"Pada akhirnya setiap orang akan menyadari bahwa seluruh usianya habis hanya untuk memahami cinta yang sangat sedikit."
Seorang kawan pernah berkata kepada saya, “enak ya kalau punya duit segunung, bisa ngapa-ngapain. Pasti aku bahagia banget.” Dari pandangan dia, tolak ukur kebahagiaan seseorang dapat dilihat berdasarkan berapa banyak jumlah uang yang dia miliki saat ini. Itu berarti, dia menentang pernyataan ‘money can’t buy happiness’. Hmmm... jika dipikir-pikir, apakah memang uang bisa membeli kebahagiaan? Bagi saya, ini kembali ke definisi ‘bahagia’ bagi masing-masing orang. Pernyataan ini pun bersifat relatif, sebagian kalangan mengiyakan, sebagian kalangan menolak untuk meyakininya. Saya pribadi cenderung netral, tidak memihak keduanya. Namun saya pun tidak munafik bahwa hidup memang lebih terasa nyaman saat ada uang di sisi kita. Tapi tentu saja, pernyataan tersebut tidak memiliki makna sedangkal itu. Ada semacam bahan untuk perenungan dari sebuah kalimat yang terdiri dari tidak lebih dari lima kata ini. Apabila Anda ingin merenunginya, menelusurinya lebih dalam, dan memelajarinya, ada baiknya Anda menyaksikan film terbaru besutan Viva Westi, Rayya Cahaya di Atas Cahaya. Sebuah film Indonesia yang sangat indah yang mengulik perjalanan seseorang yang mempertemukannya dengan jati dirinya yang sebenarnya serta menemukan makna lain dari kebahagiaan.
Sang tokoh utama adalah Rayya (Titi Sjuman), aktris nomor satu di Indonesia yang labil, menyebalkan, dan senantiasa ingin dipahami. Benar-benar merasa perlu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah seorang diva. Sapto (Sapto Soetarjo) dari manajemen Rayya merencanakan sebuah proyek pembuatan biografi sang diva. Dia mengutus Kemal (Alex Abbad) untuk memotret Rayya di berbagai lokasi. Baru juga perjalanan dimulai, muncul konflik diantara mereka berdua yang berujung pada pemecatan Kemal. Rayya sendiri tengah dirundung kemalangan setelah dia dicampakkan oleh kekasihnya, Bram (Rico Marpaung), yang ternyata diam-diam telah menikahi perempuan lain. Kegalauan inilah yang mengubah Rayya dari seorang diva labil biasa menjadi seorang drama queen sejati. Tidak ada yang mampu mengatasinya kecuali Arya (Tio Pakusadewo), seorang fotografer kawakan yang menggantikan posisi Kemal. Perjalanan yang awalnya tidak lebih dari sekadar sesi foto ini menjadi terasa lebih berharga setelah Arya berhasil membuat Rayya perlahan-lahan membuka diri. Keakraban dengan cepat tumbuh setelah Rayya mengetahui bahwa Arya juga mengalami problematika pelik terkait urusan asmara. Sosok Arya serta wong-wong cilik yang dijumpai selama perjalanan membuka mata Rayya dan memberinya pembelajaran hidup. Berkat mereka, Rayya tersadar bahwa kebahagiaan tidak melulu dari hal-hal yang besar yang seringkali penuh dengan kepalsuan. Hal-hal kecil yang seringkali kita anggap sepele pun mampu memberikan kebahagiaan. Intinya, bahagia itu sederhana.
Alih-alih menuturkan kisah menggunakan bahasa informal ‘lo, gue’ yang santai, Rayya Cahaya di Atas Cahaya memilih jalan untuk memakai bahasa formal, setidaknya dalam 40 menit pertama. Tidak hanya formal, tak jarang dialog-dialog olahan Emha Ainun Najib pun sangat puitis bernilai sastra tinggi. Sarat makna, dan juga sarat estetika. Lumayan membuat frustrasi memang, terutama bagi penonton yang terbiasa mendengarkan percakapan dengan bahasa yang lugas serta ‘to the point’. Cak Nun dan Viva Westi kerap berbasa-basi, bermain-main dengan kata. Saya pun sempat mengalami masa-masa dimana saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencerna ujaran para tokoh. Ada makna yang cukup dalam yang terkandung di dalamnya. Penonton diminta untuk berkontemplasi, atau menjadikannya sebagai bahan diskusi yang menyenangkan bersama teman seraya menyeruput secangkir teh hangat. Apabila hanya bergantung pada kekuatan naskah semata, Rayya Cahaya di Atas Cahaya berpotensi terjemurus ke jurang kebosanan.
Disinilah para pemain memegang peranan penting untuk menghidupkan film. Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo memberikan performa yang gemilang, terang bersinar sepanjang film, serta memberikan chemistry yang kokoh. Hebatnya, tidak hanya mereka berdua yang berakting apik. Para bintang pendukung yang hanya kebagian jatah satu dua adegan, bermain total seolah-olah mereka menanggung beban berat layaknya pemain utama. Tim kasting terbukti jeli memilih pemain. Tapi tentu saja, siapapun sulit untuk menyangkal bahwa kekuatan utama dari film ini terletak pada sinematografinya. Ipung Rachmat Syaiful berhasil mengabadikan gambar-gambar cantik di sepanjang pantura, Jogja, hingga Bali. Bidikan gambarnya membuat saya spontan mengucap ‘Subhanallah’ berulang kali sepanjang film. Benar-benar memanjakan mata. Viva Westi patut bersyukur memiliki jajaran pemain dan kru seperti ini. Rayya Cahaya di Atas Cahaya menjadi sebuah ‘comeback’ yang sempurna bagi Viva Westi setelah mengalami masa-masa suram dengan film berkualitas cetek. Dia berhasil menghadirkan sebuah film yang istimewa dengan isian berupa pembelajaran hidup serta sentilan-sentilan mengenai masalah sosial kehidupan.
Exceeds Expectations
Wah,,,di pekanbaru filmnya cm tyg seminggu aja,jd g smpt nton...
ReplyDelete