“Kalau surga saja belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi
nerakamu?”
Jika hanya ada satu kata yang
bisa dipilih untuk mendeskripsikan Ave
Maryam, maka saya akan memilih kata “cantik”. Film arahan Robby Ertanto (7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, Dilema) ini memang mempunyai tampilan
visual yang akan membuatmu geleng-geleng kepala dan kemungkinan besar bakal menginspirasi
para selebgram untuk menghiasi feed
mereka dengan pemandangan senada. Ya, sedari teaser trailer-nya pertama kali diperkenalkan ke hadapan publik, Ave Maryam memang telah menyita
perhatian berkat gambar-gambarnya yang aduhai. Seolah-olah mengindikasikan
bahwa ini bukanlah film buatan sineas tanah air. Disamping visual yang memang
didesain untuk memanjakan mata, faktor lain yang mendorong ketertarikan
terhadap Ave Maryam – setidaknya bagi
saya secara pribadi – adalah tema yang ditawarkan. Memang benar film masih berkutat
dengan urusan percintaan, dimana sekali ini turut menjamah area cinta
terlarang. Yang kemudian membuatnya tampak berbeda adalah latar penceritaan
yang membawa khalayak menapaki teritori yang sangat teramat jarang disentuh
oleh perfilman Indonesia, yakni susteran dan Gereja Katolik. Saya ingin melihat
bagaimana Ave Maryam merepresentasikan
kaum minoritas yang kerap terlupakan dalam sinema tanah air, saya ingin melihat
bagaimana si pembuat film mengelaborasi topik pembicaraan yang terhitung sensitif
(kisah kasih antara romo dengan suster!), dan saya juga ingin melihat bagaimana
film mencoba memberi sedikit warna ditengah monotonnya variasi tema dalam
film-film yang menyebutnya sebagai “tontonan reliji”. Terdengar menjanjikan,
bukan?
Dalam Ave Maryam, penonton diajak mengunjungi kota Semarang pada tahun
1998 dan diperkenalkan dengan sang protagonis, Suster Maryam (Maudy Koesnaedi),
yang mengabdikan dirinya ke sebuah susteran. Di sana, Maryam kebagian tugas
untuk mengurusi segala keperluan rumah tangga bersama penanggung jawab
susteran, Suster Mila (Olga Lidya), dan merawat para suster berusia lanjut
termasuk menyiapkan makanan serta memandikan mereka. Selama beberapa saat –
setidaknya terhitung sedari penonton mengetahui karakter ini – rutinitas Maryam
memang hanya berkutat pada beribadah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari para suster
yang tinggal di bawah atap susteran. Kalaupun mau sedikit bersenang-senang,
Maryam akan keluar ke toko terdekat untuk membeli buku. Salah satu bahan bacaan
kesukaannya mengadung elemen yang dianggap tabu bagi mereka yang telah mengucap
tiga kaul (kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan) yaitu erotisme. Akan tetapi, kehidupan
Maryam yang mulanya tampak biasa-biasa saja seperti umumnya para suster yang
telah mengabdi kepada Tuhan ini secara perlahan tapi pasti mulai berubah
setelah Romo Martin (Joko Anwar) membawa penghuni anyar bagi susteran, Suster
Monic (Tutie Kirana). Kedatangan Suster Monic ini bersamaan dengan hadirnya
romo baru yang bertugas di gereja setempat, Romo Yosef (Chicco Jerikho). Pembawaan
Yosef yang cenderung easy-going dan
kemahirannya dalam bermusik membuat Maryam mengalami gejolak dalam hatinya. Suatu
gejolak yang menghadapkannya pada posisi dilematis karena dia harus memilih
antara mengikuti kemauan hati atau bertahan pada kaulnya.
Sepanjang melantunkan narasi
sepanjang 74 menit, Robby Ertanto memilih untuk mengambil pendekatan yang
menyesuaikan dengan latar penceritaan: tenang-tenang menghanyutkan. Penonton dikondisikan
untuk menyatu ke dalam suasana susteran yang jauh dari hiruk pikuk dan selama
belasan menit awal (setidaknya sebelum karakter Yosef menyelinap masuk), kita
sebatas menyaksikan aktivitas Maryam beserta para suster dalam menjalani hari. Belum
tercium adanya bibit-bibit konflik, laju pengisahan pun mengalun secara santai
yang boleh jadi kelewat melenakan bagi sebagian penonton. Tapi bagi saya
sendiri, gaya penyampaian ini memberikan rasa damai di hati. Ada kebahagiaan
tersendiri menyaksikan para suster dapat beribadah secara khusyuk tanpa
diinterupsi oleh pihak luar, ada kebahagiaan tersendiri melihat gerak-gerik para
suster yang senantiasa memiliki caranya sendiri untuk menikmati hidup, dan ada
kebahagiaan tersendiri menyaksikan interaksi kecil antara Maryam dengan gadis
pengirim susu yang beragama Islam. Untuk sesaat, saya merasa Ave Maryam memberikan gambaran ideal
tentang Indonesia dimana perbedaan keyakinan bukan jadi penghalang dan urusan
dengan Tuhan bersifat pribadi alih-alih ranah publik. Si pembuat film memberi sentilan sekaligus bahan renungan yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat dewasa ini dalam ikut campur perihal “agama”
dalam satu dua dialog yang salah satunya berbunyi, “Kalau surga saja belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi
nerakamu?”. Dialog ini diucap oleh Suster Monic saat mengetahui rahasia
Maryam. Ketimbang memberi wejangan-wejangan bersifat penghakiman kepada Maryam
yang kentara menunjukkan penyesalan, beliau justru memilih untuk diam. Lawan bicaranya
bukan lagi anak kecil yang masih membutuhkan panduan untuk bisa membedakan mana
benar mana salah. Maryam jelas mengetahui konsekuensi atas tindakan-tindakannya
dan Suster Monic tidak ingin bertindak selayaknya Tuhan karena dia sendiri tak
yakin telah suci dari dosa.
Disamping permainan visual yang
memang berada di kelas wahid dan ambience
yang memungkinkan saya untuk bisa menyelami situasi kondisi di susteran, satu
hal lain yang membuat diri ini dapat terhubung ke Ave Maryam adalah pendeskripsian karakter yang manusiawi. Sebagian
besar karakter dalam film memang dikisahkan telah mengikat janji dengan Tuhan
dan memilih untuk meninggalkan perkara duniawi, tapi mereka pun tak digambarkan
serba sempurna selaiknya karakter dalam film religi Indonesia pada umumnya.
Maryam menyimpan sebersit keinginan untuk bebas dari aturan-aturan keagamaan karena
dorongan hawa nafsunya, sementara Yosef pun tak bisa menekan hasratnya untuk
mencintai. Alhasil, kedua karakter utama ini sempat mengalami krisis keimanan
saat mereka menyadari benih-benih cinta mulai timbul meski saya sendiri memiliki
perspektif lain mengenai hubungan dua manusia ini. Benarkah gejolak yang muncul
dari dua belah pihak bisa disebut cinta? Atau jangan-jangan gejolak itu muncul
dari dorongan seksual belaka? Saya sebetulnya berharap si pembuat film akan
mengulik lebih dalam pergulatan batin yang timbul akibat hubungan terlarang
ini, terlebih lagi Maryam pun sempat diperlihatkan tengah asyik membaca novel
erotis. Entah karena keterbatasan durasi atau kekhawatiran akan memicu
gelombang protes, Ave Maryam membiarkan
persoalan tersebut hanya mengapung di permukaan saja. Persis seperti karakter
Maryam yang kurang mendapat penjabaran memadai terkait latar belakang (saya
curiga, ini ada kaitannya dengan menghindari kontroversi karena sinopsis resmi menyebut
Maryam sebagai perempuan dari keluarga Muslim). Ave Maryam jelas beruntung memiliki pelakon-pelakon kompeten
seperti Maudy Koesnaedi, Chicco Jerikho, serta Tutie Kirana yang mampu
meniupkan nyawa lebih terhadap karakter yang mereka mainkan. Walau saya terkadang
tak bisa benar-benar yakin dengan motivasi Maryam, sorot mata Maudy yang
berbicara mampu membuat saya akhirnya sedikit banyak dapat memahami
pertentangan-pertentangan batin yang dialaminya.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Nyesel ga nntn ini as di JIFFEST, krn di bioskop komersial adegan di pantai kena sensor (yaiyalah), padahal kan kunci puncak gejolaknya tuh di situ menurutku.
ReplyDeleteDilematis sih yaa. Adegan ini nggak bisa dipotong karena punya impak besar ke narasi. Tapi jika nggak dipotong, bakal memicu kontroversi lebih besar. Itulah mengapa tadinya aku nggak yakin film ini bakal tayang di bioskop.
DeleteEmang scene-nya ngapain sih yg dipantai? Penasaran beneran inii ^^
ReplyDeleteAdegan bermesraan dan keduanya telanjang bulat. Jadi ya sensor pun berbicara.
Deletemenurut saya, ave maryam ini slaah satu film terbaik karya sineas indonesia, yang bahkan jarang banget diangkat di layar lebar
ReplyDelete