May 15, 2020

REVIEW : RICHARD JEWELL


“Richard Jewell is an innocent man. He’s a hero.”

Difitnah oleh mantan sahabat sendiri yang nggak punya kekuatan hukum saja sudah bikin hidup jungkir balik. Lalu coba bayangkan bagaimana rasanya kalau yang mengeluarkan tuduhan tak berdasar tersebut adalah dua pihak yang memiliki pengaruh sangat besar bagi publik? Dalam konteks ini, pemerintah dan media. Rasa-rasanya semua bisa sepakat, “bagai hidup di neraka” adalah jawabnya. Ruang privasi diterabas sehingga tidak ada kesempatan untuk berjalan-jalan santai bersama anjing peliharaan, impian yang sudah dibangun tinggi-tinggi mesti ditinjau ulang, dan kebahagiaan yang tersisa jelas sirna lantaran waktu beserta tenaga sepenuhnya difokuskan guna mencari solusi untuk membersihkan nama. Seolah keadaan belum cukup buruk, kita pun akan mulai bertanya-tanya, “siapa kawan dan pihak keluarga yang masih bisa dipercaya?” Pedih, sungguh pedih. Sampai pada titik ini kamu mungkin mengira, situasi ajaib tersebut hanya mungkin terjadi di film thriller konspirasi buatan Hollywood. Dan memang benar, ini adalah konflik utama yang menggerakkan narasi dalam Richard Jewell yang merupakan karya ke-38 dari Opa Clint Eastwood. Tapi satu hal yang membedakannya dengan tontonan berplot sejenis, permasalahan dalam film ini beranjak dari artikel di Vanity Fair bertajuk “American Nightmare: The Ballad of Richard Jewell” beserta buku berjudul “The Suspect: An Olympic Bombing, the FBI, the Media, and Richard Jewell, the Man Caught in the Middle” yang berada di jalur nonfiksi. Itu artinya, apa yang dialami oleh si karakter utama merupakan satu pengalaman nyata yang memang pernah berlangsung di masa lampau.

Karakter utama yang dimaksud disini merujuk pada pria berusia 30 tahunan bernama Richard Jewell (Paul Walter Hauser) yang sedari muda bermimpi menjadi aparat kepolisian. Memiliki pengetahuan yang mumpuni soal penegakan hukum, sayangnya mimpi Richard terjegal oleh postur tubuhnya yang tambun. Alhasil, dia harus berpuas diri menjalani profesi sebagai petugas sekuriti yang ternyata kerap sulit dipertahankannya. Persoalannya adalah, atasan Richard sering mendapat komplain lantaran si pegawai dianggap melewati batas dengan bertindak selayaknya polisi betulan. Terus berpindah-pindah pekerjaan di bidang keamanan dari satu ke yang lain, protagonis kita ini lantas mendapatkan posisi sebagai petugas sekuriti di Olimpiade Atlanta 1996. Secara spesifik, dia bertugas di Taman Centennial dimana gelaran hiburan berupa konser musik diadakan. Kehidupan Richard yang monoton – dia juga sering dianggap sebelah mata – tiba-tiba berubah secara drastis ketika dia menemukan sebuah tas ransel berisi bom. Berkat penemuan dan kesigapannya untuk mengevakuasi pengunjung, ledakan bom tak menelan banyak korban jiwa. Dalam satu malam, nama Richard Jewell bersinomim erat dengan kata pahlawan. Dia dielu-elukan oleh media seantero Amerika sampai kemudian harian The Atlanta Journal-Consitution merilis sebuah laporan mengejutkan: Richard adalah pelaku pengeboman. Puja-puji seketika lenyap, digantikan oleh invasi privasi dari FBI dan media yang senantiasa mengerumuni serta ancaman hukuman mati. Demi membebaskan dirinya, Richard tak memiliki pilihan selain meminta bantuan kepada kenalan lamanya, Watson Bryant (Sam Rockwell), untuk menjadi pengacaranya.


Richard Jewell jelas punya sepenggal fase hidup yang ajaib. Oleh Clint Eastwood, kisahnya ini dinarasikan dengan penuh sensitivitas yang akan membuatmu mencecap beragam emosi di sepanjang durasi. Rasanya ingin memberi pelukan kepada si karakter tituler, rasanya ingin melayangkan sumpah serapah kepada agen FBI bernama Tom Shaw (Jon Hamm) dan seorang reporter bernama Kathy Scruggs (Olivia Wilde) yang telah menempatkan Richard dalam posisi serba tak menguntungkan. Disajikan dalam laju pengisahan bertempo dinamis, Richard Jewell pun tiada mengalami kesulitan untuk menjerat atensi sedari mula terlebih sang sutradara terus meningkatkan intensitas secara perlahan tapi pasti. Dalam 30 menit pertama, penonton diberi pemahaman terlebih dahulu mengenai karakteristik berikut kehidupan pribadi si tokoh utama yang sejatinya biasa-biasa saja. Dia hanyalah pemuda lugu yang berambisi menjadi polisi, sekalipun keadaan enggan berpihak kepadanya. Terkadang perangainya memang agak mengesalkan dan terkesan cari perhatian sehingga kita bisa paham mengapa beberapa pihak bisa mengecapnya secara cepat sebagai teroris. Tapi interaksi hangatnya bersama sang ibu, Bobi (Kathy Bates), membuat kita yakin bahwa dia hanya ingin membanggakan orang terkasih dalam hidupnya. Membuat kita percaya, tiada motif terselubung dalam tindak tanduknya. Usai babak perkenalan yang menyelipkan tawa disana-sini lewat jalan pemikiran si tokoh utama – well, dia agak telmi – film mulai benar-benar mencengkram kala ledakan bom di Taman Centennial menciptakan kekacauan ditengah-tengah berlangsungnya konser musik yang padat penonton.

Ketimbang mengajak penonton untuk mempertanyakan “siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas ledakan ini?” seperti para “villain” dalam Richard Jewell, Eastwood justru membuat diri ini bertanya-tanya mengenai nasib si karakter tituler. Bukan semata-mata karena dilandasi keingintahuan mengenai “keistimewaan” sang tokoh sampai-sampai sutradara kenamaan berkenan memfilmkan kisah hidupnya, tapi juga berkat adanya simpati yang tersemat kepada Richard. Penulisan karakter oleh Billy Ray selaku penggagas skrip, pendeskripsian melalui bahasa audio visual oleh si pembuat film, serta olah akting menakjubkan dari Paul Walter Hauser (ndilalah, secara fisik pun mirip) memungkinkan sosok Richard Jewell untuk bereinkarnasi di layar. Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali berharap karakter ini mendapatkan keadilan secara semestinya. Disamping terjerat oleh Richard, kita juga akan bersimpati kepada Watson yang menaruh kepercayaan penuh pada kliennya meski kebohongan demi kebohongan yang ditutupinya kian mempersulit keadaan, dan Bobi sebagai emak-emak yang mencak-mencak karena tupperware miliknya digondol seorang ibu penyayang yang tak tega menyaksikan putranya didzalimi oleh para raksasa haus kepentingan. Kedua karakter ini diperagakan secara gemilang oleh Sam Rockwell yang menyusupkan humor menggelitik dalam setiap celetukannya, serta Kathy Bates yang terlihat begitu nelangsa. Dari mereka, kita mendapati momen emas dalam Richard Jewell (selain adegan ledakan yang menegangkan) seperti percakapan di ruang tamu yang disadap, konferensi media dimana Bobi meminta belas kasihan pada presiden, dan pernyataan puncak penuh kemarahan dari Richard yang membuat hamba seketika bertepuk tangan penuh kebanggaan.

Saya harus mengatakan, titik balik ini memberikan kepuasan lantaran saya agak-agak gedeg dengan sikap Richard yang kelewat kooperatif. Kekagumannya pada aparat penegak hukum dan keinginannya untuk mendapatkan hati dari mereka membuatnya rela diperdaya oleh Tom Shaw. Satu karakter jahat di Richard Jewell yang akan membuatmu ingin menjejalkan es batu ke mulutnya. Motivasi karakternya jelas, dia dikuasai amarah dan kekecewaan karena banyak orang terluka dibawah pengawasannya. Kathy Scruggs yang ambisius juga punya alasan logis atas kenekatannya mempublikasikan berita yang belum diverifikasi oleh FBI: posisinya sebagai jurnalis perempuan menyulitkannya untuk berkembang. Seperti halnya Richard, Kathy juga ingin mendapat pengakuan di lingkungan kerjanya yang seksis. Baik Tom maupun Kathy sejatinya punya modal untuk diberi simpati selaiknya kubu Richard apabila mereka memiliki bukti kuat atas tuduhan-tuduhan yang dilayangkan. Kenyataannya, mereka menyerang berdasarkan hipotesis cocoklogi tanpa pernah berupaya untuk menginvestigasi secara mendalam dan menyalahgunakan kekuatan institusi yang menaungi mereka untuk melumpuhkan si karakter utama. Itulah mengapa saya bisa begitu marah menyaksikan Richard Jewell selain dibuat tertawa, tegang, tersentuh, sesak, sekaligus bangga. Sungguh, ini adalah sajian biopik yang powerful dan salah satu yang terbaik.

(Bisa ditonton di Catchplay+)

Outstanding (4/5)


3 comments:

  1. Awaknya kesel juga dgn sifat Richat yg sabar banget ngahadapi 2 FbI itu,, tapi pas adegan akhir asli buat merinding, ada rasa bangga didiri nya. Ternyata dia itu berhati baik banget, pertanyaan dan jawaban yg di berikan ke 2 FBI di ending sunggu menancap hati ☺️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Ibunya saja sampai marah marah ngeliat anaknya yang terkesan belain FBI terus. Dia memang punya cara yang berbeda dan unik dalam menanggapi persoalan. Berasa selow banget.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch