February 22, 2013

REVIEW : DJANGO UNCHAINED


"Django. The D is silent." - Django

Setelah pengulitan kepala, kebakaran bioskop yang meneror, dan Hitler yang dibunuh lebih dini, kegilaan macam apalagi yang akan hadir dalam film terbaru Quentin Tarantino, Django Unchained? Tentunya, akan tetap ada kesintingan, dan umumnya, akan semakin bertambah parah dari film ke film. Hanya dengan menilik premis – atau lebih panjang lagi, sinopsis – kita telah mengetahui bahwa sutradara dengan IQ mencapai 160 ini masih belum akan ‘bertobat’ dan segera membawa kita ke dunianya yang unik serta sarat akan darah dan kekerasan. Bukan sebuah rahasia lagi jika Quentin Tarantino – atau kita panggil saja, QT – sangat menggemari cult movie, B-movie, serta tentunya spaghetti western. Inilah yang kerap kali menjadi sumber inspirasi di setiap karyanya. Dalam Django Unchained, setelah sebelumnya berlatih terlebih dahulu dalam Inglourious Basterds, sutradara penghasil Pulp Fiction dan dwilogi Kill Bill ini akhirnya resmi menapaki genre western. Tentu bukan QT namanya jika ‘bermain aman’ atau hanya sekadar mengikuti elemen yang telah ditetapkan sebelumnya, berbagai bumbu-bumbu yang menyentak pun ditambahkan guna menambah cita rasa karyanya. Untuk sekali ini, spaghetti western dikawinkan dengan blaxploitation dalam sebuah kisah koboi yang berlangsung di selatan dengan latar masa perbudakan di Amerika. Nah lho! 

Memulai kisah di sebuah tempat di Texas pada tahun 1858, penonton segera diperkenalkan kepada Dr. King Schultz (Christoph Waltz) dan Django (Jamie Foxx). Kala ditanya mengenai profesi dijalaninya, Dr. Schultz akan senantiasa menjawab bahwa dia adalah seorang dokter gigi – ini sekaligus diperkuat hiasan gigi di atas kereta kuda miliknya. Tapi pada kenyataannya, dia telah ‘pensiun dini’ dan memutuskan untuk beralih profesi sebagai bounty hunter (pemburu bayaran) dengan iming-iming bayaran yang menggiurkan. Demi mencapai target berikutnya yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana tampilan fisiknya, Dr. Schultz meminta bantuan Django. Sebelumnya, dia terlebih dahulu membeli Django dan melepas status budak yang disandangnya. Seiring berjalannya waktu, hubungan diantara mereka berdua pun semakin dekat hingga Dr. Schultz mengangkat Django sebagai rekanannya dalam berburu. Pun demikian, sejatinya Django memiliki misi lain, yakni menemukan istrinya yang terpisah darinya, Broomhilda von Shaft (Kerry Washington). Dalam upayanya untuk membalas budi lantaran telah banyak menerima bantuan, Schultz bersedia untuk menolong Django merebut kembali sang istri yang saat ini dimiliki oleh seorang tuan tanah kejam yang terobsesi dengan pertarungan ‘Mandingo’, Calvin Candie (Leonardo DiCaprio). 

Apakah ini adalah semua hidangan yang lezat? Oh dear, percayalah, Django Unchained adalah sebuah mahakarya lainnya dari seorang Quentin Tarantino. Meski bahan dasar serta tampilan luarnya seolah mengisyaratkan bahwa ini adalah sajian ‘kaki lima’ yang sederhana, tapi di bawah penanganan koki QT, sebuah kesederhanaan mampu disulap menjadi sebuah keistimewaan. Tidak ada yang biasa-biasa saja saat sebuah ide cerita keluar dari kepalanya untuk kemudian dituangkan ke dalam bentuk skrip dan diwujudkan dalam bahasa gambar. Coba saja Anda bayangkan, spaghetti western dikombinasikan dengan blaxploitation untuk sebuah kisah koboi yang berlatar d selatan pada era perbudakan? Huh? Seorang koboi berkulit hitam berpasangan dengan seorang pembunuh asal Jerman? Double Huh? Ini akan menjadi sesuatu yang dipergunjingkan serta penuh dengan cibiran apabila ditangani oleh sutradara lain, namun di bawah arahan seorang maestro jenius macam QT? Ini jelas sesuatu yang patut dinanti-nantikan. Menjadi semakin menarik saat sobat kental Robert Rodriguez ini menuturkan bahwa salah satu sumber inspirasinya untuk film ini adalah Django (1966) garapan Sergio Corbucci. Bahkan, sang pemeran Django, Franco Nero, turut tampil cameo. 

Django Unchained tentu bukanlah sebuah film western biasa – atau mungkin lebih cocok disebut southern – terlebih dengan adanya plot mengenai perbudakan dan balas dendam di dalamnya. Durasi yang membentang panjang hingga 165 menit pun bukanlah sesuatu yang patut dirisaukan. QT is a master storyteller. Tidak sekalipun ditemukan momen-momen menjemukan yang dapat menyebabkan rasa kantuk yang teramat dahsyat. Justru, di balik tema utama yang mengesankan bahwa ini adalah sebuah film yang susah untuk dicerna, Django Unchained hadir sebagai sebuah sajian yang sangat menghibur. Perjalanan yang berlangsung nyaris mencapai 3 jam sama sekali tidak terasa. Dalam jalinan penceritaan yang sejatinya serba kelam dan mengiris hati, disisipi humor cerdas menggelitik – meski tetap gelap – serta sebuah presentasi yang sangat khas sang sutradara. Kadangkala, kejutan, yang sekalipun terkadang tidak penting, turut dimunculkan demi menjaga mood penonton. Salah satu contoh, dan teramat saya sukai, adalah sebuah keributan tidak penting menjelang penyergapan terhadap Django dan Schultz di malam hari. Perhatikan apa yang mereka permasalahkan, sungguh menggelikan. 

Mengingat ini adalah karya dari QT, maka tentu saja darah dan kekerasan tidak boleh terlupakan. Itu adalah bahan dasar terpenting yang haram hukumnya untuk disingkirkan begitu saja. Segala bentuk penyiksaan yang sebelumnya menghantui di Inglourious Basterds, kembali muncul di sini. Untuk sekali ini, tentu saja, yang menjadi korban adalah para budak. Kita melihat mereka dicambuk, dipasung, dilempar ke dalam sebuah kotak, ditandingkan dalam ‘Mandingo Fight’ yang keras nan brutal hingga dijadikan bulan-bulanan anjing. Memang segalanya tidak pernah ditampilkan secara eksplisit, akan tetapi tetap terasa ngilu. Gelaran darah pun mewarnai film ini. Yang menarik, darah ditampilkan dengan cantik, bergaya, dan sangat artistik. Favorit saya adalah Schultz menembak salah satu buruannya hingga darah menciprati bunga-bunga kapas. Oh, itu cantik sekali! Dan sekalipun sebagai sebuah ‘film koboi’ tak banyak adegan tembak-tembakan yang dimunculkan, sekali lagi saya berkata, tak usah risau. Tarantino telah mengompilasinya menjadi sebuah klimaks yang sama menggetarkannya dengan adegan kebakaran bioskop di film sebelumnya. Konfrontasi akhir yang berlangsung di meja makan berakhir menjadi pertumpahan darah. Benar-benar menegangkan. 

Saya pun harus memuji departemen akting yang sangat luar biasa dan patut mendapatkan sebuah ‘applause’ yang meriah. Jamie Foxx sebagai Django memang tampil baik, akan tetapi bintang sesungguhnya dari film ini justru datang dari Christoph Waltz, Leonardo DiCaprio, dan Samuel L. Jackson. Khusus untuk Waltz memang tidak mengherankan mengingat peran Dr. King Schultz ditulis oleh QT untuknya sehingga tiada kesulitan berarti dalam memerankannya. Schultz itu Waltz banget! Bagaikan versi protagonis dari Colonel Hans Landa. Sementara DiCaprio dan Jackson, astaga, saya benar-benar membenci mereka. Sangat disayangkan mereka sama sekali tidak mendapatkan cinta dari juri Oscar. Keduanya sanggup tampil sangat menjengkelkan hingga penonton pun berharap mereka segera menemui ajal, terlebih untuk Jackson sebagai Stephen, budak kepercayaan Calvin Candie, yang menyeramkan, mengesalkan namun juga kerap menghadirkan tawa. Jangan lupakan pula cameo dari sang sutradara – dikomentari oleh berbagai rekan saya, “agak gendutan ya si QT” – yang sangat epik. Caranya menghilang dari layar itu lho... tak terlupakan. 

Django Unchained adalah sebuah mahakarya lainnya dari seorang maestro bernama Quentin Tarantino. Jelas, ini sebuah film yang penting. Sebuah homage untuk ‘cult movie’ serta ‘spaghetti western’ yang sangat mengesankan. Sejak awal film melalui sebuah opening credit yang sangat norak khas film jadul, Django Unchained telah mencuri perhatian. Menaikkan tensi secara perlahan-lahan, QT berhasil menyajikan sebuah kisah yang berpotensi menjadi sensitif dan menyayat hati menjadi sebuah gelaran yang jenaka, menegangkan, berkelas, serta tentunya, menghibur. Durasinya yang membentang panjang hingga mencapai nyaris 3 jam tidak menjadi persoalan karena, ya, QT sangat lihai dalam mengolah kisah sehingga tidak pernah terasa membosankan. Dengan deretan tembang dari koleksi sang nahkoda kapal yang luar biasa sehingga membuat saya segera memburu album soundtrack-nya usai menonton film ini, tata sinematografi dari Robert Richardson yang sangat cantik, hingga tata kostum dan rias yang meyakinkan, memang sudah sepatutnya Django Unchained menerima banjir pujian dan penghargaan – serta uang – karena ya, memang sudah sepatutnya. Quentin Tarantino dengan segala ide gilanya memang tidak pernah gagal memuaskan saya.

Outstanding


2 comments:

  1. Outstanding nih...5 stars kan ya artinya?
    setubuh banget deh ane,ni film emang menghibur banget ^^ ane juga lebih suka Django dibanding Inglorious Basterds,,

    hm, masih ga ngerti juga napa Leo ga masuk race supporting, uda total abis padahal mah..

    ReplyDelete
  2. Betul, Outstanding berarti berada di kisaran 4,5 hingga 5 bintang. Saya pun lebih menyukai Django, meski untuk film Quentin Tarantino yang paling disuka masih tetap Reservoir Dogs.

    Untuk Leo... ah, entahlah. AMPAS seperti memiliki dendam pribadi kepadanya. Padahal perannya di sini adalah salah satu akting terbaiknya.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch