March 12, 2019

REVIEW : CAPTAIN MARVEL


”We have no idea what threats are out there. We can’t do this alone. We need you.”

Siapa diantara kalian yang bersuka cita menyambut kehadiran Captain Marvel? Sebagai seseorang yang mengikuti Marvel Cinematic Universe (MCU) sejak awal mula dan belakangan dibuat tertambat oleh bangunan semestanya yang mengagumkan, saya jelas gembira dengan kemunculan Captain Marvel. Terlebih lagi, film arahan Anna Boden dan Ryan Fleck (Half Nelson, It’s Kind of a Funny Story) ini menandai untuk pertama kalinya MCU mempunyai film solo bagi superhero perempuan. Mereka memang telah memiliki tiga superhero perempuan yang tergabung dalam Avengers yakni Black Widow, Scarlet Witch, dan Gamora. Akan tetapi tak seperti para pria perkasa di semesta yang sama, ketiganya belum memiliki film tunggal termasuk Gamora yang mesti berbagi jatah narasi dengan keempat rekannya dalam Guardians of the Galaxy. Penantian panjang untuk menyaksikan MCU mengikuti jejak tetangga sebelah yang sudah terlebih dahulu mempersembahkan Wonder Woman (2017) – yang ternyata lebih dari sekadar representasi gender dalam sinema Hollywood – akhirnya tiba di momen-momen genting. Mengapa saya menyebutnya demikian? Well, jika kamu sudah menyaksikan Avengers: Infinity War tentu mengetahui bahwa nasib para pahlawan di semesta bentukan Marvel Studios ini sedang berada di ujung tanduk. Melalui sebuah post credits scene di sela-sela end credit film tersebut, penonton diinformasikan bahwa bala bantuan akan diperoleh dari karakter dengan lambang bintang atau dengan kata lain: Captain Marvel. Ini adalah salah satu alasan yang lantas membuat saya (dan mungkin jutaan penonton lain) bersemangat menantikan Captain Marvel.   

Berhubung penonton belum pernah berjumpa dengan si karakter tituler sebelumnya, maka sudah barang tentu Captain Marvel difungsikan sebagai origin story. Di sini, penonton tak hanya berkesempatan untuk melongok masa lalu dari sosok dibalik kostum berwarna merah biru yaitu Carol Danvers (Brie Larson), tetapi juga cikal bakal terbentuknya Avengers. Mengaplikasikan guliran pengisahan yang acapkali non-linear demi mengedepankan misteri, kita langsung dipertemukan dengan Carol yang mengenal dirinya sebagai Vers. Salah satu personil dari pasukan elit di Planet Hala, Starforce, yang sedang diterjunkan dalam misi menyelamatkan seorang mata-mata bangsa Kree dari cengkraman pihak musuh yakni kelompok alien dengan kemampuan berubah wujud, Skrull. Menurut pandangan Vers yang tak bisa sedikitpun mengingat masa lalunya, Kree adalah bangsa yang menjunjung tinggi keadilan sementara Skrull merupakan pihak yang seharusnya diperangi. Pemikiran yang ditanamkan oleh sang mentor, Yon-Rogg (Jude Law), ini terus dipercaya oleh Vers sampai kemudian dia ditangkap sekelompok Skrull dalam misi penyerbuan yang berakhir kegagalan. Alih-alih diinterogasi secara beradab, Vers justru disiksa dengan cara mengacak-acak memorinya. Vers yang memiliki kemampuan bertarung diatas rata-rata ini tentu saja memberontak yang lantas mendorongnya untuk melarikan diri ke Bumi dimana dia bertemu dengan agen S.H.I.E.L.D. bernama Nick Fury (Samuel L. Jackson) yang masih bermata lengkap. Ditengah upayanya menghindari kejaran bangsa Skrull bersama agen Fury, Vers secara perlahan tapi pasti mendapatkan ingatannya kembali pasca dia mempelajari lebih jauh mengenai mesin berkecepatan cahaya yang sedang diincar oleh kaum Skrull.


Disamping fakta yang menunjukkan Captain Marvel sebagai sajian superhero perempuan pertama dalam MCU dan menempatkannya sebagai seri penjembatan menuju ke babak terakbar dalam Avengers: Endgame, satu faktor lain yang menggugah ketertarikan untuk menyaksikan gelaran ini adalah kualitas beberapa film terakhir keluaran Marvel Studios yang kian mencengkram. Usai Thor: Ragnarok yang norak-norak mengasyikkan dengan selera humor yang cenderung nyeleneh, lalu Black Panther yang memberikan selebrasi terhadap masyarakat kulit hitam seraya menggaungkan women empowerment, saya pun dibuat bertanya-tanya: apa yang akan dipersembahkan oleh duo Anna Boden dan Ryan Fleck melalui Captain Marvel? Menilik jejak rekam keduanya sebagai sineas indie yang dikenal lihai dalam menciptakan karakter kuat (berkat mereka, Ryan Gosling meraih nominasi Oscar pertama lewat Half Nelson), tentu menarik untuk mengetahui pendekatan seperti apa yang akan mereka perbuat terhadap film ini. Berhubung standar yang dipatok oleh film-film terdahulu sudah sangat tinggi, saya jelas membawa ekspektasi lebih kala melangkahkan kaki ke bioskop yang ternyata, well… berakhir kurang baik. Captain Marvel jelas bukan film yang buruk – mendekati jelek pun tidak – hanya saja film kurang memiliki gegap gempita seperti diperkirakan. Sebagai origin story, ini lebih mendekati ke Thor yang sederhana ketimbang Guardians of the Galaxy yang menyegarkan. Tak ada sesuatu yang benar-benar baru disini, bahkan gelaran laganya pun tergolong standar, sampai-sampai si pembuat film merasa perlu menyelipkan elemen misteri demi menambah daya tarik kepada tontonan.

Pilihan kreatif tersebut tentu tak ada salahnya. Namun penulisan naskah beserta penyampaian duo sutradara yang lantas membuat bubuhan misteri tak semenggigit seperti diharapkan. Sebagian besar penonton yang jeli tentu sudah mengetahui mengenai wajah sesungguhnya dari Kree (sempat disinggung di Guardians of the Galaxy) dan informasi terkait identitas asli Vers juga telah menjadi rahasia umum, jadi kejutan apa lagi yang ingin dipersiapkan? Maksud saya, tak ada salahnya bercerita secara konvensional karena penjabaran agak belibet seperti ini tergolong beresiko. Dan memang, keputusan Boden-Fleck untuk mengedepankan misteri justru mereduksi dua hal yang semestinya merupakan komponen andalan mereka: karakterisasi dan hati. Entahlah, tapi saya kurang bisa mengenal Carol Danvers disini. Saya paham dengan motivasinya, tapi saya tak pernah benar-benar terhubung dengannya. Sederet fase hidup yang efektif menjabarkan soal karakterisasinya hanya dimunculkan melalui kilasan-kilasan ingatan tanpa pernah digali mendalam termasuk soal persahabatannya dengan Maria Rambeau (Lashana Lynch). Ada satu adegan dimana moment of truth akhirnya tiba, tapi saya justru tidak merasakan apa-apa sementara si pembuat film telah mengondisikan agar tercipta suasana sendu yang mengundang air mata. Apakah hati ini telah sedemikian beku atau semata-mata karena saya tidak pernah melihat keakraban Carol-Maria secara lebih intens sehingga urung menginvestasikan emosi? Rasa-rasanya faktor kedua adalah pemicunya karena terbukti saya masih bisa berkaca-kaca menyaksikan tribut untuk Stan Lee yang diselipkan ke logo Marvel di permulaan durasi.


Yang kemudian membantu menyelamatkan muka Captain Marvel dan menghindarkannya dari keterpurukan adalah performa jajaran pemainnya yang sangat baik. Mesti diakui, Brie Larson yang didapuk melakonkan si karakter tituler merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai oleh Captain Marvel. Jangkauan emosinya tergolong luas yang turut mencakup kecakapannya dalam ngelaba, begitu pula dengan karismanya yang memancar kuat sehingga penonton pun dapat diyakinkan bahwa Carol Danvers adalah sesosok pahlawan yang bisa diandalkan oleh penduduk bumi. Permainan lakon Brie Larson inilah yang kemudian membantu memberikan warna pada karakter Carol Danvers yang sejatinya datar-datar saja. Bersama dengan Samuel L. Jackson, aktris penggenggam piala Oscar berkat permainan emosionalnya di Room (2015) ini menciptakan sebuah chemistry lekat ala buddy cop movies yang memunculkan kesenangan tersendiri bagi film. Jujur saja, interaksi antara Carol dengan Nick Fury adalah satu alasan lain yang membuat saya bisa bersemangat sekaligus tergelak-gelak menyaksikan Captain Marvel. Tektokan keduanya terbentuk secara natural dengan disisipi humor cukup cerdas yang lantas membentuk sederet momen mengasyikkan di beberapa titik durasi. Ditambah dengan kehadiran kucing imut-imut menggemaskan bernama Goose, saya pun memperoleh kompensasi atas kekecewaan terhadap guliran pengisahan (meliputi villain yang kekuatannya terlampau timpang) yang lunglai beserta gelaran laga yang terasa kurang heboh padahal jajaran pemain telah berlatih mati-matian demi mempersiapkan peran mereka. Mungkinkah ini disengaja oleh pihak Marvel Studios agar film ini tidak menutupi pamor Avengers: Endgame yang digadang-gadang sebagai jilid terakbar dalam MCU? Mungkin saja. Yang jelas, sekalipun ada rasa gregetan karena Captain Marvel kesulitan memenuhi potensinya, paling tidak saya masih dibuat terhibur olehnya.   

Note : Sesuai tradisi, terdapat dua adegan bonus yang bisa kamu saksikan di sini. Letaknya di sela-sela dan penghujung end credit.


Acceptable (3/5) 


10 comments:

  1. akhirnya misteri mata sebelah nick fury terpecahkan, bisa tidur nyenyak sekarang haha, mungkin itu daya tarik filmnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jawabannya sungguh tidak disangka-sangka. Hahaha.

      Delete
  2. Untung ada nick fury, tiap dia muncul bareng carol danvers film kembali bercita rasa marvel (Dengan guyonan khasnya). Sulit utk memahami sosok kapten marvel dg alur cerita yg maju mundur, kurang memiliki ikatan emosi dengannya, juga... sebagai sosok yang konon terkuat di MCU sih aku berharap aksinya bakal gila2an di sini. hmmm....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yoih. Gelaran laganya kurang asyik padahal banyak momen yang memungkinkan itu terjadi. Sepertinya disengaja buat disimpan di End Game. Ya semoga saja.

      Delete
  3. Perubahan sikap Skrull si makhluk ijo terlalu drastis ya yang tadinya serem jadi lembut sambil nyedot minuman...kurang seru ah filmnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal sebagian penonton udah bisa nerka Skrull bakal di pihak mana. Semestinya emang nggak perlu disamarkan sedemikian seremnya karena emang saat mereka mengungkap jati diri berasa agak aneh.

      Delete
  4. Please, it's "Endgame", not "End Game".

    ReplyDelete
  5. Filem terbaik yang wajib di tonton dan wajib nanti di review gan, Masih trailer https://youtu.be/rGIIlSk8qqo

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch