June 28, 2014

REVIEW : TRANSFORMERS: AGE OF EXTINCTION


“This is not war... it's human extinction!” 

Apa yang bisa Anda harapkan dari franchise film Transformers yang beranjak dari mainan laris keluaran Hasbro? Jawaban yang paling bisa diterima adalah pameran visual yang mewah megah di balik gelaran aksinya yang habis-habisan. Selain itu, sebaiknya lupakan saja karena mustahil akan dituai di seri ini. Transformers: Age of Extinction pun bukan pengecualian. Sekalipun Michael Bay – yang sempat berulang kali berencana mengundurkan diri dari posisi sutradara semenjak, yah, Revenge of the Fallen – telah sesumbar bahwa instalmen keempat ini akan dicanangkan sebagai semacam era baru, tetapi pada kenyatannya tidak banyak yang berubah di sini kecuali konfigurasi para pemain. Transformers: Age of Extinction masih seperti versi layar lebar dari Transformers yang Anda kenal; megah secara tampilan, namun begitu berisik, kelewat panjang, dan dangkal. Untuk sekali ini, Bay meningkatkan ‘kegilaan’ itu sehingga bagi Anda yang memang sedari awal tidak menggemari franchise ini (namun tetap memaksa untuk menontonnya), bersiaplah untuk menggelepar tak berdaya di dalam gedung bioskop. 

Setelah pertarungan Autobots dan Decepticons yang menghasilkan kekacauan berskala masif di Chicago empat tahun silam (adegan penutup Dark of the Moon), bumi tidak lagi menjadi tempat yang ramah untuk ditinggali para robot alien. Melalui sebuah program khusus bernama ‘Cemetery Wind’, CIA di bawah komando Harold Attinger (Kelsey Grammer) melacak keberadaan dan memusnahkan sejumlah Transformers yang tersisa – termasuk Autobots sekalipun – berbekal bantuan dari Lockdown, alien pemburu Transformers. Hal ini lantas memaksa Autobots berpisah untuk menyelamatkan diri masing-masing, termasuk Optimus Prime yang belakangan ditemukan oleh ilmuwan gagal, Cade Yeager (Mark Wahlberg), beserta putri semata wayangnya, Tessa (Nicola Peltz) di pedalaman Texas. Berharap awalnya keberadaan Optimus Prime mampu menyelamatkan keluarganya dari badai finansial yang tengah menerpa, Cade malah justru ikut terseret ke dalam kubangan konflik yang menjadi ajang pertempuran bagi pemerintah Amerika Serikat dengan Autobots. 

Teknis. Itulah yang menjadi jualan utama dari Age of Extinction. Memeroleh gelontoran dana mencapai $210 juta, memungkinkan bagi Michael Bay untuk melampaui pencapaian yang telah ditorehkannya di jilid sebelumnya dan menyulap film sebagai surga bagi para pemuja efek khusus. Segala kehebohan (dan keberisikan) yang muncul menyeruak pada Dark of the Moon diangkatnya lebih tinggi dengan harapan memunculkan ‘wow factor’ dan rahang yang berjatuhan, termasuk mengobrak-abrik Hong Kong yang dijadikan panggung pertempuran puncak para robot alien lengkap beserta ledakan-ledakan khas Bay dan mempersilahkan spesies baru, Dinobots, memperkenalkan diri dalam porsi tampil yang terbilang singkat. Nyaris saja berhasil membuat terpukau, namun Bay melupakan satu hal krusial yang haram hukumnya dilakukan, apapun yang berlebihan tidak akan membawa dampak yang baik. Sayangnya, itulah yang menimpa Age of Extinction: serba berlebihan. 

Betapa tidak. Untuk menggelar penuturan yang teramat sederhana ini – kalau tak mau disebut dangkal – membutuhkan durasi yang merentang hingga 165 menit. Ya, nyaris 3 jam! Ehren Kruger selaku penulis skrip berupaya untuk mengisi banyak kekosongan waktu dengan dramatisasi bertele-tele (yang sama sekali tidak penting) berupa konflik keluarga a la Armageddon yang hanya bikin menguap saja. Mark Wahlberg memang tidak buruk, malah dia salah satu penyelamat film bersama Stanley Tucci yang diposisikan sebagai comic relief, tetapi penampilan tanpa emosi dari Nicola Peltz (lebih buruk dari Rosie Huntington-Whiteley sekalipun!) dan Jack Reynor – sebagai kekasih Tessa – yang sangat menyebalkan tidak memberikan kontribusi positif sedikit pun terhadap film, hanya membuatnya menjadi semakin keruh. Chemistry yang terbangun diantara mereka begitu kering sampai-sampai kepedulian gagal disematkan dan hanya berharap salah satu robot alien bersedia menelan Tessa (beserta kekasihnya) bulat-bulat. Ugh, saya sangat yakin Cinta Laura bisa berakting jauh lebih baik dari Nicola-who ini. 

Ketika dramatisasi sama sekali gagal dibangun – which is not surprising, I guess – maka harapan yang tersisa pada Age of Extinction adalah adegan laganya... yang sayangnya juga tidak jauh berbeda. Menyaksikan para robot alien bertempur habis-habisan satu sama lain hingga menghancurkan kota padat penduduk memang berpotensi membawa cinematic experience yang mengasyikkan, jika ditampilkan dalam kadar secukupnya dan seperlunya. Tetapi saat dipaksakan untuk merentang panjang sampai-sampai seolah tidak akan pernah berakhir, itu soal lain. Rasa yang malah terpantik adalah kelelahan dan kejenuhan. Daya pikatnya pun perlahan tapi pasti mulai menurun terlebih dengan suara bising yang memekakkan telinga. Pada akhirnya, penonton pun tidak lagi terlampau peduli terhadap apa yang akan terjadi berikutnya di film yang bisa dengan mudah selesai dalam 100 menit ini karena satu-satunya harapan di tengah pertempuran kosong nihil sesuatu yang mudah diingat ini adalah film segera mencapai ujungnya dan penonton bisa segera melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop untuk memulihkan pusing yang teramat sangat. 

2D atau 3D? Menyaksikan Transformers: Age of Extinction dalam format 3D adalah wajib hukumnya. Nuff said

Acceptable


1 comment:

  1. Film yang mantap nih... punnya link download gratisnya ga ? hehe

    www.alatuji.com

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch