May 20, 2020

REVIEW : THE HALF OF IT


“The good thing about being different is that no one expects you to be like them.”

Di atas kertas, The Half of It memang terbaca seperti film percintaan untuk remaja yang picisan. Tentang seorang lelaki yang kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya kepada perempuan populer yang ditaksirnya, tentang seorang perempuan yang diam-diam menyukai seseorang tetapi tak berani mengungkapkannya, dan tentang kisah asmara segitiga yang melibatkan narasi lawas seputar “dari teman jadi pacar.” Akan tetapi, film yang guliran pengisahannya separuh terinspirasi dari drama klasik Cyrano de Bergerac dan separuh terinspirasi dari pengalaman masa muda sang sutradara, Alice Wu (Saving Face), ini ternyata enggan untuk berkubang di genre drama romantis yang konvensional. Mengusung tagline berbunyi “a different kind of love story”, film berupaya memberikan pelintiran dengan menempatkan si karakter utama sebagai seorang lesbian yang membubuhkan kompleksitas tersendiri bagi konflik dan mengedepankan topik perbincangan cukup mendalam yang jarang dijumpai di genrenya – meski well, belakangan ini sudah menjadi “new normal”. Lebih dari itu, The Half of It sejatinya lebih didesain sebagai sebuah sajian tentang tumbuh dewasa atau coming of age dimana elemen romansanya bukanlah fokus utamanya melainkan lebih ke pemantik munculnya titik balik bagi tokoh-tokohnya. Mudahnya, perkenalan mereka terhadap cinta telah mengubah cara pandang mereka tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi juga orang lain dan kehidupan.

Karakter sentral dalam The Half of It adalah seorang remaja berdarah Asia, Ellie Chu (Leah Lewis), yang tinggal di sebuah kota kecil nan konservatif bernama Squahamish bersama ayahnya, Edwin (Collin Chou), yang bekerja di stasiun setempat. Ellie sendiri digambarkan sebagai siswi berotak encer yang tak memiliki sahabat karib dan kerap mendapat perisakan dari beberapa siswa. Guna bertahan hidup di SMA sekaligus membantu ayahnya dalam membayar tagihan, Ellie menawarkan jasa “ilegal” berupa membuatkan tugas esai yang belakangan menarik perhatian salah seorang atlet di sekolahnya, Paul Munsky (Daniel Diemer). Yang tak disangka-sangka oleh protagonis kita, permintaan Paul bukanlah menuliskan esai melainkan sebuah surat cinta untuk siswi populer di sekolah mereka, Aster Flores (Alexxis Lemire). Bagi Ellie, menggubah surat cinta ini menjadi tantangan tersendiri baginya karena Paul bisa dibilang agak oon sehingga dia pun terpaksa mencurahkan isi hatinya ketimbang menuangkan isi hati dan kepala dari si klien sebagai konten. Ternyata oh ternyata, Aster menyambut baik surat ini yang kemudian mendatangkan persoalan lain: Paul nekat mengajak Aster berkencan tanpa menguasai topik obrolan yang digemari oleh pujaan hatinya yakni karya sastra dan seni. Alhasil, dia pun “berguru” kepada Ellie yang secara perlahan tapi pasti mendekatkan hubungan keduanya. Paul diam-diam mulai menaruh rasa ke teman barunya ini tanpa menyadari bahwa Ellie sebetulnya kesengsem berat dengan Aster.


Satu hal yang perlu diantisipasi, The Half of It bukanlah tipe tontonan yang meletup-letup dalam penyampaian emosinya. Seperti Squahamish itu sendiri, film dilantunkan oleh Alice Wu dengan metode kontemplatif yang tenang dan perlahan. Boleh jadi akan terasa menjemukan bagi penonton yang sepenuhnya mendamba sajian romantis yang manis-manis menggemaskan. Tapi seperti telah disinggung sebelumnya, si pembuat film memang tidak meniatkannya untuk menjadi epigon dari To All the Boys I’ve Loved Before (2018) sekalipun sama-sama melibatkan seorang remaja perempuan berdarah Asia, secarik surat cinta, serta Yakult. Wu lebih tertarik untuk mengeksplorasi tentang makna cinta dan bagaimana pengaruhnya terhadap umat manusia. Sebagai studi kasus, dia menempatkan tiga karakter inti dalam film sebagai subjek penelitian. Ellie yang kesepian, Paul yang tidak tahu arah tujuan, serta Aster yang tidak memiliki keberanian untuk bersuara. Pada permulaan film, ketiganya seperti legawa dalam menerima kenyataan bahwa mereka “terperangkap” di Squahamish yang masih mengamalkan nilai-nilai tradisional dimana warganya digambarkan religius dan tidak keberatan nikah muda. Dalam kasus Ellie, dia enggan beranjak lantaran ingin merawat sang ayah sekalipun kota ini bukanlah tempat yang ideal baginya sebagai seorang ateis, lesbian, serta menaruh minat pada seni. Bahkan dalam satu dua kesempatan, karakternya sempat dipanggil “kafir” dan “ahli neraka” yang tentu saja membuat hamba seketika tertawa geli. Wu sama sekali tidak merasa canggung dalam memperbincangkan isu-isu bernada sensitif seperti agama, ras, sampai orientasi seksual.

Menariknya, sederet isu tersebut tidak didayagunakan oleh Wu sebagai ajang protes yang ceriwis, melainkan diimplementasikan ke dalam konflik batin para karakternya yang diutarakan dalam narasi dengan bubuhan humor lucu disana sini. “Siapa sebenarnya aku?” adalah kegundahan yang merongrong tiap tokoh dan kita melihat mereka berproses dalam mencari jati diri masing-masing. Semuanya bermula dari surat cinta untuk Aster yang tanpa dinyana-nyana mampu mengubah hidup dari mereka-mereka yang terlibat. Ellie dan Paul menemukan sesosok sahabat sejati yang memberi pencerahan mengenai langkah selanjutnya (sebelumnya lingkaran pertemanan Paul adalah atlet yang tak pernah menganggap dirinya secara serius), sedangkan Aster menyadari bahwa ada seseorang yang tulus mencintainya dan memiliki passion serupa dengannya. Menilik perbincangan yang diajukan, tidak mengherankan jika kemudian The Half of It sangat menekankan pada interaksi Trio Kwek-Kwek ini baik secara langsung maupun memanfaatkan medium surat atau aplikasi chatting. Dialog-dialognya ditulis dengan menarik (quotable and relatable!) sehingga saya betah mendengar percakapan-percakapan diantara para tokohnya terlebih lagu-lagu yang mengiringi dikurasi secara cermat dan akting dari jajaran pemainnya pun memadai. 

Leah Lewis menyimpan kerapuhan dibalik pembawaannya yang tampak keras, Daniel Diemer punya sorot mata polos yang akan meluluhkanmu, dan Alexxis Lemire memberi aksen misterius dalam penampilannya yang bikin kita percaya kalau dia diidolakan banyak orang. Walau film sempat terasa jalan di tempat memasuki pertengahan durasi, performa ketiga pelakon ini berikut naskah kreasi Wu membuat hamba masih memegang keyakinan bahwa akan ada penebusan di ujung cerita. Dan benar saja, The Half of It menyuguhkan satu momen pamungkas layak dikenang yang meninggalkan kesan manis dan menenangkan hati bagi kisah pencarian jati diri di Squahamish ini. Saya jamin kalian akan tersenyum-senyum sendiri melihatnya.

Exceeds Expectations (3,5/5) 



1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch