“Ini kesempatan kita. Kita harus berjuang seperti… Perang Puputan!”
Upaya Falcon Pictures untuk
memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino
Indro), dalam wujud film banyolan bertajuk Warkop
DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016-2017) menuai respon yang terbilang divisive dari publik. Banyak yang dibuat
terhibur olehnya, tapi tak sedikit pula yang mengecamnya. Dibalik segala pro
kontra yang menyertainya, pihak rumah produksi sendiri tersenyum penuh
kegembiraan lantaran film dua bagian ini turut andil dalam pembentukan sejarah:
film Indonesia paling banyak dipirsa sepanjang masa. Bahkan, kesuksesan secara
finansial ini mendorong lahirnya sebentuk tren baru dalam perfilman tanah air
untuk “menghidupkan kembali” para legenda sinema. Sungguh sebuah kemenangan
yang manis bagi Falcon Pictures, bukan? Menilik betapa antusiasnya respon
khalayak terhadap film arahan Anggy Umbara tersebut, tentu wajar jika kemudian
mereka memberikan lampu hijau bagi pembuatan film kelanjutannya atau dengan
kata lain, jilid ketiga. Dalam usahanya mematuhi visi misi awal kala memutuskan
untuk menggarap rangkaian seri Warkop DKI
Reborn yakni tidak menggantikan melainkan melestarikan, maka perombakan
besar-besaran dalam jajaran kru beserta pemain pun dilangsungkan. Tak ada lagi
trio Abimana Aryasatya-Vino G Bastian-Tora Sudiro, tak ada pula Anggy. Sebagai
gantinya, Rako Prijanto (Teman Tapi
Menikah, Asal Kau Bahagia)
direkrut sebagai sutradara sementara trio Aliando Syarief-Adipati Dolken-Randy Danistha
mengomandoi departemen akting. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah
keputusan untuk melakukan reshuffle
ini akan memberi imbas positif atau justru negatif kepada franchise?
Dalam jilid terbaru dari Warkop DKI Reborn – tanpa embel-embel subjudul
maupun bubuhan angka – trio Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken),
dan Indro (Randy Danistha) tidak lagi berprofesi sebagai petugas keamanan dalam
organisasi CHIPS. Kini, mereka adalah penyiar radio yang jenis stasiun maupun
acara yang mereka bawakan tidak pernah dijelaskan secara spesifik. Meski
profesi yang mereka jalani tidak lagi bersinggungan dengan misi penegakan
hukum, ketiganya tetap saja terseret dalam satu kasus kriminal pelik tatkala
Komandan Cok (Indro Warkop) merekrut mereka menjadi agen polisi rahasia. Tugas
utama yang mesti trio ini pecahkan adalah pencucian uang dalam dunia perfilman
Indonesia. Guna mengusut persoalan tersebut hingga tuntas, Dono, Kasino,
beserta Indro pun dipersiapkan sebagai pemain film. Mereka berusaha untuk terlibat
dalam proyek film yang dipersiapkan oleh rumah produksi milik Amir Muka
(Ganindra Bimo) yang konon disinyalir terlibat dalam kasus money laundry. Setelah melewati perjalanan cukup berliku sebagai
figuran, mereka lantas memperoleh tawaran untuk menjadi pemain utama bersanding
dengan bintang baru yang sedang naik daun, Inka (Salshabilla Adriani). Untuk
sesaat, trio ini merasa bahwa mereka sudah semakin dekat dengan bukti-bukti
yang dapat menjebloskan Amir ke penjara. Namun saat mereka lengah dan
meremehkan kemampuan Amir, persoalan lebih besar pun menghadang. Mereka
mendadak terbangun di Maroko, di tengah gersangnya gurun pasir. Dalam upaya mencari
jalan pulang, grup Warkop DKI berjumpa dengan warga setempat bernama Aisyah
(Aurora Ribero) yang meminta bantuan mereka untuk menyelamatkan kampungnya yang
tengah terancam.
Dibandingkan duo jilid
pendahulunya, Warkop DKI Reborn sejatinya
punya materi penceritaan yang lebih menggigit. Menyelami sisi gelap dari dunia
perfilman tanah air dimana kasus pencucian uang memang jamak terjadi.
Menariknya lagi, si pembuat film turut mendayagunakan referensi dari film-film
populer guna memancing tawa riuh penonton. Momen dimana Warkop DKI Reborn melakukan parodi untuk Pengabdi Setan, Bumi Manusia,
sampai menjulidi Ayat-Ayat Cinta 2
adalah salah satu bagian terbaik yang dipunyai oleh jilid ini. Saya
tergelak-gelak, begitu juga dengan penonton lain. Selama paruh awal, saya masih
meyakini bahwa Rako dapat menciptakan kegilaan yang sama dahsyatnya dengan
versi Anggy yang sebetulnya saya sukai. Lebih-lebih, performa jajaran pemain
utamanya berada di kelas yang sama dengan para pendahulu. Aliando yang sekalipun
terkadang tampak kesulitan mengucap dialog lantaran mengenakan gigi palsu,
merupakan aset paling berharga yang dipunyai film. Dia menjelma layaknya
mendiang Dono kala bertingkah maupun kala berujar sampai-sampai penonton di
sebelah saya nyeletuk, “eh itu betulan
Aliando ya? Bisa beda gitu. Beneran bikin pangling.” Randy Danistha yang
lebih menyerupai Indro ketimbang Tora Sudiro tampil aman dan nyaman, sementara
Adipati Dolken yang belum sepenuhnya melepas citra bad boy yang disandangnya membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa
benar-benar melebur dengan karakter Kasino. Titik balik dari lakonannya adalah
ketika film memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, lalu melempar jauh para
karakter menuju Maroko demi memberi kesan “ini
film mahal lho”.
Disamping akting apik dari trio
pemain utama, sayangnya nyaris tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Warkop DKI Reborn. Memulai langkahnya
secara meyakinkan, film perlahan tapi pasti mulai kehilangan daya pikatnya
tatkala rentetan humor absurd yang
dilontarkannya berulang kali meleset dari sasaran. Memang sih masih ada yang
lucu, seperti parodi yang telah saya sebut di atas dan penggunaan Bahasa Arab
yang nyeleneh. Namun mengingat film berdurasi 100 menit lebih sedikit ini
menjejakkan kaki di genre komedi – plus, karakter utamanya adalah legenda humor
dalam sinema Indonesia – maka tentu saja dua-tiga momen kocak tidaklah cukup. Penonton
butuh lebih. Keputusan untuk menerapkan sound
effect demi menciptakan bunyi-bunyian lucu serta lawakan berkonotasi
sensual seperti film-film Warkop DKI di era Soraya Intercine Films pun hanya
memperburuk keadaan. Sedihnya lagi, pihak pembuat film melakukan pengulangan
pada humor-humor jenis tersebut sampai pada titik saya akhirnya berujar, “hamba lelah dengan semua ini.” Disaat
barisan banyolan nyaris tak ada yang bekerja, jalinan pengisahannya turut urung
memenuhi potensinya. Intrik perihal pencucian uang diabaikan begitu saja di
pertengahan durasi demi membawa film ke arah lebih bombatis yang kemunculannya
justru membuat dahi mengernyit: pertempuran di Maroko. Saya paham, plot ini
dimaksudkan agar narasi tampak kompleks sehingga film mempunyai alasan masuk
akal untuk mengajak para pemain berdendang dengan lirik berbunyi, “ahaaayyy… filmnya dibagi dua, filmnya
dibagi duaaaa…”, di penghujung durasi. Akan tetapi, kenapa sih harus dibagi
menjadi dua bagian? Kenapa tidak menciptakan jilid baru dengan pengisahan sama
sekali baru? Sebagai penonton, jujur, saya merasa kurang sreg. Terlebih lagi,
narasi yang disodorkan oleh Rako bersama Anggoro Saronto tidak cukup membuat
hati tergerak untuk menyaksikan kelanjutannya. Yang saya inginkan hanyalah
penyelesaian, bukan perasaan digantung seperti ini. Kzl.
Acceptable (2,5/5)
Warkop DKI itu bukti orang sekarang kurang kreatif.
ReplyDeleteTp keren tulisannya kaks!
Kalau sempat main juga ke blog saya Cerita Alister N ya.... Makasih 🙏🙏