February 12, 2014

REVIEW : LONE SURVIVOR


“Anything in life worth doing is worth overdoing. Moderation is for cowards.” – Shane Patton 

Peter Berg jelas tidak cocok bekerja di air. Pertarungan robotnya dalam Battleship yang berlangsung di perairan luas yang digadang-gadang mampu menjelma sebagai Transformers versi air berakhir dengan gagal total. Meninggalkan kenangan buruk di memori kebanyakan penonton, kritikus, serta dirinya sendiri, Berg mencoba untuk menghapusnya dengan kembali menciptakan film perang yang sama sekali berbeda. Tidak ada lagi alien, tidak ada lagi lautan, dan yang jelas... tidak ada Rihanna. Phew. Sebagai gantinya – dengan sekaligus menghapuskan banyak kekonyolan – Berg mengajak penonton untuk kembali menapakkan kaki di daratan yang gersang seperti dalam The Kingdom, mendaki ke pegunungan terjal, serta menyusuri hutan belantara yang berbahaya bersama empat anggota elit Navy SEAL bernasib naas, melalui Lone Survivor yang beranjak dari buku nonfiksi berjudul sama hasil rekaan Marcus Luttrell. 

Mendedikasikan sepenuhnya untuk para prajurit tangguh hasil gemblengan Amerika Serikat yang digdaya, Lone Survivor membuka gelaran kisah dengan rangkaian footage dalam bentuk rekaman pelatihan yang memerlihatkan betapa mereka ditempa dengan sangat keras yang tak jarang dapat membahayakan nyawa demi kesiapan fisik mental kala diterjunkan langsung ke medan perang. Usai membentuk ekspektasi penonton, Berg lantas memboyong kita ke barak militer untuk berjumpa dengan keempat pejuang tangguh yang akan bertarung habis-habisan di paruh kedua film; Michael (Taylor Kitsch), Danny (Emile Hirsch), Axe (Ben Foster), dan Marcus (Mark Wahlberg). Tergabung di dalam Operation Red Wings yang berlangsung pada 28 Juni 2005 dengan tujuan melacak keberadaan pemimpin Taliban, Ahmad Shah (Yousuf Azami), keempatnya tidak pernah menduga operasi yang telah tersusun sedemikian rapi ini akan berujung pada bencana besar yang mengancam keselamatan hanya karena pertemuan tak sengaja dengan... para penggembala kambing. 

Dalam menghantarkan Lone Survivor, si pembuat film tidak langsung memanas dengan menjejali penonton lewat kebisingan suara senapan dan semacamnya melainkan cenderung memilih untuk perlahan-lahan – atau orang Jawa bilang, alon alon sing penting kelakon. Di sesi perkenalan yang berlangsung sepanjang kurang lebih 30 menit, penonton diberi kesempatan terlebih dahulu untuk berkenalan secara langsung dengan Michael, Danny, Axe, Marcus, Shane (Alexander Ludwig), dan Erik (Eric Bana) melalui rutinitas mereka setiap hari yang seolah remeh temeh tak penting; ‘kompetisi lari’, sarapan, hingga pertemuan dimana di tengah-tengah itu terselip sesi curhat, canda tawa, dan obrolan-obrolan ngalor ngidul. Tahapan ini memang menuntut kesabaran dari Anda karena memang nyaris tak terjadi apapun, namun begitu efektif dalam membentuk ikatan antara penonton dengan sejumlah karakter – terlebih saat beberapa informasi pribadi dari mereka dijabarkan – sehingga memungkinkan Anda untuk peduli terhadap mereka di paruh berikutnya. 

Suasana yang cerah ceria itu perlahan mulai mengabur sejalan dengan dimulainya Operation Red Wings. Keriangan dalam memperbincangkan kehidupan di Amerika Serikat pun lantas tergantikan dengan keseriusan dalam menyusun strategi untuk mengepung desa kecil di pedalaman Afganistan yang tengah dikuasai oleh Ahmad Shah dan pasukannya. Lalu, ketika strategi untuk operasi ini dinyatakan siap untuk diaplikasikan, Michael bersama ketiga anak buahnya pun diterjunkan ke pegunungan terjal dekat pedesaan yang menjadi lokasi utama dari film ini. Memulai film dengan lambat, Berg lantas membaliknya di titik ini dimana segalanya berlangsung secara cepat. Mengondisikan Lone Survivor dengan nuansa yang realistis, maka Anda pun kudu menyiapkan mental karena yah... Berg mencoba untuk mereka ulang setiap detik di peristiwa ini seotentik dan sedetail mungkin. Penonton tidak ditempatkan hanya untuk sekadar menonton saja, tetapi juga turut terlibat ke dalamnya. Efek yang didapat kala menyaksikan Lone Survivor adalah saya seolah-olah memang tengah terkepung di medan pertempuran bersama Marcus dan kawan-kawan! Tampak begitu nyata. Phew

Tak sekadar mendengar suara lontaran bom yang menggelegar dan peluru-peluru yang bergerak gesit menyasar subjeknya, Anda pun akan mendengar suara retakan tulang serta erangan penuh kesakitan yang memilukan yang menyatu dengan epiknya bersama tampilan peluru yang menembus ke tubuh manusia, para pejuang yang terlempar kesana kemari di atas bebatuan, hingga (duh)... mengoperasi kaki sendiri yang terluka parah dengan alat bantu pisau. Ditunjang oleh sinematografi yang menawan, tata suara kelas wahid, editing rapat yang nyaris tidak mengizinkan Anda untuk menarik menghembuskan nafas sedikit pun, polesan efek khusus serta tata rias yang mulus, gempuran skoring yang megah, serta performa yang sangat meyakinkan dari Mark Wahlberg, Taylor Kitsch (akhirnya!), Emile Hirsch, dan Ben Foster, momen-momen perjuangan bertahan hidup di dalam Lone Survivor pun mampu tampil begitu nyata, mencekam, mendebarkan, mencengkram, dramatis, menggetarkan hati, sekaligus menyentuh. Sebuah persembahan dari Peter Berg yang sangat menakjubkan.

Outstanding

1 comment:

  1. Dapat review dari temen dulu, katanya mereka jatuh dari jurang terus lawannya taliban, gue sangka jatuh dijurang gunung, eh ternyata jatuh dijurang batu, kampret masih hidup loo dah mati kali lo yaa hahaha

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch