
Sepertinya sulit bagi film lokal bergenre non komedi seks dan horror menggelikan untuk bisa meraup banyak penonton selama peredarannya di bioskop. Saat saya menonton film ini, tercatat hanya ada 6 orang (termasuk saya dan teman) yang memenuhi gedung bioskop berkapasitas 150 kursi tersebut. Di teater sebelah yang memutar Dendam Pocong Mupeng malah dipenuhi penonton meski versi home video sudah dirilis. Ironis, bukan ? Menonton film dengan ditemani segelintir orang memang cukup menyenangkan karena bebas gangguan, tapi di sisi lain saya juga merinding lantaran dalam satu scene diceritakan arwah Helena mengikuti suaminya yang sedang kencan di bioskop (hiiiiii....) Oke, sudah cukup curhatnya. Mari kita bahas saja filmnya.
Sehidup (tak) Semati sejatinya menawarkan ide yang fresh bagi perfilman Indonesia yang tengah digempur oleh banyaknya komedi seks dan horror yang tidak masuk akal meski sudah tidak lagi menjanjikan banyak penonton. Niat duo Hilman Mutasi dan Lanri Jaya untuk menghadirkan kisah yang berbeda dalam skenario buatan mereka patut diapresiasi lebih meski pada kenyataannya hasil akhir tidak seperti yang diharapkan. Iqbal Rais yang naik daun berkat The Tarix Jabrix kurang berhasil mengejewantahkan tulisan duo penulis skenario ke dalam bentuk film. Padahal dari segi ide cerita, Sehidup (tak) Semati cukup menarik. Entah apa yang salah, namun film ini tak ubahnya FTV yang biasa kita saksikan tiap hari lewat layar kaca. Memang sih ada beberapa scene yang mengingatkan kita kepada film romantic comedy buatan Hollywood, namun itu saja tidak cukup untuk mengantarkan film ini ke jajaran film terpuji. Saya merasa dialog yang ada dalam film ini terlalu cheesy, mengingatkan kepada dialog yang sering dilontarkan dalam FTV. Kehadiran duo pelawak Faqih - Rina yang diharapkan bisa membawa nuansa konyol justru menodai film ini. Humornya sangat garing dan sering kita temui dalam sinetron, lawakan antara supir dan pembantu rumah tangga. Sungguh menyebalkan! Justru H. Bolot tampil lumayan lucu di film ini meski perannya tak jauh berbeda dengan peran - peran dia sebelumnya.
Fanny Fabriana yang tampil manis di Hari Untuk Amanda sekali lagi membuktikan kepiawaian aktingnya di film bergenre romcom. Memang aktingnya kali ini tak sebagus saat dia menjadi Amanda, tapi masih lebih bagus ketimbang akting Dewi Perssik, Cynthiara Alonara dan Rahma Azhari disatukan. Pemilihan peran yang tepat bisa membuat Fanny menjadi artis besar nantinya. Chemistry dia dengan Winky juga cukup berhasil meski (lagi - lagi) tidak senendang saat dia dipasangkan dengan Oka Antara di Hari Untuk Amanda. Ah, Fanny membuat saya terus membandingkan film ini dengan Hari Untuk Amanda. Winky Wiryawan bermain bagus sebagai Titan, begitu pula Joanna yang membawakan peran Olin dengan pas. Justru dandanan Olin yang terkesan dipaksakan. Scene stealer kali ini saya serahkan kepada Astri Nurdin yang membawakan peran Irene dengan manis dan kalem. Bisa jadi dia adalah salah satu alasan utama mengapa saya bisa terus melek hingga akhir film, hehe..
Usaha duo penulis skenario dan Iqbal Rais untuk memberi sajian yang berbeda ke penonton Indonesia memang patut diacungi dua jempol. Sehidup (tak) Semati bebas dari adegan seks maupun terror hantu dengan make-up yang berlebihan. Sayangnya, film ini berusaha terlalu keras untuk menjadi tayangan romcom yang berkualitas sehingga hasil akhir yang didapat kurang memuaskan. Film ini memang bertutur dengan cukup manis di beberapa bagian, namun unsur komedinya yang kelewat banyak justru merusak esensi cerita romantisnya. Seandainya saja duo pelawak dan humor dituturkan dengan lebih lembut, bukan tidak mungkin Sehidup (tak) Semati menjadi film romcom yang manis.
nilai = 4/10
J'ai lu cet article sur la différence entre les technologies les plus récentes et les plus anciennes, c'est un article remarquable.
ReplyDelete