April 10, 2019

REVIEW : PET SEMATARY (2019)


“Sometimes dead is better.”

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para petinggi studio raksasa di Hollywood sedang sedang getol-getolnya memberikan interpretasi baru terhadap beberapa karya legendaris Stephen King yang sebelumnya sudah pernah diadaptasi ke medium film. Ada Carrie (2013) yang tidak sedikitpun mendekati versi 1976 yang dapat dikategorikan sebagai salah satu “film horor terbaik sepanjang masa”, lalu ada dwilogi It (2017, 2019) yang mampu menghadirkan level kengerian sekaligus kesenangan diatas versi lampaunya, dan paling baru adalah Pet Sematary yang versi 1989-nya belakangan berkembang menjadi cult film dengan penggemar loyal cukup masif. Berhubung adaptasi terdahulu dari ‘teror mengerikan dari kuburan hewan’ memiliki kualitas penggarapan yang lebih mendekati It yang cenderung semenjana ketimbang Carrie yang luar biasa (akting Sissy Spacek yang ngeri ngeri sedap terlalu sulit dilampaui!), maka seharusnya mudah saja bagi duo sutradara, Kevin Kölsch and Dennis Widmyer, untuk mengkreasi sebuah adaptasi baru – plus remake – yang layak bagi Pet Sematary. Apalagi mereka memperoleh suntikkan dana lebih tinggi dan disokong pula oleh jajaran pemain yang mempunyai jejak rekam berlakon terhitung baik. Jadi, ditengok di atas kertas, apa sih yang mungkin salah dari versi termutakhir Pet Sematary ini?

Seperti halnya materi sumber, penonton pun kembali dipertemukan dengan keluarga Creed yang konfigurasinya terdiri atas Louis (Jason Clarke), Rachel (Amy Seimetz), Ellie (Jeté Laurence), Gage (dimainkan balita kembar Hugo Lavoie dan Lucas Lavoie), serta seekor kucing bernama Church. Keluarga kecil ini dikisahkan baru saja pindah rumah dari Boston, Massachusetts, ke sebuah kota kecil di Maine demi mengikuti Louis yang memutuskan untuk bekerja sebagai dokter di rumah sakit universitas setempat agar bisa memiliki waktu luang lebih bersama istri beserta kedua anaknya. Mengikuti jejak film horor pada umumnya, kepindahan ini menjadi awal mula munculnya petaka bagi keluarga Creed. Setelah berkenalan dengan tetangga yang gerak-geriknya agak mencurigakan, Jud (John Lithgow), mereka menyadari bahwa ada tempat angker di belakang pekarangan rumah berupa pemakaman hewan. Tentu saja ini bukan pemakaman biasa karena saat manusia bersedia menembus jauh ke dalamnya, mereka akan menjumpai rahasia mengerikan dibaliknya. Rahasia yang lantas diketahui oleh Louis setelah Jud membawanya memasuki pedalaman hutan demi mengubur Church yang tewas dilindas truk. Tanpa menyadari konsekuensi yang akan didapatnya, Louis mengikuti perintah Jud yang kemudian memberinya kunjungan mengejutkan keesokan harinya. Church yang telah tiada, tiba-tiba ditemukan sedang nangkring manja di kamar Ellie dengan perangai yang sangat jauh berbeda!


Mesti diakui, disandingkan dengan adaptasi terdahulu, Pet Sematary baru ini memang mempunyai sedikit kedalaman. Si pembuat film mencoba memberi kesempatan kepada penonton untuk mendengarkan pemikiran-pemikiran karakter utama, termasuk pandangan mereka terhadap kematian, dan ada latar belakang yang dipaparkan mengenai keberadaan kuburan hewan mengerikan tersebut. Walau kita masih belum benar-benar bisa memahami bagaimana cara kerjanya (saya rasa Stephen King pun memang berniat membiarkannya tetap misterius), tapi paling tidak kita bisa merasakan bahwa kuburan ini mempunyai andil atas keapesan-keapesan yang lantas mendera para protagonis. Dilantunkan dengan atmosfer suram dimana pencahayaan seringkali temaram dan dipenuhi kabut, Pet Sematary memang tampak menjanjikan pada mulanya. Lebih-lebih, jajaran pelakonnya pun memberikan upaya mengesankan dalam bermain peran seperti Jason Clarke yang terlihat terganggu secara psikis akibat rentetan kematian tak terduga di sekitarnya, Amy Seimetz yang karakternya acapkali terlihat gelisah akibat memendam rasa bersalah dari masa lalu, serta John Lithgow yang menunjukkan ambiguitas dalam perannya: apakah dia bisa dipercaya atau tidak? Yang kemudian menghalangi film untuk memenuhi potensinya adalah ketidaksanggupan duo sutradara dalam melantunkan cerita secara tepat guna. Seperti halnya versi lawas, Pet Sematary ini pun mengalun lambat. Terlalu lambat malah.


Saya sebetulnya tidak antipati terhadap pergerakan kisah yang lamban dalam film. Hanya saja, pendekatan yang ditempuh oleh Pet Sematary ini tidak memberikan apapun kepada penonton kecuali rasa jenuh. Selama separuh awal, penonton dicekoki eksposisi panjang lebar mengenai sejarah dibalik pemakaman hewan menggunakan mulut Jud. Ada kalanya menarik, tapi tak jarang pula melelahkan. Sebagai bentuk antisipasi agar pemirsa tetap melek, Kölsch dan Widmyer menyiapkan strategi berupa jump scares yang justru membuat saya berharap volume bisa direndahkan alih-alih meringkuk ketakutan. Elemen kaget-kagetannya jauh dari kata efektif, menjengkelkan, dan melunturkan sisi elegan dari film. Apa kalian melihat sekumpulan bocah dengan topeng menyeramkan ‘berparade’ kecil-kecilan di materi promosi? Well, adegan ini ternyata tidak mempunyai impak apapun pada penceritaan selain untuk menghasilkan gambar bagus (serius, mereka nggak ngapa-ngapain!). Duh. Yang lebih disayangkan lagi, duo ini turut mengorbankan karakter bernama Victor Pascow (Obssa Ahmed) yang sejatinya memiliki kontribusi signifikan terhadap pergerakan narasi, hanya demi memunculkan momen “cilukba”. Entah karena si pembuat film terlampau sibuk memikirkan cara menakut-nakuti penonton atau terlampau sibuk memikirkan “kejutan” agar film terlihat berbeda dari pendahulunya, Pet Sematary turut mengalami kendala lain yang membuat penerapan tempo lambat dan jump scares kosong menjadi kian mengganggu: minim kehangatan.


Walau jajaran pemain telah menyumbang lakon bagus saat berdiri sendiri, mereka tak pernah benar-benar menyatu saat dipertemukan. Penggambaran hubungan antar karakternya terasa begitu dingin. Saya tidak melihat adanya ikatan yang hangat diantara personil keluarga Creed, tidak mengendus adanya kasih sayang dari Ellie kepada Church, dan tidak pula melihat adanya kepedulian dalam relasi Ellie dengan Jud. Maka begitu satu dua tragedi terjadi (yang sudah dibocorkan oleh trailer!), saya urung terlibat secara emosi. Bahkan saya pun mempertanyakan motivasi Jud dalam mengenalkan area pemakaman tersebut lantaran saya tidak pernah benar-benar merasa Jud menaruh afeksi terhadap keluarga Creed. Mengapa kamu begitu kejam, Pak Jud? Mengapa? Saking tak sanggupnya diri ini untuk terhubung dengan mereka, saya pun tidak lagi ambil pusing dengan babak pamungkasnya yang dikemas dalam mode slasher. Alhasil, saya tidak kecewa-kecewa amat saat adegan kucing-kucingan cukup seru di klimaks akhirnya berujung tumpul karena ambisi duo sutradara untuk cepat-cepat membawa Pet Sematary menuju adegan terakhir yang diniatkan sebagai kejutan.

Acceptable (2,5/5)  


4 comments:

  1. Sebenernya cerita2 nya stephen king itu ngga terlalu cocok dijadiin film deh om, soalnya emang di novelnya sendiri yg dimainin biasanya psikologis si tokoh n suasana ya, jadi bukan tipe2 yg bikin deg degan gitu. Udah duga sih, apalagi pet samatary ini termasuk nggak seseru yang lain 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang harus sutradara yg topcer sih ya baru bisa nginterpretasiin dgn baguss

      Delete
    2. Yup. Emang bener kalau karya Stephen King emang lebih nekanin ke suasana dan karakter. Gaya penyampaiannya pun slow burn dimana kengerian ada di klimaks. Jadi emang mesti ditangani sutradara yang jago dalam bercerita biar nggak membosankan.

      Delete
  2. Agak kecewa sama endingnya sih, jadi mayat hidup semua menurut saya nggak seru
    Ada banyak adegan yang bikin deg2an tapi bosen juga diwaktu yg sama, contohnya pas Pak Jud naik ke lantai 2 bawa pistol terus kakinya kena tusuk Ellie
    terus itu motivasi Pak Jud ngenalin area itu juga emang bolong banget

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch