July 3, 2011

REVIEW : THE VIRGIN SUICIDES



Beautiful, mysterious, haunting, invariably fatal. Just like life.

Jangan tertipu dengan posternya yang terlihat manis dan agak-agak menggoda gimana gitu. Ini bukan sebuah film romansa remaja yang akan membuat Anda leleh atau berteriak "so sweet!". Percayalah, ini bukan film semacam itu meskipun di dalamnya ada Kirsten Dunst, A.J. Cook dan Josh Hartnett versi muda yang mungkin bisa membuat Anda tak berkedip. Cermati judul dan tagline-nya, maka Anda akan mengetahui akan dibawa kemana film ini. The Virgin Suicides adalah sebuah debut dari sutradara penghasil Lost in Translation, Sofia Coppola, yang mengagumkan. Naskah mengadaptasi dari novel menghebohkan berjudul sama karangan Jeffrey Eugenides yang uniknya merupakan novel pertama dari Eugenides. Sebuah kebetulan? Apa yang diangkat dalam The Virgin Suicides bukanlah sesuatu yang ringan dan menyenangkan untuk disantap. Coppola menyajikannya dengan cara yang aneh, lucu dan menyeramkan. Membuat saya terkadang berpikir, ini film tentang apa?

The Virgin Suicides menyoal tentang kehidupan para remaja akil baligh yang disampaikan dengan cara yang tidak biasa. Saya sebut tidak biasa karena masa-masa paling bahagia dalam hidup seseorang ini disandingkan dengan kematian. Keceriaan dipadukan dengan kesuraman. Namun apakah ada keceriaan disini? Saya tidak yakin. Para gadis Lisbon yang cantik dan penuh gairah ini memang terlihat bahagia dan menikmati hidup, tapi apa Anda yakin jika mereka benar-benar bahagia? Jika mereka bahagia, lantas kenapa si bungsu, Cecilia (Hanna R. Hall), mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis? Agaknya Cecilia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kedua orang tuanya, Ronald (James Woods) dan Sara (Kathleen Turner), yang terlalu mengekang. Sebagai seorang remaja, Cecilia butuh untuk berkumpul bersama teman-temannya, jalan-jalan ke mall, cafe dan menggoda para cowok. Sayangnya itu hanya bisa dilakukan dalam mimpi. Ronald dan Sara 'memenjara' Cecilia bersama keempat saudarinya di dalam rumah. TV, majalah dan brosur adalah hiburan bagi mereka. Seandainya pada tahun 1970-an internet telah menjamur, saya pun tidak yakin mereka diizinkan untuk mengaksesnya.

Kisah kehidupan para gadis Lisbon ini diceritakan oleh seorang narator yang tidak kita ketahui identitasnya. Mungkin saja dia adalah salah satu dari empat cowok tetangga keluarga Lisbon yang terobsesi dengan para gadis Lisbon, atau salah satu dari empat cowok yang mengajak para gadis Lisbon ke pesta dansa, atau dia bukan siapapun. Lagipula tidak penting siapa dia. Kita saja bahkan tidak mengetahui kenapa Lux (Kirsten Dunst) yang terlihat sangat menikmati hidup memutuskan bunuh diri, lantas mengapa identitas si narator menjadi penting? Misteri dalam The Virgin Suicides dibiarkan tetap menjadi misteri. Penonton mungkin akan kecewa dengan cara Coppola dan Eugenides mengakhiri kisah, tapi apa alasan para gadis Lisbon mendadak memutuskan bunuh diri penting untuk dijabarkan? Saya justru malah penasaran dengan alasan Trip Fontaine (Josh Hartnett) meninggalkan Lux begitu saja setelah mereka berhubungan seks. Sebuah pengakuan membuka segalanya. Tidak dijabarkan secara eksplisit, dialog ini membutuhkan perenungan untuk memahami apa yang dimaksud oleh Trip.

Tidak mudah untuk mencerna apa yang diinginkan oleh Coppola dan Eugenides. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, saya terkadang tidak yakin dengan maksud film ini. The Virgin Suicides kadang menjelma menjadi film horror yang aneh, kadang berubah menjadi film komedi yang absurd. Akan tetapi, itulah yang menjadikan The Virgin Suicides menarik. Apalagi ini adalah karya dari sutradara debutan. Lagu-lagu yahud pilihan Coppola yang terasa nyambung dengan setiap adegannya membuat film ini indah. Walaupun tak secerdas Lost in Translation, The Virgin Suicides tetap menyuguhkan sebuah tontonan yang berbobot. Kesalahan Ronald dan Sara bisa menjadi pelajaran penting bagi para orang tua. Terlalu mengekang sama berbahayanya dengan terlalu memberi kebebasan. Harus berimbang. Sebagai orang tua, Ronald dan Sara sebenarnya telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Hanya saja mereka tidak pernah berusaha memahami anak-anaknya, malah justru sok paham. Coppola dan Eugenides mencoba untuk mengingatkan, apapun yang berlebihan tidak akan pernah membawa dampak yang positif. Sekalipun itu dimanfaatkan untuk sesuatu yang positif.

Exceeds Expectations

Trailer :

4 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch