March 18, 2019

REVIEW : MISTERI DILAILA


“Kau bukan istri aku!”

Di negeri asalnya, Malaysia, Misteri Dilaila tengah menjadi bahan pembicaraan hangat. Disutradarai oleh sutradara muda berbakat Syafiq Yusof (Abang Long Fadil, KL Special Yusof) yang kebetulan masih memiliki hubungan darah dengan Syamsul Yusof yang angkat nama berkat dwilogi Munafik, Misteri Dilaila memang menggunakan resep bercerita yang tidak biasa untuk ukuran film setempat. Disamping perpaduan genrenya yang memadupadankan elemen misteri dengan psychological thriller, horor berunsur supranatural, serta komedi, keputusan si pembuat film untuk merilisnya ke bioskop dalam dua versi berbeda turut menarik perhatian. Pembedanya memang hanya terletak pada konklusi yang berlangsung di 15 menit terakhir dan gimmick jualan semacam ini pun bukan hal yang sepenuhnya baru karena Clue (1985) beserta Unfriended: Dark Web (2018) telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Akan tetapi, untuk ukuran film Malaysia, apa yang diperbuat oleh Syafiq Yusof jelas bisa dibilang revolusioner sekalipun Misteri Dilaila turut tersandung kontroversi plagiarisme akibat kemiripan narasinya dengan Vanishing Act (1986). Berhubung saya belum pernah menyaksikan judul tersebut, kontroversi ini jelas tidak berimbas dalam menyurutkan keinginan untuk menonton. Saya masih menaruh ketertarikan terhadap Misteri Dilaila yang sebagian besar dilandasi oleh faktor genre dan gimmick. Selain itu, saya juga ingin membuktikan hype di kalangan netizen Malaysia yang tak sedikit diantaranya bersedia memberi nilai 11/10 untuk film ini. Sungguh emejing, bukan?

Mengalun sepanjang 82 menit – well, jika kamu menonton versi 1 maka durasinya lebih pendek semenit – Misteri Dilaila tidak menghabiskan banyak waktu untuk berbasa basi. Penonton langsung dipertemukan dengan sepasang suami istri, Jefri (Zul Arifin) dan Dilaila (Elizabeth Tan), yang sedang berlibur di Bukit Fraser. Konflik juga mengemuka secara cepat seusai Jefri memutuskan untuk nongkrong bersama rekan bisnisnya. Dilaila marah besar sehingga Jefri pun terpaksa tidur di sofa yang kemudian menghadapkannya pada serentetan teror misterius. Apakah keanehan ini hanya sebatas mimpi atau memang benar-benar terjadi? Belum sempat Jefri mencernanya, keanehan lain kembali menimpanya setelah pagi menjelang. Ponselnya mendadak raib, begitu pula dengan istrinya. Jefri mencoba menghubungi adik iparnya, Farid (Mas Khan), tapi dia pun tak tahu menahu soal keberadaan Dilaila. Dalam upayanya menemukan sang istri, Jefri lantas melaporkannya kepada penyelidik setempat bernama Inspektur Azman (Rosyam Nor) yang tampak berdedikasi dengan pekerjaannya. Tak berselang lama setelah laporan ini dibuat, Jefri dikejutkan oleh satu kunjungan. Seorang pemuka agama yang disegani oleh warga sekitar, Imam Aziz (Namron), tiba-tiba memasuki vila milik Jefri seraya membawa seorang perempuan yang mengaku sebagai Dilaila (Sasqia Dahuri – selanjutnya disebut Dilaila II). Yang kemudian membuatnya aneh, Jefri sama sekali tak mengenali perempuan tersebut sementara orang-orang di sekitarnya termasuk Farid mengenalinya sebagai Dilaila. Apa yang sesungguhnya terjadi di sini?


Mesti diakui, Misteri Dilaila cukup berhasil membangun ketegangan sekaligus memantik rasa penasaran pada paruh awalnya. Pertanyaan sederhana seperti “kemana perginya Dilaila?” menjadi landasan utama yang membuat saya bersedia untuk mengikuti permainan kreasi Syafiq Yusof. Kemunculan satu dua karakter seperti Imam Aziz yang tindak tanduknya teramat mencurigakan sampai-sampai saya meragukan identitasnya sebagai pemuka agama dan Dilaila II yang jelas-jelas tidak mirip secara fisik dengan Dilaila I, menambah daya tarik tersendiri bagi film. Pertanyaan sederhana yang sempat saya ajukan tadi pun perlahan mulai berubah menjadi “siapa yang bisa dipercaya di sini?”. Dilaila II memang mempunyai wajah berbeda dengan Dilaila I, tapi bagaimana jika Jefri sebetulnya adalah pribadi manipulatif yang memiliki rencana keji terhadap sang istri? Maksud saya, Jefri bisa saja diposisikan sebagai unreliable narrator oleh si pembuat film yang kebenaran atas pernyataan-pernyataannya amat diragukan. Terlebih lagi penonton juga tidak tahu menahu mengenai latar belakangnya selain dia adalah suami dari Dilaila I. Ditunjang dengan sisi teknis bergaya seperti tata artistik untuk villa yang ditempati karakter utama beserta penyuntingan yang mengaplikasikan teknik mask transition, lalu ada pula performa pemain yang cukup baik dari Rosyam Nor, dan Namron, saya sempat manggut-manggut sebagai isyarat bisa memahami alasan publik Malaysia memberikan puja-puji setinggi langit untuk film ini. Tapi setelah satu demi satu petunjuk digeber, saya berbalik mempertanyakannya karena daya cengkram Misteri Dilaila secara perlahan mengalami kemerosotan yang drastis.  

Disamping teramat sangat terganggu oleh jump scare dengan iringan musik menusuk telinga yang esensinya kurang jelas (khususnya pada versi dua), saya pun mulai mempertanyakan banyak keputusan maupun tindakan para karakternya. Atau dengan kata lain, menemukan lubang dalam penceritaan. Setidaknya ada dua perkara yang mengusik ketenangan diri ini: 1) tidak adanya foto Dilaila I, dan 2) Jefri yang bolak-balik bertindak konyol. Saya tahu ini sengaja dilakukan oleh si pembuat film demi memperumit kasus hilangnya Dilaila I. Namun, alih-alih meningkatkan rasa penasaran yang sudah terbentuk, saya justru gemas bukan kepalang. Apakah Dilaila I adalah seseorang yang menjunjung tinggi privasi sampai-sampai dia tidak mempunyai akun di media sosial? Apabila ini terjadi di masa lampau dimana akses ke teknologi masih terbilang sulit, alasan “aku tidak mempunyai foto istriku di rumah ini” tentu masih dapat diterima. Tapi di era dimana keranjingan gawai bukan lagi sesuatu yang mengherankan, alasan semacam ini jelas menimbulkan keheranan kecuali Dilaila I memang enggan difoto oleh orang lain. Saya mendadak pening kliyengan begitu menyadari bahwa internet seolah dianggap tidak ada oleh Misteri Dilaila dan kemudian kian menjadi-jadi setiap kali melihat Jefri. Sosoknya jauh dari kata simpatik akibat akting Zul Arifin yang terlampau meledak-ledak serta keputusan-keputusannya yang ajaib. Apakah Jefri sebegitu tidak bisanya berpikir jernih sehingga dia berkali-kali meninggalkan petunjuk penting tanpa penjagaan yang layak? Saat ini terjadi untuk pertama kalinya, saya masih berusaha memaklumi kondisinya. Tapi saat kembali terjadi untuk kali kedua, saya pun hanya bisa mengucap “Astaghfirullah, Jefriii... Kebangetan!”


Persoalan yang meradang Misteri Dilaila ini nyatanya memang kian tak terkontrol seiring berjalannya durasi. Saya yang sudah menghirup minyak angin agar tetap sadar di kursi bioskop seolah ingin mengibarkan bendera putih saat melihat salah satu karakter tiba-tiba berlagak seperti orang gila hanya untuk menegaskan bahwa dia jahat, lalu latar belakang sang villain pun dijabarkan seadanya yang membuat segala misteri – apalagi kemunculan hantu – di film sukar untuk diterima. Saat kemudian film mengakhiri narasi dengan cara “sok misterius”, saya seketika ingin berkomentar julid terhadap netizen Malaysia yang memberinya nilai 11/10. Baik versi pertama yang mengambil pendekatan psychological thriller maupun versi kedua yang menekankan pada horor, sama-sama bikin minyak angin terasa seperti penyelamat akibat kepala yang nyut-nyutan. Saya jelas urung dibikin mindblown karena perfilman Indonesia sudah memiliki Kala (2007), Pintu Terlarang (2009), sampai Belenggu (2012) yang jauh lebih kompeten. Kalaupun pada akhirnya dibikin mindblown, maka itu karena otak saya meledak akibat tak sanggup mencerna logika berceritanya yang penuh dengan penggampangan. Duh.


Poor (2/5)


14 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Lumayan banyak sih kemiripan dengan film Vanishing Act (1986) produksi Inggris hampir 80%, premisnya lumayan mirip sih, istri hilang terus suami ragu itu istrinya atau bukan , anjing diganti kucing, pendeta diganti Ustadz dan lain sebagainya, mungkin sineas Malaysia harus banyak belajar dari sineas Indonesia 😅😅😅

    Bakal ulas film MatiAnak Derby Romero kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah mengapa saat netizen di sana memuji setinggi langit rasanya ingin aku sahut: maaf, Indonesia sudah diberi sajian yang lebih bagus oleh Joko Anwar sejak satu dekade lalu. Hahaha.

      MatiAnak kemungkinan bakal skip, nggak nonton. Lagi banyak agenda ke luar kota nih jadi mesti curi-curi waktu buat nonton :(

      Delete
  3. mantap gan infonya dan salam sukses selalu

    ReplyDelete
  4. bagus bos artikelnya dan menarik

    ReplyDelete
  5. keren mas buat infonya da semoga bermanfaat

    ReplyDelete
  6. makasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat

    ReplyDelete
  7. keren mas buat infonya dan salam sukses selalu

    ReplyDelete
  8. ok mantap sob buat infonya dan salam kenal

    ReplyDelete
  9. Menarik sekali, perlu saya coba ini..
    kebetulan lagi cara tentang hal ini.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch