July 30, 2014

REVIEW : HIJRAH CINTA


“Maukah kamu menjadi saksi perubahan hidupku?” 
“Aku mau, sampai kapanpun...” 

Lewat tatapan penuh makna di sebuah dermaga, Uje (Alfie Affandy) melontarkan pertanyaan yang menyiratkan keinginannya membawa Pipik (Revalina S Temat) naik ke pelaminan, untuk mendampinginya dalam menemukan kembali jalan seharusnya setelah tersesatkan di neraka duniawi yang sekilas menawarkan kenikmatan tiada tara. Tanpa ada keraguan, meyakini bahwa lelaki di hadapannya memiliki tekad kuat untuk berubah sekaligus kemampuan menuntun ke arah yang diridhoi Allah SWT, Pipik memastikan kesediaannya. Air mata penonton pun serta merta berlinangan. Inilah salah satu momen terbaik yang bisa Anda kenang di Hijrah Cinta... dan bukan menjadi satu-satunya. Sebuah kejutan telah menanti bagi siapapun yang penuh kerelaan menyisihkan sedikit waktu pula uangnya yang berharga untuk menyimak Hijrah Cinta di layar lebar. Ini tidak seperti bayangan kebanyakan orang yang mengantisipasinya sebagai ‘film biopik berbumbu reliji lainnya, tak berbeda dengan sudah-sudah’, karena Hijrah Cinta lebih dari itu. 

Seperti halnya kisah biografi seorang termashyur yang pernah Anda simak, maka pencapaian puncak sang tokoh tidaklah digapai dengan mudahnya. Ustad Jefri Al-Buchori – atau akrab disapa Uje – pun mengalami pengalaman pahit manis serupa dalam membangun karir serta reputasinya yang mengesankan sebagai seorang ‘ustad seleb’. Terlahir multitalenta, Uje terperosok ke titik gelap kehidupan saat meniti karir di dunia hiburan. Pergaulan bebas penuh hura-hura menyeretnya pada seorang bandar, Yosi (Ananda Omesh), yang memperkenalkannya pada barang-barang haram. Dari awalnya sekadar coba-coba belaka, perlahan tapi pasti Uje mulai kecanduan dan sulit melepaskannya dari genggaman. Kehidupannya pun serta merta berantakan. Keluarga mengusir, sahabat menjauh, dan pekerjaan mengucap selamat tinggal. Ketika segalanya tampak hanya bisa lebih buruk, Tuhan memberikan jalan keluar atas segala derita yang dihadapi oleh Uje lewat seorang model cantik bernama Pipik. Berkat Pipik, kesediaan Uje untuk merubah diri yang semula hanya terucap di bibir saja diwujudkan. 

Ya, Hijrah Cinta tidaklah seperti film kebanyakan bergenre seragam yang banyak bermunculan di sinema Indonesia belakangan ini: kelewat verbal dalam mencorongkan pesan moral, berdampak pada gaya tutur yang terkesan menceramahi seolah-olah tengah mendengarkan seorang Khatib berkotbah. Tidak. Lantunan kisah (yang sebetulnya sarat pesan) disampaikan secara lembut tanpa pernah menjelma layaknya mimbar, apalagi berapi-api, malah memberi kesempatan bagi Hijrah Cinta untuk memiliki momen-momen dengan integritas dan pesonanya sendiri. Tim Dapur Film menggodok naskah dalam tingkat kematangan yang pas untuk kemudian disajikan oleh Indra Gunawan – inilah debut penyutradaraannya setelah beberapa kali menjabat sebagai co-director – secara cantik. Memastikan telinga penonton tidak gatal lantaran dijejali dialog-dialog yang (maunya sih) memberi pencerahan. Phew

Hal lain yang bikin film terasa menyedapkan, Hijrah Cinta dipersenjatai performa kelas kampiun dari jajaran pemainnya. Dua jempol layak disematkan untuk tim kasting yang jeli memilih pemain. Revalina S Temat sekali lagi menunjukkan kelasnya sebagai salah satu aktris papan atas di Indonesia. Sosok Pipik yang bersahaja, penyabar, keibuan, sekaligus rapuh diproyeksikannya secara tepat sasaran lewat akting penuh penjiwaan dengan ekspresi yang berbicara banyak, membuat penonton tidak kesulitan terkoneksi dengannya sampai-sampai turut berempati atas segala cobaan yang dideranya. Adegan Uje sakau menjadi ‘big moment’ untuknya. Begitu pula Alfie Affandy yang secara timbre suara mendekati almarhum. Coba Anda pejamkan mata saat dia melantunkan ‘I’tiraf’, bukankah terdengar sangat Uje? Ditinjau dari air muka pun sebelas dua belas, memiliki nilai akurasi yang tinggi, sehingga mudah untuk mempercayai bahwa almarhum Uje lah yang tengah berlakon di layar, bukan Alfie. Yup, he’s that good! 

Tentu, sebagai sebuah film yang diformulasikan sebagai film biopik dengan kehebatan cinta sejati di baliknya, Hijrah Cinta membutuhkan satu kata kunci: emosi. Letak kesuksesan film bergantung pada seberapa jauh film mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa... dan Hijrah Cinta menyanggupinya. Sepanjang durasi yang mengalun nyaris dua jam, emosi dipompa nyaris tiada henti demi mengikuti jalinan kisah sarat konflik meliuk-liuk mengikuti naik turunnya perjuangan Uje mencapai tatanan hidup lebih baik. Tidak ada pengkultusan di sini, Uje ditampilkan apa adanya bak manusia kebanyakan yang sarangnya lupa dan khilaf. Dengan pola pengisahan semacam ini, para penggemar tontonan tearjerker tentu akan terbahagiakan. Bekal tissue yang disisipkan di kantong celana (atau tas) tak jadi sia-sia, malah sungguh membantu untuk mengusap air mata yang beberapa kali membasahi pipi. Bagusnya, skoring musik yang ditangani oleh Andhika Triyadi pun tidak ‘kejam’ menghajar tanpa ampun, melainkan mengalun dengan halus yang justru efektif menebalkan sisi dramatis pada film. Membuat penonton semakin tidak berdaya untuk menjaga mata tetap kering, termasuk penonton yang pada awalnya meremehkan Hijrah Cinta lantaran alergi film reliji maupun bukan penggemar Uje sekalipun. Sangat bagus!

Outstanding

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch