April 29, 2013

REVIEW : 9 SUMMERS 10 AUTUMNS


"Aku tak bisa memilih masa kecilku, tapi masa depan itu kita sendiri yang melukiskannya." - Iwan 

Hingga saya menulis ulasan ini, Ifa Isfansyah belum pernah membuat saya mendengus kesal dipenuhi perasaan kecewa setelah menyaksikan film-film garapannya. Dimulai sejak sejumlah film pendek yang sederhana tapi membekas hingga serangkaian film panjang yang masing-masing dikerjakan dengan cermat, Ifa telah menempatkan dirinya sebagai salah satu sutradara terbaik di perfilman Indonesia pada saat ini. Film terbarunya, 9 Summers 10 Autumns, yang diangkat dari sebuah novel laris berjudul sama hasil olahan Iwan Setyawan, semakin memantapkan posisinya. Film ini membuat saya ingin segera meluncur ke rumah, memberikan pelukan erat nan hangat kepada orang tua serta saudara-saudara dan tak lupa sebuah ciuman yang manis turut disertakan. Kisah inspiratif ‘from zero to hero’ yang sejatinya memiliki jalinan penceritaan yang klise, berhasil disuguhkan menjadi sebuah sajian yang bersahaja, penuh kehangatan, dan luar biasa cantik. Ini adalah sebuah tontonan yang akan dengan mudah mempermainkan emosi Anda sepanjang film, terutama jika Anda adalah seseorang yang mencintai keluarga lebih dari apapun. 

Saya mengerti sepenuhnya bagaimana perasaan dari Iwan atau Bayek (diperankan Shafil Hamdi Nawara kala masih bocah dan Ihsan Tarore saat beranjak dewasa). Menjadi anak laki-laki satu-satunya di keluarga dengan kedua kakak perempuan – dalam kasus Iwan, juga adik perempuan – itu sama sekali tidak mudah karena ekspektasi orang tua, terutama ayah, membumbung tinggi. Sang ayah tentu berharap anak lanangnya bisa jauh lebih hebat dan lebih tangguh ketimbang dirinya. Ada perasaan bersalah yang teramat mendalam saat harapan dari orang tua tidak bisa benar-benar diwujudkan dengan sempurna. Saya merasa bersalah kepada ayah. Dan saya tahu, Iwan pun pasti merasa bersalah kepada Bapak (Alex Komang). Kedua pemimpin keluarga ini sama-sama berwatak keras yang merupakan hasil bentukan dari pengalaman hidup menahun di jalanan yang kejam. Bapak merasa kecewa kepada Ibuk (Dewi Irawan) yang dianggap terlalu memanjakan Iwan sehingga dia tumbuh menjadi laki-laki yang lembek dan penakut, jauh dari harapan Bapak. 

Tapi Anda semua tentu tahu, film tidak akan bergerak kemana-mana jika sosok dengan panggilan sayang Bayek ini sama sekali tidak mengalami perubahan. Bermodalkan otak yang encer dalam hal hitung menghitung serta dukungan penuh dari Ibuk, Iwan nekat menantang diri sendiri dengan menimba ilmu di IPB yang jaraknya ratusan kilometer dari rumah. Meski awalnya dilanda keraguan untuk melepas sang anak, Bapak akhirnya memberi restu yang dibuktikan melalui dijualnya angkot yang menjadi sumber penghasilan utama demi ditukar dengan segepok uang untuk menjadi biaya hidup Iwan selama di Bogor. Sebungkus plastik hitam menjadi langkah awal bagi Iwan menuju gerbang kesuksesan. IPB menjadi kesempatannya untuk mengangkat harkat keluarganya. Dia tidak menyia-nyiakan amanat dari orang tua begitu saja terlebih dia pernah berkata bahwa dia bosan hidup miskin. Dengan memadukan kecerdasan bersama kerja keras, ketekunan, harapan, serta sikap ‘nrimo’, Iwan perlahan tapi pasti mulai memetik hasil. Bocah polos dari Kota Apel ini mampu menduduki posisi terhormat di sebuah perusahaan besar di Big Apple, New York. 

Sesungguhnya, skrip yang dikerjakan secara gotong royong oleh Ifa Isfansyah, Fajar Nugros, dan Iwan Setyawan senantiasa melaju dalam kecepatan yang konstan, tidak pernah benar-benar memberikan lonjakan konflik yang berarti, dan mengambil jalur penceritaan yang non-linear. Ini berpotensi menjadi sesuatu yang menjemukan apabila tidak memperoleh penanganan yang tepat. Beruntung, Ifa Isfansyah menyadari sepenuhnya hal itu. Di bawah penanganan sutradara peraih Piala Citra di FFI 2011 tersebut, 9 Summers 10 Autumns tumbuh sebagai tontonan yang bersahaja dan sungguh mengagumkan. Dia mampu memaksimalkan kinerja setiap departemen sehingga masing-masing mampu memberikan sumbangsih untuk mengangkat kualitas film secara keseluruhan. Departemen akting adalah yang paling menonjol dan mencuri perhatian. Penonton disuguhi performa yang teramat menakjubkan dari Alex Komang, Dewi Irawan, dan (secara mengejutkan) Ihsan Tarore. Berkat kelihaian mereka dalam berolah peran, penonton dapat merasa terhubung dengan tokoh Bapak, Ibuk, serta Iwan. Kita merasa peduli dan turut menaruh empati kepada mereka seolah-olah ketiganya adalah orang-orang yang telah lama kita kenal. 

9 Summers 10 Autumns menjadi sebuah film yang sangat ‘personal’ bagi saya, dan saya yakin... bagi kebanyakan penonton lain. Saya seperti tengah melihat kilasan balik dari kehidupan saya semasa kecil, serta sedikit kehidupan saat ini. Bukan hanya tentang ‘from zero to hero’, tapi ini adalah ‘everybody’s story’. Tidak hanya terenyuh dan merasa pedih, tetapi sesekali juga tertampar. Salah satu adegan yang menjadi favorit saya adalah ketika Ibuk meratapi kegagalannya memainkan peranannya sebagai seorang ibu di dapur dan Iwan yang baru saja pulang dari ‘kencan’, lantas mendekapnya, menenangkannya. Sebuah momen yang sangat emosional bagi saya. Air mata yang telah ditahan sedemikian rupa, perlahan-lahan mulai turun membasahi pipi. Hal yang sama juga terjadi kala Bapak menggadaikan angkotnya. Tanpa dihujani dialog berpanjang-panjang, hanya dengan satu ucapan saja, di dalam kesunyian, Anda akan tertusuk menyaksikan momen ini. Bapak merelakan aset paling berharganya demi mewujudkan mimpi si anak lanang. Mbrebes mili... Tak melulu menggambarkan kepedihan, ada masa-masa yang ceria dengan dialog-dialog menggelitik saat Iwan kuliah di IPB. Anda yang tengah atau telah menjalani masa-masa kuliah, agak mustahil tak tertawa (atau minimal, menyunggingkan senyuman) menyaksikan fase ini. Gambaran riil dari kehidupan mahasiswa anyar dan mahasiswa tingkat akhir.

Beberapa teman – terutama mereka yang tak benar-benar mengenal saya – mungkin akan beranggapan bahwa saya terlalu hiperbolis. Pada kenyatannya, saya memang benar-benar menikmati film ini, hati saya berhasil terhubung. Ini adalah sebuah film yang hangat dan jelas-jelas dibuat dengan memakai hati. Ifa Isfansyah sukses membuat emosi saya turut terlibat selama kurang lebih dua jam. Hati saya pun berhasil dicurinya. Naskah yang tidak terlampau istimewa berhasil disulapnya menjadi bahasa gambar yang sanggup berbicara dengan lantang, penuh wibawa, dan terdengar indah. Pesan yang disampaikan mengena tanpa perlu menceramahi. Dukungan dari departemen akting dimana Alex Komang, Dewi Irawan, Ihsan Tarore, serta para pemeran pendukung tampil bersinar dan saling melengkapi semakin menguatkan film. Jangan lupakan pula sinematografi maha cantik hasil bidikan Gandang Warah dan musik menghanyutkan hasil kreasi Elfa Zulham. Tanpa kinerja apik mereka, film tak akan menjadi setangguh ini dan melaju sebagai salah satu film terbaik hasil olahan anak bangsa di tahun 2013, sejauh ini. Salam!

Outstanding


8 comments:

  1. Suka gambarnya, scoringnya... Tapi enggak ceritanya. Hahaha but better than the book...Aku gaksuka bukunya hehe

    ReplyDelete
  2. Foto Ihsan Tarore yang paling bawah itu..bener-bener gaya Iwan.

    Iwan suka sekali pakai kaos panjang dan celana selutut dengan tas selempang.

    Kami teman seangkatan waktu kuliah dulu dan sempat beberapa kali bertemu pas Iwan pulkam dari New York..
    Dan saya nunggu review Mas Cinetariz untuk film ini sebelum berangkat nonton filmnya.

    Sambil harap-harap adakah tokoh saya di film itu..hahahahah..(di buku ada soalnya)

    ReplyDelete
  3. Sempat bingun pilih nonton 9 Summers 10 Autumns atau Iron Man 3 karena tayangnya di bioskop bersamaan. Akhirnya saya pilih nonton 9 Summers 10 Autumns :D

    ReplyDelete
  4. @ Dewi : Wah, Mbak Dewi ini temannya Mas Iwan saat masih kuliah dulu ya? Merasa tersanjung saya blog ini dikunjungi oleh Mbak *malu*

    Dan... apakah Mbak Dewi hadir di film? Saya belum membaca novelnya jadi tidak tahu dimana kemunculannya :)

    ReplyDelete
  5. @ fietha: Iya, secara cerita memang tidak terlalu kuat. Beruntung sekali film ini mempunyai sutradara, pemain, dan kru yang hebat sehingga film pun tak berakhir mengecewakan :)

    @ arlin : Wah... senang sekali Mbak Arlin mendahulukan 9 Summers 10 Autumns ketimbang Iron Man 3! :)

    ReplyDelete
  6. Oh, dengan senang hati. Salam kenal juga, Nitya :)

    ReplyDelete
  7. kayaknya bagus nih kudu disempetin nonton kalo gitu. thx buat reviewnya

    ReplyDelete
  8. Sudah baca bukunya dan menginspirasi tp belum nonton. Tp benar spt cinetariz blg. Ini adl everyone story. Walo 'kalem' tapi memotivasi, menggerakan hati utk maju mencapai mimpi

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch