana mengulik tradisi musim panas Harga sebagai topik utama untuk
tugas akhirnya. Tapi selepas mereka menyaksikan para tetua menjalankan ritual attestupa dimana mereka melakukan aksi
bunuh diri pada usia tertentu, pandangan mengenai kesempurnaan seketika
terhempas. Beberapa personil tampak terguncang sampai-sampai berinisiatif untuk
kabur, sementara Josh sendiri justru menaruh ketertarikan lebih. Di saat mereka
akhirnya memutuskan untuk bertahan pasca ditenangkan oleh penduduk setempat,
kejanggalan demi kejanggalan justru semakin tak terbendung hingga akhirnya
mencapai tahap mengancam keselamatan Dani dan kawan-kawannya.
Ketimbang Hereditary yang terpampang nyata sebagai produk horor, mesti diakui
Midsommar lebih berpotensi untuk
memecah belah pandangan penonton karena pendekatan sang sutradara yang terbilang
nyentrik. Tak ada kegelapan yang mendorong kecurigaan, tak ada pula daya kejut
untuk membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop. Segalanya berlangsung
cerah, tenang, serta tak jarang pula, ada canda tawa menghiasi. Yang kemudian
menjadikannya mengerikan adalah perspektif penonton yang diatur sedemikian rupa
oleh si pembuat film sehingga melahirkan kesimpulan bahwa “ada sesuatu yang salah dari Harga, ada sesuatu yang jahat di sini.”
Tapi benarkah demikian? Apakah komunitas ini memang perlu diwaspadai, atau
justru sebetulnya teman-teman Dani lah yang merupakan villain utama dari film berjenis folk horror ini? Pada separuh durasi pertama, saya yakin bahwa
Harga bukanlah tempat yang aman. Ada kejanggalan-kejanggalan muncul yang
ditampilkan dalam bentuk imaji menggelisahkan kenyamanan oleh Aster, seperti
kepala yang dihancurkan menggunakan palu raksasa, diiringi dengan musik
bernuansa etnik yang membuat bulu kuduk meremang. Selayaknya Dani, saya
mengalami keterkejutan (dan guncangan) bukan main menyaksikan para tetua
menjalani ritual atestupa. Tapi seiring
berjalannya durasi, saya menyadari bahwa ini semua perihal perspektif. Ini semua
hanya soal “kebiasaan”. Kita menganggap Harga sebagai tempat menyeramkan, tapi
bukankah tempat yang kita diami saat ini justru lebih menyeramkan? Setidaknya ada
alasan-alasan baik dibalik kepercayaan pagan yang dipegang teguh oleh masyarakat
Harga dan mereka tidak memiliki tendensi untuk melukai antara satu dengan yang
lain. Mereka rukun, mereka saling mencintai, dan mereka tidak menyebarkan
kebencian diantara sesama warga.
Pandangan Dani pun
berangsur-angsur berubah setelah dia memutuskan untuk bertahan di Harga. Dia melihat
kepedulian dari mata para penduduk, sementara dari mata kekasih maupun
teman-temannya, dia melihat keengganan. Dari sini, definisi “horor” digali
lebih mendalam oleh Aster melalui jalinan pengisahan mengikat dimana rasa takut
bukan semata-mata dipantik oleh parade gambar menyeramkan atau musik yang
menyebabkan diri ini bergidik ngeri, melainkan dari sudut pandang
manusia mengenai kesendirian maupun diabaikan. Itulah mengapa, Aster lantas
memilih Dani sebagai fokus penceritaan. Semua kengerian di sini berasal dari
sudut pandang Dani sehingga mudah bagi saya untuk mengatakan bahwa Midsommar sejatinya merupakan kisah
perjalanan spiritual bagi si protagonis utama. Terlebih, kita juga menyaksikannya
berproses. Dari seseorang yang menanggung duka akibat kehilangan keluarga dalam
satu tragedi, lalu menyimpan luka akibat penolakan implisit dari orang-orang di
sekitarnya, sampai kemudian dia menemukan satu komunitas yang bersedia menerimanya
dengan tangan terbuka. Terdengar dalam? Memang begitulah film ini. Disamping mengulik
soal perspektif, sang sutradara juga berniat memperbincangkan tentang mental illness, atau dalam hal ini
depresi, dalam Midsommar. Dani adalah
perwakilan penyandang depresi, Christian adalah representasi dari masyarakat
kebanyakan yang kebingungan tatkala berhadapan langsung dengan penderita depresi, Mark beserta
Josh adalah gambaran toxic people nihil empati yang memandang sepele depresi, dan Harga adalah support system yang seharusnya dimiliki oleh setiap penyandang
depresi.
Dalam satu adegan yang
memperlihatkan Dani terkena panic attack
dan penduduk Harga mengikuti tangisan meraung-raungnya, saya menemukan beberapa
penonton tertawa terbahak-bahak. Memang betul bahwa reaksi penduduk Harga ini tergolong
janggal. Tapi janggal menurut siapa? Menurut masyarakat yang memilih untuk
meredam perasaan sedemikian rupa lantaran menangis tersedu-sedu atau melompat
kegirangan bertopensi diberi label “gila”, "drama", maupun “lebay”? Lagi-lagi, ini soal
perspektif. Namun dalam pandangan saya, adegan yang menjadi titik balik bagi
karakter Dani ini sebetulnya menyesakkan sekaligus melegakan. Menyesakkan karena
Dani merasakan sakitnya pengkhianatan dari seseorang yang selama ini dia pikir
punya kepedulian kepadanya, melegakan karena dia menemukan orang-orang yang
memahami betul kondisi kejiwaannya. Sebagai seseorang yang pernah berada di
posisi Dani – dan beruntung mendapatkan support
system – saya bisa mengerti bagaimana perasaannya. Saya pun bisa mengerti
apa makna dari senyuman di penghujung film. Sebuah senyuman yang membuat diri
ikut tersenyum (dan juga merana), lalu merinding dibuatnya. Tapi tentu saja, ini merinding yang
berbeda dari merinding tatkala menyaksikan imaji-imaji aneh di sepanjang durasi
Midsommar.
Outstanding (4/5)
ini masuk genre horror slasher atau psikopat gore?
ReplyDeleteKalau lihat Dani nangis, rasanya pengen ikut nangis kalau mengingat hidup.
Lebih ke psychological horror sih, dan ada yang nyebut folk horror juga.
DeleteSama! Aku bener2 shock banget pas adegan bunuh diri dan dipukul itu (padahal sengaja gamau nonton di bioskop tp nonton versi kamera jelek di situs bajakan biar efeknya ga terlalu bikin traumatis). Makin lama makin WHAT THE FUUUUCCCKKK (terutama scene seks itu, dimana si perempuan2 niru desahan si cewek. Itu faaaakkk).
ReplyDeleteGila sih. Beruntung aku cuma nonton bajakan, krn habis nonton ini aku sempet gak waras beberapa saat 😅😅😅 walau sayang cerita tentang perkampungannya kurang di eksplor sih kataku. Seperti soal inses, soal penari, dll jadi aku ngerasa kurang paham sama latar belakang desa tsb.
*btw adegan dani terserang anxiety itu persis sama apa yang aku rasain kalo anxiety ku lagi kambuh :( #pejuangmentalillness*
Yang di bajakan malah makin jelas tuh karena tanpa sensor. Kalau di bioskop agak dihaluskan soalnya, tapi tetep berasa sih disturbingnya. Yang soal inses dsb itu sengaja nggak dieksplor sih buat menambah kesan misterius. Apalagi film ini kan sebenernya tentang Dani, bukan soal desa itu.
DeleteOmong-omong, kamu ngalamin anxiety juga ya? Mari bersalaman kalau begitu 😁
Huuu bales peluukk 😍😍
DeleteTak terlalu suka film horor tipe kayak gini,, tapi masih lumayan suka dgn adegan2 yg nyeleneh nya...
ReplyDeletesitus resmi slot
ReplyDeletesitus slot gacor terpercaya
situs slot online
situs slot online terpercaya
situs slot resmi