
Dalam ? (Tanda Tanya), Hanung Bramantyo beserta Titien Wattimena, tidak hanya menampilkan satu plot, tetapi ada multi plot dengan kisah yang berbeda namun memiliki keterkaitan satu sama lain. Kita akan diperkenalkan kepada tiga keluarga yang masing - masing memiliki problematika hidup yang rumit dan berkaitan dengan agama. Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) adalah pemeluk Konghucu yang memiliki sebuah restoran Cina dengan para pegawainya yang mayoritas Muslim. Koh Tan dikenal sebagai pribadi yang menjunjung tinggi pluralisme dan sangat menghormati agama lain walaupun perlakuan tak menyenangkan kerap diterimanya. Bahkan Koh Tan memiliki standar yang berbeda dalam memasak babi, dia sangat mewanti - wanti agar jangan sampai masakan berbahan babi bercampur dengan lainnya. Apa yang dilakukan oleh Koh Tan ini sayangnya tak menurun pada putranya, Hendra (Rio Dewanto), yang jelas - jelas menunjukkan kebenciannya kepada warga Muslim. Agaknya ini ada hubungannya dengan Menuk (Revalina S. Temat), pegawai Koh Tan yang paling setia. Menuk sendiri memiliki masalah dengan keluarganya lantaran sang suami yang berego tinggi, Soleh (Reza Rahadian), tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Soleh yang temperamen ini kerap mengalami konflik dengan Hendra dan memandang sinis agama lain. Saat Soleh diterima menjadi anggota Banser, Menuk mulai mengalami pergolakan batin.



Beruntunglah Revalina S. Temat dan Reza Rahadian tahu apa yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo karena bagian Menuk & Soleh sama sekali tidak menarik. Konfliknya terlalu biasa dan umum, hampir tak ada greget. Seandainya mereka berdua salah mempersepsikan keinginan Hanung, maka film akan berjalan timpang. Apa yang dimunculkan dalam segmen Tan Kat Sun & Hendra masih lebih enak untuk dinikmati. Sungguh disayangkan Rio Dewanto kurang maksimal, padahal konflik yang dihadirkan lumayan memikat. Pertemuan dua kisah ini dihadirkan dengan cukup menggugah dan mau tak mau mengingatkan kita pada Sang Pencerah. Rumah makan Koh Tan diserbu massa lantaran Hendra keukeuh untuk membuka rumah makan saat Idul Fitri tiba. Sekali lagi pengrusakan ini mengatasnamakan agama. Dari puing - puing rumah makan yang berserakan, Hendra menemukan sebuah buku berisi Asmaul Husna. Dari sinilah dia mulai sadar. Alur pun mulai berjalan normal kembali hingga akhirnya memuncak saat sebuah gereja diteror bom di malam natal. Segalanya baik - baik saja sampai disini, tapi kemudian Hanung mencederai filmnya sendiri dengan memberi close ending yang terkesan dipaksakan. Haruskah seperti itu ?
Setelah berjalan 100 menit dengan cukup mulus, ? (Tanda Tanya) malah diakhiri dengan paksa. Open ending rasanya malah lebih cocok untuk film seperti ini. Pada akhirnya setelah menonton ? (Tanda Tanya) kita akan dipaksa untuk bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita sudah menjalankan perintah agama dengan benar ? Percuma jika kita rajin beribadah dan hafal isi kitab suci jika kemudian menyerang pemeluk agama lain karena menganggap mereka sesat. Apa kita sudah lebih baik dari mereka ? Hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Serahkan semuanya kepada Tuhan. Doakan mereka. Hanung mencoba memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan itu adalah sesuatu yang indah, bahwa tak seharusnya sebagai sesama makhluk Tuhan saling membenci dan menyakiti hanya karena berbeda. Demi mencapai tujuannya, Hanung agak sedikit ekstrem menjelaskannya dalam bahasa gambar. Dari sinilah kita juga seharusnya tahu, menonton film itu tidak gampang. Butuh pemikiran yang terbuka dan pemahaman. Jika mengutip apa yang dikatakan oleh Romo, iman seseorang tidak akan hancur karena sebuah film, tetapi karena kebodohan.
Acceptable
Trailer :
wah sayang yah. padahal dari konsep ceritanya sudah menjanjikan. mungkin Hanung ingin bermain aman dengan tidak membuat open ending?
ReplyDeletesalam dari tiketbioskop.blogspot.com :D
Iya sungguh disayangkan. Bahkan endingnya pun terasa aneh dan dipaksakan. Tapi ending ini memunculkan diskusi, bisakah itu disebut sebagai jihad?
ReplyDelete