January 6, 2013

REVIEW : DEMI UCOK


"Keberhasilan perempuan Batak itu dinilai dari anaknya. Kalau anak kau lebih hebat dari anak mami, baru kau boleh sombong." - Mak Gondut 

Salah satu lagu anak nasional mempunyai penggalan lirik seperti ini, “kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali...”. Hmmmm... tunggu sebentar, hanya memberi tak harap kembali, apakah lirik lagu ini dapat dibuktikan kebenarannya? Seorang ibu tulus memberi apapun kepada anaknya tanpa mengharapkan imbalan apapun? Jika meminjam istilah anak gahoel zaman sekarang, ‘ciyus, macacih, enelan’? Tidak juga. Seorang ibu pun tetaplah manusia, harapan mendapat balasan dari sang anak tentu bersemayam dalam hati. Beberapa mengungkapkan secara langsung, beberapa lainnya dipendam untuk mengetes kepekaan si buah hati. Mak Gondut (Lina Marpaung) terpaksa menyampaikannya secara terang-terangan lantaran gemas melihat putri semata wayangnya, Gloria (Geraldine Sianturi), masih betah untuk melajang meski usianya hendak melangkah ke kepala tiga. Glo, begitu sapaan akrab Gloria selain Gorilla, emoh untuk menikah dengan berdalih, “Glo tak mau seperti Emak. Kawin, lupa mimpi, and live boringly ever after.” Demi membujuk Glo untuk menikah, Mak Gondut mengiming-imingi suntikan dana sebesar Rp. 1 Milyar untuk proyek film kedua Glo yang jalan di tempat. 

Dalam kamus kehidupan Mak Gondut, ada tiga tujuan hidup perempuan Batak; menikah dengan pria Batak, mempunyai anak Batak, dan mencari menantu Batak. Mak Gondut kian cerewet dan pantang menyerah untuk menjodohkan Glo dengan pria Batak usai dirinya divonis oleh dokter bahwa usianya hanya tersisa satu tahun. Maka, dalam sisa film yang hanya memakan durasi sekitar 79 menit ini, penonton akan menyaksikan perang idealisme antara seorang anak perempuan yang memerjuangkan mimpinya dengan sang ibu yang sesungguhnya hanya ingin melihat putrinya hidup bahagia. Sammaria Simanjuntak yang mengawali karir film panjangnya melalui Cin(t)a yang indah dan terbilang berani mengapungkan permasalahan yang sensitif untuk sebagian kalangan, membawakan Demi Ucok secara ringan dan santai namun dihiasi dengan dialog-dialog cerdas, segar, jenaka, dan menohok. Sebagai pekerja film, maka sentilan tentang kondisi perfilman Indonesia saat ini yang kacau pun kudu dimasukkan. Salah satu conton, simak saja percakapan yang terjadi antara Glo dengan produser film horror Indonesia yang diperankan oleh Joko Anwar saat Glo mencoba untuk menawarkan naskah buatannya: 

“Ini sudah halaman 14, hantunya mana ini?” 
“Kalau terlalu sering muncul, nanti suspense-nya hilang.” 
“Itu kalau kau bikin film di barat. Film orang Indonesia itu tak ada yang mau mikir. Hantu itu muncul harus setiap dua menit sekali.” 

Atau salah satu dialog Gloria, “film Indonesia itu cuma butuh tiga hal; banci, hantu, dan susu.” Sammaria pun menghadirkan tokoh bernama Nikki (Saira Jihan) sebagai sahabat Glo yang menopang kebutuhan hidup dengan menjual dvd bajakan. Pada titik ini kita melihat posisi dilematis dvd bajakan; di satu sisi merugikan para pembuat film, namun di sisi lain menguntungkan sebagai lahan untuk memperoleh banyak referensi film dengan harga murah khususnya bagi sineas berkantong cekak. Tak hanya menyenggol kelamnya dunia perfilman, Sammaria pun asyik ‘curcol’ mengenai adat dan budayanya sendiri, Batak. Malahan, inilah yang menjadi kupasan utama dalam Demi Ucok. Pun begitu, Anda tak perlu khawatir tidak bisa menikmati joke-joke yang dilontarkan karena bagaimanapun, it’s everybody story. Tapi tentunya kelucuannya akan berlipat ganda apabila Anda memahami betul adat dan budaya Batak. 

Mengingat ini adalah film yang (katanya sih...) personal bagi Sammaria, maka dia tidak terlalu kesulitan dalam menuturkan kisah dan sanggup berbicara jujur apa adanya. Penonton pun digiring untuk memasuki ‘dunia Sammaria’ dengan bantuan tokoh bernama Gloria. Beruntung apa yang dialami dan dirasakan oleh sang sutradara yang juga merangkap sebagai produser dan penulis skrip ini tidak berbeda jauh dengan pengalaman saya dan Anda. Seperti yang telah saya sebutkan di paragraf sebelumnya, ini adalah kisah semua orang. Persoalan kita bersama. Diakui atau tidak, mirip sekali atau hanya sekadar nyerempet, rasa-rasanya kita pun pernah berada dalam posisi Glo, terutama bagi yang telah merasakan usia 20-an, rampung kuliah atau memasuki dunia kerja. Pertanyaan akan diawali dengan, “sudah punya pacar belum?”. Semakin lama, akan semakin merembet kemana-mana. Ketika di usia mapan tak juga menggandeng calon pendamping hidup, orang tua akan gusar dan mulai mencari info mengenai pria/wanita yang masih menjomblo di arisan RT, PKK, pengajian, gereja, atau komunitas untuk dijodohkan dengan putra/putri mereka. Ini tak hanya dilakukan oleh emak-emak Batak, tetapi juga emak-emak dari suku lain, karena ini masalah nasional. 

Sungguh membahagiakan di awal tahun 2013 kita sudah disambut oleh sebuah film Indonesia yang sangat layak untuk ditonton, Demi Ucok. Sammaria Simanjuntak mengapungkan sentilan untuk adat dan budaya Batak yang tergolong sensitif untuk dijamah serta kekacauan industri perfilman nasional dengan cara yang segar dan menyenangkan. Tidak ada kesempatan bagi Anda untuk mengerutkan dahi, hanya ada ledakan tawa tiada henti. Setidaknya, itulah yang saya alami. Sejak menit pertama hingga credit title mulai merayap, Sammaria membuat perut dan pipi saya terasa kencang menyaksikan tingkah polah Mak Gondut dan Gloria yang dimainkan secara natural nan apik oleh pendatang baru, Lina Marpaung dan Geraldine Sianturi. Chemistry yang terjalin diantara keduanya berpadu dengan manis, seolah-olah keduanya memang ibu dan anak betulan di luar layar. Kehadiran Saira Jihan, Sunny Soon (sebagai Acun, sahabat Glo yang bermimpi menjadi penyanyi), serta Nora Samosir semakin memarakkan suasana. Bagusnya lagi, Demi Ucok pun tak pernah jatuh ke dalam lubang kekonyolan dan slapstick yang berlebihan. Bahkan momen ber-drama ria yang seharusnya penuh dengan deraian air mata ditampilkan secukupnya saja tanpa didramatisasi berlebihan seperti kebanyakan film Indonesia. 

Apakah Anda adalah seorang Batak atau bukan, tidak menjadi soal. Demi Ucok sekalipun kerap bermain-main dalam humor yang cakupannya terbilang ‘segmented’, tetap bisa dinikmati oleh kalangan luas. Naskah bernas buatan Sammaria Simanjuntak tersampaikan dengan apik berkat pengarahannya yang lincah, akting serta chemistry manis dari para pemain, serta departemen teknis (mulai dari tata artistik, musik, hingga sinematografi) dimanfaatkan secara tepat guna. Jarang sekali saya bisa tertawa puas menyaksikan sebuah film Indonesia di layar lebar. Saya bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali mengalaminya. Ini benar-benar sebuah pengalaman yang menggembirakan. Bahkan, tidak cukup hanya sampai di sana, Demi Ucok pun membuat saya merindukan ibu yang telah berpulang setahun lalu. Apabila Anda memiliki rencana untuk menyimak Demi Ucok di bioskop tapi tak ada teman, jangan ragu-ragu untuk mengajak ibunda. Pengalaman yang dihasilkan tentunya akan jauh berbeda. Siapa tahu seusai menonton akan saling berpelukan atau berupaya untuk memahami dunia masing-masing.

Outstanding



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch