"Orang nggak jadi kuat hanya dalam sehari. Ini bukan film. Semua butuh proses."
Rio (Dimas Aditya), putra dari pasangan Tio (Donny Damara) dan Fitri (Ira Wibowo), tumbuh berkembang sebagai pemuda pemalas dan tidak memiliki tekad kuat untuk menggapai apapun dalam hidupnya. Sedari kecil, apapun yang dikerjakannya tak pernah menuai hasil, selalu berhenti di tengah jalan. Kebiasaan buruk ini terus berlanjut hingga Rio duduk di bangku kuliah dan berdampak pada pengerjaan skripsi yang mandeg. Malu melihat putra semata wayangnya tak kunjung wisuda hingga tahun ke-7, Tio pun membuat keputusan besar dengan mengusir Rio dari rumah. Untuk menyambung hidup, Rio bekerja sebagai sales di showroom yang dikelola sahabatnya. Jalan hidup Rio mulai menampakkan perubahan tatkala Fitri wafat dan memaksa Rio berdamai dengan sang ayah. Termotivasi untuk menunjukkan kepada Tio bahwa dirinya adalah putra yang bisa diandalkan, Rio pun berniat mengikuti lomba lari marathon di Bromo. Sebagai persiapan, Rio bergabung bersama komunitas lari, Indo Runners, yang memertemukannya dengan Anisa (Olivia Lubis Jensen) yang semakin mengobarkan semangat hidupnya.
Kekecewaan yang menaungi diri akibat terlampau banyaknya film Indonesia yang jauh di bawah pengharapan dalam beberapa bulan terakhir ini sedikit banyak terobati oleh hadirnya Mari Lari. Setidaknya, berkat Mari Lari, kepercayaan terhadap masih adanya film buatan negeri yang berkualitas sepanjang tahun ini terus mengapung. Film perdana arahan Delon Tio yang sebelumnya lebih akrab menempati bangku produser lewat Claudia/Jasmine dan Simfoni Luar Biasa ini memberi kupasan menarik yang rajutan kisahnya mempertautkan konflik ayah-anak yang pelik dengan olahraga lari yang tengah digandrungi oleh masyarakat di ibukota. Perpaduan semacam ini tidak saja membuat Mari Lari terhidang sebagai sebuah tontonan yang inspiratif dan informatif, tetapi juga jenaka, menyentuh, pula memiliki kehangatan yang bisa jadi membuat Anda seketika rindu terhadap rumah dan orang tua.
Ya, saya tiada sama sekali menyangka jika sebuah film tentang lari (lengkap dengan kegiatan komunitasnya) bisa terangkum dengan sebegitu menarik dan mengikat ini. Walau tatanan penceritaan di Mari Lari tidak juga menawarkan sesuatu yang baru, akan tetapi sang penulis skrip, Ninit Yunita, mampu menghadirkan energi terhadap jaringan konflik yang melingkupi sang tokoh utama. Permasalahan yang dihadapi oleh Rio dan Tio pun dikemas secara wajar, apa adanya, dan lekat dengan kehidupan sehari-hari. Mudah sekali terhubung dengan film ini terlebih bagi siapapun yang pernah melewati (atau malah justru sedang melewati) masa-masa berkonflik dengan ayah, kehilangan semangat menuntaskan sesuatu hal yang awalnya dimulai dengan antusias, kehilangan sosok ibu sebelum sempat membuatnya bangga dan bahagia, hingga problematika abadi mahasiswa tingkat akhir: mengejar-ngejar dosen pembimbing yang begitu sukar dijumpai. Kecerdasan Ninit Yunita dalam mengapungkan konflik yang (bisa jadi) personal bagi kebanyakan penonton inilah yang menjadikan Mari Lari terasa istimewa.
Selain itu, skrip pun mampu mengawinkan antara konflik sehari-hari dengan olahraga lari (yang juga dimanfaatkan sebagai metafora konflik) dengan rapi tanpa saling tindih dan melukai. Pembubuhan humor, sempalan intrik, dan ramainya karakter-karakter pendukung pun memiliki fungsinya masing-masing terhadap pergerakan cerita dengan timing kemunculan yang senantiasa tepat. Akan tetapi, paling terasa berharga di atas kesemuanya ini adalah bagaimana Mari Lari diolah dan diarahkan supaya tidak hanya mengaduk-aduk emosi penonton lewat cara yang jauh dari kesan cengeng (atau katakanlah, didramatisir berlebihan), tetapi juga mampu menginspirasi dan mengedukasi penontonnya mengenai apa yang seharusnya (dan tidak seharusnya) dilakukan saat hendak menjalani lari marathon tanpa berkesan menceramahi.
Sesuatu yang sulit dilakukan, tentunya, namun untungnya berhasil diwujudkan oleh Delon Tio seolah tanpa kesulitan yang berarti dalam film perdananya ini berkat sokongan solid yang didapat dari Alexa yang menyumbangkan ilustrasi musik dan lagu pengiring ‘Marilah Berlari’ – aransemen ulang dari ‘Marilah Menari’-nya Titiek Puspa – yang mampu menghidupkan suasana, tangkapan kamera dan editing yang unik (walau sesekali terasa berlebihan), serta jajaran pemain yang memberikan akting menawan, khususnya chemistry kuat nan meyakinkan dari Dimas Aditya dan Donny Damara. Dengan kombinasi maut semacam ini, pantaslah kiranya menyebut Mari Lari sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini. Sungguh sebuah film yang rasa-rasanya teramat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Exceeds Expectations
No comments:
Post a Comment