"Nggak atasan, nggak bawahan, hobinya ngejilat!" - Titik Manajer
Apabila dalam Minggu Pagi di Victoria Park kita memperoleh gambaran tentang kehidupan para TKW di Hong Kong yang sejahtera dan serba berkecukupan, maka pemandangan yang sama sekali berbeda ‘dijlentrehkan’ oleh Kisah 3 Titik. Dalam film garapan sutradara anyar, Bobby Prabowo, ini Anda akan diajak untuk menelusuri dunia perburuhan di Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera dimana ‘cahaya’ adalah sesuatu yang langka dan barang mewah. Ini adalah dunia yang suram, keras, dan dingin. Benar-benar menerjemahkan tulisan yang kerap kali menghiasi surat kabar, ‘nasib buruh di tanah air paling memprihantinkan di ASEAN’. Ya, film yang berceloteh sepanjang 104 menit ini mengamininya. Serangkaian adegan yang terpampang di layar perak sungguh terasa memilukan dan mengiris hati. Atas nama jabatan – serta tentunya, Rupiah – asas kemanusiaan diungsikan jauh-jauh. Menjadi pribadi yang kelewat baik nan jujur bukanlah pilihan yang menguntungkan.
Skrip bernas hasil olahan Charmantha Adjie membagi lajur penceritaan menjadi tiga yang masing-masing menyoroti persoalan hidup yang dihadapi oleh seorang pegawai kontrakan, seorang pegawai di industri rumahan, dan seorang manajer. Ketiganya adalah perempuan dan ketiganya mempunyai nama yang sama, Titik. Yang menjadi pangkal permasalahan dari setiap tokoh ini adalah keengganan untuk tunduk kepada sistem yang berjalan dengan sewenang-wenang; mencoba untuk menghindar, mencoba untuk memberontak, dan mencoba untuk merubah. Ini tentu bukan perkara mudah, serta cenderung pelik. Ketika seorang pekerja di tingkat pusat, atau dalam film diwujudkan dalam sosok Titik Dewanti Sari (Lola Amaria), bahkan tak bisa berkutik, maka apa yang bisa diharapkan oleh mereka yang tidak lebih dari buruh kontrak atau pekerja di industri rumahan? Kadang kala, pilihan terbaik adalah dengan ‘nrimo’.
Ketidaktaatan kepada sistem, pada akhirnya kudu dibayar mahal oleh ketiga tokoh utama dalam film ini. Anda mungkin merasa kesal, merasa marah, dan merasa kecewa terhadap perlakuan sang pembuat film kepada para tokoh. Hal-hal buruk menghunjam tiada henti seolah-olah tak ada kebahagiaan di dunia ini. Kebahagiaan menjadi sesuatu yang bersifat minor dalam film yang mempunyai tone yang senantiasa muram ini. Akan tetapi, bukankah hidup kadang memang berlaku kejam dan tidak adil? Bobby Prabowo dan Charmantha Adjie mencoba untuk memotret realita dan menghidangkannya ke publik tanpa terlalu banyak memberi permakan. Apa adanya. Kisah 3 Titik membongkar borok dunia perburuhan di Indonesia yang sejatinya telah menjadi rahasia umum. Isu dalam dunia buruh ini lantas dikawinkan dengan cantik bersama kisah mengenai perjuangan hidup dari para perempuan tangguh ini; Titik Dewanti Sari, Titik Sulastri (Ririn Ekawati), dan Kartika (Maryam Supraba). Sungguh menarik dan menggugah.
Yang menjadi letak kekuatan dari film adalah bagaimana ketiga Titik ini mampu dengan mudah terhubung, atau menjalin ikatan, dengan para penonton. Empati penonton berhasil diraih dan emosi pun turut dilibatkan. Kita merasa peduli dengan apa yang dihadapi oleh Titik Dewanti Sari (atau Titik Manajer), Titik Sulastri (Titik Janda), maupun Kartika (Titik Tomboy). Titik Manajer adalah tokoh yang paling mudah untuk disukai karena hatinya yang mulia dan keberaniannya menentang sistem, meski di satu sisi upayanya untuk menyukseskan misinya – yang dia rahasiakan dari rekan-rekannya – sungguh teramat disayangkan. Akan tetapi pada titik inipun, kita tidak hanya memandangnya dari satu sisi semata, mungkin ‘rahasia’ ini adalah satu-satunya cara paling masuk akal saat ini untuk menggapai tujuannya? Bisa jadi.
Lalu Titik Janda adalah tokoh yang akan membuat Anda merasa iba. Dia adalah potret buruh perempuan yang tak berdaya. Apabila kehidupannya diibaratkan peribahasa, maka itu adalah ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula.’ Suaminya baru saja tutup usia karena sebuah kecelakaan kerja di pabrik. Tidak mendapat tunjangan kematian, sementara Titik kudu menghidupi seorang putri dan... dia pun mengandung. Dengan menyembunyikan kehamilannya, dia bekerja sebagai buruh kontrak di sebuah pabrik garmen. Seolah belum berakhir penderitaannya, dia pun terjerumus ke dalam lingkaran pertemanan yang menghalalkan tikam menikam dan sebuah penyakit mematikan turut bertamu ke tubuhnya. Sementara dalam kisah Titik Tomboy, kita melihat sosok perempuan yang keras dan meledak-ledak. Jauh berbeda dengan Titik Janda. Layaknya si Manajer, Titik Tomboy pun berusaha untuk merubah sistem. Dia tidak terima melihat teman-temannya yang membutuhkan pekerjaan dipecat begitu saja demi digantikan oleh sekumpulan anak SD yang seharusnya belum saatnya merasakan kejamnya dunia kerja.
Kita mungkin sedikit banyak telah mengetahui betapa dunia perburuhan itu teramat keji, tapi apa yang dipaparkan di sini tetap mampu membuat saya terhenyak dibuatnya. Diakui atau tidak, realita yang memilukan ini hadir dalam lingkungan sekitar kita setiap hari. Skrip hasil racikan Charmantha Adjie yang memotret kenyataan getir ini berhasil dituangkan oleh Bobby Prabowo ke dalam bahasa gambar secara tepat. Memperoleh dukungan secara penuh dari jajaran pemain yang berakting dengan kuat – khususnya Ririn Ekawati yang sungguh cemerlang – dan skoring musik gubahan Thoersi Argeswara yang menyayat, Kisah 3 Titik pun hadir sebagai sebuah sajian yang mengesankan, informatif, sekaligus menguras emosi. Penting untuk ditonton.
Exceeds Expectations
pertamaxxx, masuk list untuk ditonton minggu ini..
ReplyDelete