April 1, 2019

REVIEW : DUMBO


“We're all family here, no matter how small.”

Sedari kesuksesan secara finansial yang direngkuh oleh Alice in Wonderland (2010), Walt Disney Studios mendadak keranjingan untuk menginterpretasi ulang film animasi klasik koleksi mereka ke dalam format live action. Meski satu dua diantaranya mendapat ulasan kurang menggembirakan dari kritikus lantaran dianggap tidak mampu menangkap sisi magis dari materi sumbernya, tapi sulit untuk disangkal bahwa demand dari publik terhitung tinggi – pengecualian untuk Alice Through the Looking Glass (2016) yang babak belur dihajar berbagai pihak. Maka jangan heran jika kemudian rumah produksi penghasil Mickey Mouse ini terus menelurkan judul-judul adaptasi dari tontonan animasi legendaris. Bahkan, pada tahun 2019 ini sendiri terdapat 4 film yang siap dilepas (!) termasuk The Lion King, Aladdin, serta Dumbo yang dipilih sebagai “pembuka parade”. Berbeda dengan dua film pertama disebut yang berasal dari era keemasan atau Disney Renaissance (1989-1999), Dumbo merupakan versi live action dari salah satu film animasi Disney di era-era awal yang berlangsung bersamaan dengan Perang Dunia I. Sebuah pilihan yang harus diakui beresiko mengingat film ini kemungkinan kurang familiar di telinga penonton awam khususnya bagi mereka yang tinggal di luar negeri Paman Sam. Terlebih lagi, versi asli Dumbo hanya berdurasi sepanjang satu jam dengan sebagian besar karakternya diisi oleh binatang-binatang yang berdialog menggunakan tindakan dan gaya penceritaannya pun tergolong surealis. Saya pun dibuat bertanya-tanya, “apa ya pendekatan yang akan ditempuh oleh si pembuat film agar membuat sajiannya ini terlihat menarik di mata penggemar sekaligus penonton anyar apalagi ada gajah bertampang menggemaskan disini?.”

Dalam Dumbo versi mutakhir ini, penonton dilempar jauh kembali ke tahun 1919 dan dipertemukan dengan rombongan sirkus bernama Medici Brothers’ kepunyaan Max Medici (Danny DeVito). Salah satu personil yang memegang peranan penting dalam cerita adalah Holt Farrier (Colin Farrell) yang baru saja pulang dari medan perang. Dia memiliki dua anak; Milly (Nico Parker) yang tergila-gila pada sains dan Joe (Finley Hobbins) yang tertarik pada banyak hal, sementara sang istri telah berpulang karena sakit. Disamping upayanya untuk berdamai dengan kenyataan bahwa dia kini menjadi orang tua tunggal dan lengannya pun tak lagi utuh, Holt juga harus merelakan kuda atraksinya dijual oleh Max demi menutupi biaya operasional sirkus. Demi membuatnya tetap berguna di kelompok sirkus ini, Holt pun mau tak mau menerima pekerjaan sebagai pengurus gajah. Dalam tugas barunya tersebut, Holt bertemu dengan si karakter tituler yang merupakan anak dari salah satu gajah, Mrs. Jumbo. Seperti bisa diterka dari hubungan antara dua karakter terpinggirkan, keduanya pun tak langsung memiliki ikatan. Holt masih menciptakan jarak dengan Dumbo yang kerap menjadi bahan olok-olok akibat ukuran telinganya yang sangat besar. Selain Mrs. Jumbo, anggota sirkus lain yang bersedia untuk berinteraksi dengan Dumbo hanyalah Milly dan Joe. Mereka berupaya untuk menggali potensi si bayi gajah agar dia bisa tampil dan tak disingkirkan begitu saja oleh Max. Ditengah-tengah proses pendekatan, keduanya menyadari bahwa Dumbo memiliki bakat terpendam. Sebuah bakat yang tidak hanya dapat mengukuhkan status si gajah sebagai bintang sirkus, tetapi juga dapat menyelamatkan Medici Brothers’ dari keterpurukan.


Seperti bisa diharapkan dari film-film arahan Tim Burton (Charlie and the Chocolate Factory, Alice in Wonderland), Dumbo pun memiliki tampilan visual yang bisa dikagumi. Entah itu berasal dari gaya hias bangunan yang menerapkan desain art deco, warna-warni kostum yang dikenakan oleh jajaran karakternya yang menjajaki bisnis sirkus, kemeriahan pertunjukkan-pertunjukkan sirkus yang mencakup homage ke adegan-adegan ikonik di versi animasinya, sampai visualisasi taman bermain milik V. A. Vandevere (Michael Keaton) yang sedikit banyak terinspirasi dari Disneyland. Disamping itu, ciri khas si pembuat film yang gemar “gelap-gelapan” dalam bercerita – biasanya dia menerapkan visual beraroma gothic sebagai hiasannya – masih bisa pula dijumpai di film yang mengaplikasikan nada penceritaan lebih konvensional demi mengganti narasi surealis versi animasinya ini. Kita bisa mencecapnya melalui keberadaan karakter-karakter nyentrik yang terpinggirkan, adegan kematian akibat Mrs. Jumbo yang mengamuk hebat atau lewat dialog yang menyiratkan tentang “masa depan” Mrs. Jumbo setelah tak lagi dieksploitasi oleh Vandevere. Namun berhubung Dumbo diniatkan sebagai film untuk segala usia yang sanggup menghangatkan hati dan menginspirasi generasi muda dengan pesan moral klasik ala film-film Disney seperti “percayalah pada kemampuanmu sendiri!”, maka tentu saja ada batasan-batasan yang harus dipenuhi. Malah bisa dibilang, Dumbo adalah salah satu film Tim Burton yang paling ramah penonton cilik. Di sini kita diupayakan untuk jatuh hati terhadap si karakter tituler yang diwujudkan dengan sangat brilian oleh tim efek khusus sehingga membuatnya tampak begitu nyata, lalu terenyuh mendengar kisah mengharu birunya dimana dia dipaksa berpisah dengan sang ibu, dan bersemangat menyaksikan petualangannya dalam memperjuangkan kebebasan.

Pada menit-menit awal terutama ketika Dumbo terbang melewati penonton-penonton sirkus, saya bisa mendeteksi sekelumit sensasi magis dari film. Saya terperangah melihat jagoan mungil ini melayang-layang di udara, saya juga bersuka cita menjadi saksi kemenangannya dalam menampik nyinyiran para peragu. Tapi film mulai terasa goyah setelah penonton dikasih lihat bahwa Dumbo memang benar-benar bisa terbang. Di versi aslinya, moment of truth ini baru terjadi di menit-menit pamungkas mengikuti tujuannya untuk memberikan gong pada kisah pembuktian diri si karakter utama. Sedangkan di versi anyar ini, kita telah diposisikan sebagai saksi mata sedari Milly dan Joe tanpa sengaja membuat bayi gajah ini terbang akibat bulu angsa. Keputusan untuk menempatkan kejutan di paruh pertama film tentu mendatangkan resiko besar karena penonton akan otomatis menelurkan pertanyaan, “apa yang akan terjadi kemudian?” dan sialnya, Burton bersama Ethan Kruger selaku penulis skenario tidak memiliki suplai bahan bakar memadai guna mempertahankan api (baca: daya pikat) pada penceritaan agar tetap menyala-nyala. Keduanya membiarkan para karakter manusia menjadi karakter satu dimensi nan kosong yang sebatas bertengger di area “hitam” maupun “putih”. Kalaupun ada yang dikelokkan ke area “abu-abu”, karakter tersebut tak mendapat character arc yang layak sampai-sampai saya pun dibuat bingung: kok dia bisa tiba berubah menjadi baik? Lantaran tiada kompleksitas dalam bangunan karakter plus konflik yang dikedepankan pun dipaparkan sekenanya saja (seperti bagaimana Holt membangun kepercayaan kedua anaknya), saya pun kesulitan besar dalam menginvestasikan emosi kepada mereka. Saya bisa jatuh hati pada Dumbo, tetapi tidak kepada teman-teman manusianya. Hanya Michael Keaton yang bermain meyakinkan sebagai villain, sementara sisanya memberikan rasa dingin dan hampa khususnya duo cilik Nico Parker-Finley Hobbins yang karakter mereka mainkan seharusnya krusial karena difungsikan sebagai pengganti kawan baik Dumbo di versi asli, Timothy Mouse.


Pada akhirnya, ketimbang diselimuti kepenasaran dengan modal pertanyaan “apa yang akan terjadi kemudian?”, saya justru dipenuhi dengan keingintahuan untuk menemukan jawab atas pertanyaan “kapan film akan mencapai titik konklusi?” karena film menjadi semakin tidak menarik usai porsi tampil Dumbo mulai tergerus.

Acceptable (3/5) 

3 comments:

  1. Saya sebulan kebelakang min nonton film klasik Disney era 90 ke bawah, termasuk film Dumbo..
    Material aslinya sebenarnya berpotensi untuk jadi film keren karena mengangkat isu born different..
    Banyak orang bisa relate ma film ini..

    Tapi sayang versi live actionnya justru rata2 saja ya min..

    Mudah2an Disney berhasil untuk masterpiece Lion king..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karakter manusianya nggak digali secara layak sih jadi mereka berasa pajangan saja. Padahal kalau dikembangin, bisa memberi nyawa ke film dan pesannya pun akan lebih efektif. Sayang sekali emang. Aku pribadi optimis dengan The Lion King, mudah-mudahan memang keren.

      Delete

Mobile Edition
By Blogger Touch