Perkenankanlah saya untuk sedikit curhat mengenai pengalaman saya nonton Rumah Tanpa Jendela beberapa hari yang lalu. Sebenarnya saya sendiri sudah capek dan bosan membahas ini, masalah klasik yang terus menghinggapi perfilman lokal hingga detik ini. Saat menonton Rumah Tanpa Jendela, hanya ada sekitar 11 orang saja di dalam bioskop sampai - sampai saya mendengar celetukan dari seorang pegawai bioskop, ''filmnya ga laku, tak ada nonton.'' Kejadian yang sama juga saya alami tatkala menyaksikan film yang saya puja puji tahun lalu, Minggu Pagi di Victoria Park, dimana saat itu hanya ditonton 7 orang termasuk saya. Bahkan saya tak sempat mencicipi Hari Untuk Amanda di bioskop karena hanya bertahan tak kurang dari 5 hari saja di bioskop. Lantas, apa persamaan Rumah Tanpa Jendela dengan kedua film bernasib naas tersebut ? Ketiganya film bagus yang digarap dengan serius. Hampir saja saya enggan membuat review film Indonesia dan promosi mulut ke mulut lagi karena toh pada akhirnya tak didengar, hasilnya pun tak berbeda jauh. Film berkualitas menguap begitu saja, film buruk tetap diantri penonton. Apakah perlu para filmmaker berkualitas ini meniru langkah orang - orang tak bertanggung jawab tersebut dengan membuat sensasi murahan dan adegan buka - bukaan agar filmnya lebih laku ? Jujur saja, saya sudah lelah.
Rumah Tanpa Jendela memberi angin segar kepada pecinta film berkualitas di saat perfilman lokal terus diterjang dengan film asal bikin yang tak bertanggung jawab. Karena untuk konsumsi keluarga, film yang berangkat dari cerpen karangan Asma Nadia ini berutur sederhana dan tak ribet. Bagi kebanyakan orang, jendela adalah suatu barang yang biasa saja dan malah terkadang tak dianggap meski manfaatnya tergolong luar biasa. Coba bayangkan rumah kalian jika tak memiliki jendela, apa yang kalian rasakan ? Memiliki jendela adalah cita - cita Rara (Dwi Tasya), seorang gadis miskin yang hidup di perkampungan kumuh para pemulung. Terkesan sederhana, namun untuk bisa memperoleh kusen jendela, sang ayah (Raffi Ahmad) harus banting tulang dan belum lagi Rara menghadapi cemoohan teman - temannya. Seperti halnya formula film anak - anak kebanyakan, dihadirkan pula sosok sahabat bagi Rara yang datang dari dunia berbeda. Aldo (Emir Mahira), lebih beruntung secara finansial dibanding Rara. Hidupnya serba berkecukupan dan jendela menghiasi setiap sudut rumahnya. Namun dia memiliki keterbelakangan mental dan kakaknya malu dengan kondisi adiknya ini. Sebuah kecelakaan mempertemukan Aldo dengan Rara dan sejak itu persahabatan keduanya mulai terjalin. Berasal dari dunia yang bertolak belakang dengan segala macam perbedaan yang ada membuat persahabatan keduanya mendapat banyak ujian. Impian Rara untuk memiliki jendela semakin menjauh, sementara Aldo menyadari bahwa selain sang nenek (Ati Kanser) tak ada yang benar - benar menerimanya di rumah.
Yang membuat saya berdecak kagum dengan Rumah Tanpa Jendela adalah akting Emir Mahira yang sangat gemilang dan mengalami kemajuan pesat pasca Garuda di Dadaku. Secara konstan menjaga gestures dan aksen sebagai penderita down syndrome membuat kehadiran para pemain lain seakan tak ada artinya. Dwi Tasya yang bermain bagus sebagai Rara tenggelam saat harus berhadapan dengan Emir dalam satu layar, begitu pula dengan para pemain senior macam Ati Kanser dan Inggrid Widjanarko. Mungkin agak terlalu dini, tapi rasanya keterlaluan jika nantinya juri FFI sama sekali tidak melirik akting Emir Mahira disini. Lantas bagaimana dengan akting pasangan paling heboh saat ini, Raffi Ahmad dan Yuni Shara ? Jangan khawatir, mereka juga (untungnya) bermain apik. Meski Raffi Ahmad terkesan agak dipaksakan untuk berperan sebagai single parent dengan jenggotnya yang menggelikan itu, namun Yuni Shara tampil memesona walau tak lebih dari 5 menit tampil. Untuk barisan pemain memang memuaskan, tak ada yang tampil di bawah rata - rata, semuanya bermain bagus. Hanya saja ketotalan akting Emir Mahira dalam membawakan perannya berimbas pada pemain lain yang terasa menjadi tempelan belaka.
Secara naskah sudah kuat, komposisi antara drama dan komedinya pas. Jika ada yang mengganggu mungkin adegan penuh air mata yang diumbar terlalu berlebihan macam sinetron plus dengan tokoh - tokoh jahatnya. Sekali dua kali berhasil memancing emosi, namun setelah terus menerus diulang malah justru membuat sebal. Pesan yang hendak disampaikan justru terasa kabur. Namun yang paling mengusik saya adalah, dengan kisah sedramatis ini apa mungkin akan disukai oleh penonton cilik ? Pada kenyataannya, penonton cilik lebih menyukai tontonan yang ringan dan menghibur. Banyaknya porsi drama penguras air mata akan membuat jenuh mereka meski mungkin bakal disuka penonton dewasa. Walau begitu, saya sempat menitikkan air mata lho di salah satu adegan klimaks Rumah Tanpa Jendela. Selamat, bung Aditya Gumay, Anda sekali lagi berhasil membuat saya mengeluarkan tissue dari kantong celana. Jika mencari titik kelemahan dari Rumah Tanpa Jendela, maka sound mixing adalah yang paling kentara. Permasalahan klasik di film lokal sih sebenarnya, tapi mengingat Rumah Tanpa Jendela mengusung genre musikal, hal ini menjadi sangat mengganggu karena tak hanya melibatkan dialog, tetapi juga musik. Entah berapa kali gerakan bibir pemain tidak pas dengan dialog atau lagu yang dinyanyikan.
Mengesampingkan kelemahan yang menurut saya cukup fatal ini (karena mengganggu kenikmatan penonton), Rumah Tanpa Jendela layak mendapatkan apresiasi lebih. Akting yang gemilang dipadu dengan naskah yang memikat, soundtrack yang enak didengar, sinematografi yang indah dan penyutradaraan yang tepat adalah alasan kenapa Rumah Tanpa Jendela harus masuk ke dalam list film wajib tonton kalian. Jangan sia - siakan uang kalian demi menyaksikan film perusak moral tak bertanggung jawab, bukankah lebih baik dipakai untuk menonton Rumah Tanpa Jendela yang kabarnya uang hasil pendapatan akan disumbangkan untuk gerakan sosial ini ? Mari ajak orang tua, sahabat, keponakan, adik, kekasih atau bahkan tetangga untuk menyaksikan salah satu film hasil buatan anak bangsa yang berkualitas ini. Rumah Tanpa Jendela memang tak sebaik Petualangan Sherina, tapi tetap saja sangat sayang untuk dilewatkan.
Acceptable
Rumah Tanpa Jendela memberi angin segar kepada pecinta film berkualitas di saat perfilman lokal terus diterjang dengan film asal bikin yang tak bertanggung jawab. Karena untuk konsumsi keluarga, film yang berangkat dari cerpen karangan Asma Nadia ini berutur sederhana dan tak ribet. Bagi kebanyakan orang, jendela adalah suatu barang yang biasa saja dan malah terkadang tak dianggap meski manfaatnya tergolong luar biasa. Coba bayangkan rumah kalian jika tak memiliki jendela, apa yang kalian rasakan ? Memiliki jendela adalah cita - cita Rara (Dwi Tasya), seorang gadis miskin yang hidup di perkampungan kumuh para pemulung. Terkesan sederhana, namun untuk bisa memperoleh kusen jendela, sang ayah (Raffi Ahmad) harus banting tulang dan belum lagi Rara menghadapi cemoohan teman - temannya. Seperti halnya formula film anak - anak kebanyakan, dihadirkan pula sosok sahabat bagi Rara yang datang dari dunia berbeda. Aldo (Emir Mahira), lebih beruntung secara finansial dibanding Rara. Hidupnya serba berkecukupan dan jendela menghiasi setiap sudut rumahnya. Namun dia memiliki keterbelakangan mental dan kakaknya malu dengan kondisi adiknya ini. Sebuah kecelakaan mempertemukan Aldo dengan Rara dan sejak itu persahabatan keduanya mulai terjalin. Berasal dari dunia yang bertolak belakang dengan segala macam perbedaan yang ada membuat persahabatan keduanya mendapat banyak ujian. Impian Rara untuk memiliki jendela semakin menjauh, sementara Aldo menyadari bahwa selain sang nenek (Ati Kanser) tak ada yang benar - benar menerimanya di rumah.
Yang membuat saya berdecak kagum dengan Rumah Tanpa Jendela adalah akting Emir Mahira yang sangat gemilang dan mengalami kemajuan pesat pasca Garuda di Dadaku. Secara konstan menjaga gestures dan aksen sebagai penderita down syndrome membuat kehadiran para pemain lain seakan tak ada artinya. Dwi Tasya yang bermain bagus sebagai Rara tenggelam saat harus berhadapan dengan Emir dalam satu layar, begitu pula dengan para pemain senior macam Ati Kanser dan Inggrid Widjanarko. Mungkin agak terlalu dini, tapi rasanya keterlaluan jika nantinya juri FFI sama sekali tidak melirik akting Emir Mahira disini. Lantas bagaimana dengan akting pasangan paling heboh saat ini, Raffi Ahmad dan Yuni Shara ? Jangan khawatir, mereka juga (untungnya) bermain apik. Meski Raffi Ahmad terkesan agak dipaksakan untuk berperan sebagai single parent dengan jenggotnya yang menggelikan itu, namun Yuni Shara tampil memesona walau tak lebih dari 5 menit tampil. Untuk barisan pemain memang memuaskan, tak ada yang tampil di bawah rata - rata, semuanya bermain bagus. Hanya saja ketotalan akting Emir Mahira dalam membawakan perannya berimbas pada pemain lain yang terasa menjadi tempelan belaka.
Secara naskah sudah kuat, komposisi antara drama dan komedinya pas. Jika ada yang mengganggu mungkin adegan penuh air mata yang diumbar terlalu berlebihan macam sinetron plus dengan tokoh - tokoh jahatnya. Sekali dua kali berhasil memancing emosi, namun setelah terus menerus diulang malah justru membuat sebal. Pesan yang hendak disampaikan justru terasa kabur. Namun yang paling mengusik saya adalah, dengan kisah sedramatis ini apa mungkin akan disukai oleh penonton cilik ? Pada kenyataannya, penonton cilik lebih menyukai tontonan yang ringan dan menghibur. Banyaknya porsi drama penguras air mata akan membuat jenuh mereka meski mungkin bakal disuka penonton dewasa. Walau begitu, saya sempat menitikkan air mata lho di salah satu adegan klimaks Rumah Tanpa Jendela. Selamat, bung Aditya Gumay, Anda sekali lagi berhasil membuat saya mengeluarkan tissue dari kantong celana. Jika mencari titik kelemahan dari Rumah Tanpa Jendela, maka sound mixing adalah yang paling kentara. Permasalahan klasik di film lokal sih sebenarnya, tapi mengingat Rumah Tanpa Jendela mengusung genre musikal, hal ini menjadi sangat mengganggu karena tak hanya melibatkan dialog, tetapi juga musik. Entah berapa kali gerakan bibir pemain tidak pas dengan dialog atau lagu yang dinyanyikan.
Mengesampingkan kelemahan yang menurut saya cukup fatal ini (karena mengganggu kenikmatan penonton), Rumah Tanpa Jendela layak mendapatkan apresiasi lebih. Akting yang gemilang dipadu dengan naskah yang memikat, soundtrack yang enak didengar, sinematografi yang indah dan penyutradaraan yang tepat adalah alasan kenapa Rumah Tanpa Jendela harus masuk ke dalam list film wajib tonton kalian. Jangan sia - siakan uang kalian demi menyaksikan film perusak moral tak bertanggung jawab, bukankah lebih baik dipakai untuk menonton Rumah Tanpa Jendela yang kabarnya uang hasil pendapatan akan disumbangkan untuk gerakan sosial ini ? Mari ajak orang tua, sahabat, keponakan, adik, kekasih atau bahkan tetangga untuk menyaksikan salah satu film hasil buatan anak bangsa yang berkualitas ini. Rumah Tanpa Jendela memang tak sebaik Petualangan Sherina, tapi tetap saja sangat sayang untuk dilewatkan.
Acceptable
Baru minggu kemarin abis nonton film ini. Awal sampe pertengahan filmnya emang rada ngebosenin, tapi makin ke belakang konfliknya makin banyak & menarik. Terutama abis Aldo ma temen-temennya itu tampil sehingga kakanya yg ultah itu malu. Bagus lah ini film, terlebih lagi untuk anak-anak secara ini film gak menampilkan sosok baik-jahat seperti kebanyakan film & juga mengajak orang untuk menerima orang lain apa adanya
ReplyDeleteMa sekalian bagi2 pengalaman aja. Pas gw nonton kemarin, yg nonton gak sampe separuh kapasitas bioskop. Malah di baris tempat gw nonton itu yg bangkunya keisi cuma 3 orang (termasuk gw). Dan sebenarnya gw nonton Rumah Tanpa Jendela itu buru2 nyempetin waktu bwt nonton, soalnya pas gw ngecek jadwalnya di situs 21, jadwal yg bwt sore hari dah diembat bwt nayangin Pocong Ngesot. Heran gw, film2 horor monoton kayak gitu hampir selalu dikasih prioritas & anehnya, peminatnya tetep aja banyak
thanks reviewnya...cerita "Rumah Tanpa Jendela" sangat mengharukan.
ReplyDelete