"Seng ada Passo, Seng ada Tulehu. Seng ada Islam, Seng ada Kristen. Beta disini Maluku. Kalo ada yang tanya ose siapa, ose jawab Beta Maluku!"
Gemuruh sorak sorai dan tepuk tangan membahana di stadion, warung pinggiran, rumah penduduk, bahkan tempat ibadah. Sebuah pertanda bahwa tim jagoan telah merengkuh kemenangan, menghempas seluruh pandangan sarat skeptisisme. Segala keraguan yang tadinya hadir membayangi perlahan-lahan beralih rupa menjadi elu-elu pujian penuh kebanggaan. Pergulatan berhiaskan peluh keringat, air mata, dan pengkhianatan yang menyakitkan pun terbayar lunas, tersimpan di ingatan sebagai kenangan pahit... sekaligus manis. Berstatus sebagai tim ‘underdog’ dengan tipe perjuangan ‘from zero to hero’, pencapaian gemilang yang diukir oleh Tim U-15 Maluku dalam usaha mereka untuk berjaya di kompetisi tingkat nasional tentulah banyak memiliki cerita yang patut dibicarakan di belakangnya. Atas dasar inilah, Angga Dwimas Sasongko (Hari Untuk Amanda) bersama Visinema Pictures merasa perlu untuk menerjemahkan kisah perjuangan mereka ke dalam bahasa gambar melalui Cahaya Dari Timur: Beta Maluku.
Dihantui oleh kegagalan di masa lalu yang menyakitkan, Sani Tawainela (Chicco Jerikho) pun memilih untuk mengubur dalam-dalam impiannya berkarir di dunia sepakbola dan menjalani profesi sebagai tukang ojek di tengah berkecamuknya konflik agama di Maluku. Menghindari apapun yang berkaitan dengan olahraga ini, hatinya mulai luluh saat melihat seorang bocah tak berdosa tertembak dalam sebuah kontak senjata. Didasari niatan mengalihkan perhatian anak-anak Tulehu atas konflik, Sani pun menggelar sesi latihan sepak bola saban hari berbekal bantuan dari mantan pesepakbola profesional, Rafi (Frans ‘Hayaka’ Nendissa). Dari apa yang awalnya hanya sekadar pengisi waktu luang semata, kegiatan ini semakin berkembang ke arah positif seiring dengan meredanya konflik. Sani pun berusaha sekeras mungkin menghantarkan para anak didiknya ini menggapai mimpi yang gagal diraihnya di masa muda meski dirundung berbagai permasalahan termasuk kondisi ekonomi yang tak mendukung, tentangan dari sang istri, Haspa (Safira Umm), dan Rafi yang diam-diam menusuknya dari belakang.
Sebagai sebuah film berlatar olahraga sepakbola, template yang diaplikasikan dalam Cahaya Dari Timur: Beta Maluku memang tidak berbeda jauh dengan yang sudah-sudah. Masih berkisar pada ‘from zero to hero’ lewat bangunan cerita yang terkemas inspiratif dan menggerakkan emosi terlebih tatanan kisahnya dirujuk dari sebuah peristiwa nyata. Ini berarti keklisean dan aluran kisah yang mudah ditebak menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari keberadaannya. Meski demikian, perlu diingat juga bahwa hasil akhir seringkali bukan menjadi patokan atau bagian yang terpenting di film semacam ini, melainkan lebih menekankan pada prosesnya. Lebih penting lagi, bagaimana si pembuat film menanganinya secara tepat tanpa harus membuat film tergelincir sebagai sajian yang menjemukan atau lebay.
Jika patokan keberhasilan sepenuhnya adalah yang terakhir, maka tepuk tangan boleh diberikan kepada Angga Dwimas Sasongko karena Cahaya Dari Timur: Beta Maluku tak sedikit pun mendekati kekhawatiran itu (baca: menjemukan dan lebay), melainkan ini adalah film yang solid. Skrip padat berisi racikan Swastika Nohara dan M Irfan Ramli mampu diejawantahkan oleh Angga dengan lancar menghasilkan sebuah gelaran yang tak hanya inspiratif melalui pesan-pesan positif penggugah semangat, tetapi juga hangat penuh hati dan mengoyak-ngoyak emosi sedemikian rupa tanpa pernah lupa pula untuk menjadi menghibur dengan segala humornya. Sekalipun durasi Cahaya Dari Timur: Beta Maluku merentang hingga mencapai 2,5 jam, tak sekalipun film terasa melelahkan untuk diikuti. Sebaliknya, ada ketertarikan dan keterikatan terhadap film saat menyaksikan proses panjang yang kudu ditempuh oleh Sani dalam membawa tim binaannya menuju ke puncak melalui tempaan finansial yang seret, pilihan besar dilematis, pengkhianatan, friksi antar anggota tim dipicu oleh perbedaan, hingga keraguan yang kerap timbul tenggelam.
Tentu saja, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku tak akan semenggigit ini tanpa performa jajaran pemainnya yang sungguh brilian – kredit khusus diberikan kepada Chicco Jerikho. Anda yang meragukan kapasitasnya dalam berlakon, maka lihatlah apa yang dilakukannya di sini. Menanggung beban besar sebagai lead actor, Chicco tak kewalahan dan bersinergi bersama Frans ‘Hayaka’ Nendissa, Safira Umm, dan Bebeto Leutualy secara mengesankan. Chicco mampu menangani perannya secara total penuh penghayatan meniupkan jiwa terhadap karakter Sani (dan juga memberinya kedalaman emosi) yang serta merta menaikkan kelasnya ke jajaran aktor dengan karir patut diperhitungkan. Yup, he’s that good. Sokongan yang diterima film dari tangkapan kamera atas lanskap Maluku yang begitu memanjakan mata (membuat siapapun ingin terbang ke sana sekarang juga!) bersama lagu tema serta skoring dengan sentuhan etnik yang indah pula membangkitkan semangat, membuat Cahaya Dari Timur: Beta Maluku pun semakin terasa lezat dan susah ditolak pesonanya. Menggetarkan!
Outstanding
film ini emang bagus banget! sayang, pas masuk bioskop ternyata di dalem sepi :(
ReplyDeleteBioskop mana kaka?
ReplyDeletePengen banget nonton tapi disini gk ada bioskop..
ReplyDeleteIyah, sayang banget film sebagus ini responnya tidak terlalu menggembirakan. Resiko tayang di tengah-tengah serbuan summer movies.
ReplyDeleteSaking bagusnya, saya sampai menonton 2x di bioskop
ReplyDelete