November 1, 2011

REVIEW : REAL STEEL


Di tahun 2011 ini, perfilman Hollywood memberikan cukup banyak kejutan manis kepada para pecinta film. Sekalipun teknologi, khususnya pemanfaatan kamera 3D, semakin berkuasa, beberapa produser tampaknya mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan jika selamanya bergantung pada teknologi. Beberapa film yang dirilis tahun ini, secara mengejutkan hadir dengan kualitas yang apik. Bahkan banyak diantaranya justru berasal dari film yang sama sekali tidak disangka-sangka. Dari paruh pertama tahun 2011, tersebutlah judul-judul seperti Unknown, Insidious, Source Code, Fast Five hingga Thor, yang sukses mengeruk pundi-pundi dollar serta mencuri hati penonton. Memasuki musim panas, kejutan lain datang. Disamping special effect yang jor-joran dengan bujet raksasa yang digelontorkan oleh produser, dramalurgi mulai diperhatikan. Setelah hingar bingar summer movies berakhir, bukan berarti tidak ada lagi film yang menarik untuk ditonton. Ini saatnya untuk berburu kenikmatan tak terduga lainnya. Dan, saya kembali mendapatkannya melalui sebuah film yang trailer-nya saya cibir, Real Steel. Film yang terinspirasi dari cerpen karangan Richard Matheson bertajuk Steel ini, diarahkan oleh sutradara tak meyakinkan, Shawn Levy, dan didukung oleh Hugh Jackman, Evangeline Lily, Dakota Goyo, dan Kevin Durand. Sebagai komoditas utama di Real Steel adalah para robot petinju. Nampaknya kesuksesan luar biasa dari trilogi Transformers telah membuat robot dianggap sebagai ladang yang menguntungkan di Hollywood.

Di tahun 2020, olahraga tinju telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Tidak ada lagi manusia yang bertarung di atas ring tinju demi memperebutkan gelar sebagai World Boxing Champions. Sebagai gantinya, para robot yang berlaga. Perubahan ini tentu bukannya tanpa alasan. Dengan digantikannya manusia oleh robot, maka pertandingan tinju yang berlangsung akan semakin seru, brutal dan gila-gilaan. Charlie Kenton (Hugh Jackman), mantan petinju hebat di zamannya, beralih profesi menjadi ‘pelatih tinju’ para robot. Dengan modal pas-pasan serta menumpuknya hutang, Charlie berpindah dari satu arena ke arena yang lain bersama robot andalannya, Ambush, untuk menyambung hidup. Ketika Ambush akhirnya hancur, Charlie menghabiskan seluruh tabungannya demi robot lain, Noisy Boy. Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan Noisy Boy, Charlie mendapatkan sebuah warisan dari mantan kekasihnya telah meninggal, seorang bocah berusia 11 tahun bernama Max (Dakota Goyo). Karena merasa tak mampu mengurusnya, Charlie melakukan perjanjian dengan paman dari Max. Selama musim panas, Charlie akan mengurus Max bersama dengan sahabatnya, Bailley (Evangeline Lily). Bisa diduga, hubungan ayah dan anak yang terpisah selama 10 tahun ini tidak berjalan mulus. Ketika Noisy Boy ‘tewas’ secara mengenaskan, Charlie dihadapkan pada pilihan yang sulit. Max menemukan sebuah robot rongsokan bernama Atom yang memiliki kemampuan istimewa. Max melihat potensi Atom sebagai robot petinju yang hebat, akan tetapi dalam pandangan Charlie, Atom tidak lebih dari robot rongsokan.

Sangat mengejutkan ketika saya mengetahui fakta bahwa pembesut film aksi yang emosional ini adalah Shawn Levy, sutradara spesialis film ringan yang telah menghasilkan dwilogi Night at the Museum, Date Night, Cheaper by the Dozen, dan The Pink Panther. Tentu bukan hal yang aneh jika banyak calon penonton yang pesimis dengan Real Steel jika mengintip jejak rekam dari Levy yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam mengarahkan film bergenre aksi fiksi ilmiah. Namun Levy berhasil membuktikan kepada mereka yang skeptis terhadap film arahannya bahwa dia bukanlah sutradara kacangan. Setelah melewati fase sebagai sutradara yang biasa-biasa saja, Levy akhirnya menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya melalui Real Steel yang tak pelak lagi merupakan film terbaik yang pernah dia buat. Real Steel didukung dengan naskah berisi hasil racikan secara keroyokan dari John Gatins, Dan Gilroy, dan Jeremy Leven. Dengan durasi yang terbentang panjang hingga melebihi dua jam, Real Steel tidak hanya menyoroti kebuasan para robot dalam menghabisi lawannya di atas ring tinju. Sisi emosionil dari hubungan personal antar karakter terasa perlu untuk ditonjolkan. Ikatan yang terjalin diantara Charlie dan Max serta Max dan Atom terasa kuat, nyata, indah dan mengharukan. Dipadukan dengan sajian aksi yang menakjubkan, Real Steel telah membuat sang sesepuh, Transformers: Dark of the Moon, terlihat seperti kaleng kosong bekas.

Untuk sekali ini, Hugh Jackman terlihat sangat pas dengan karakter yang dimainkannya. Pesonanya berhasil terpancarkan. Di awal film, saya dibuat kesal dengan tingkah lakunya yang cenderung semau gue dan pengecut, namun ketika menjelang akhir, saat Max dipaksa untuk berpisah dari Charlie, saya berempati kepadanya. Chemistry antara Hugh Jackman dan Dakota Goyo memang sangat meyakinkan, sampai-sampai saya menitikkan air mata di penghujung film. Usaha keras Shawn Levy dan timnya untuk menghasilkan sebuah film fiksi ilmiah berbobot patut mendapat acungan dua jempol. Real Steel dengan sukses turut membawa para penontonnya untuk terlibat secara emosional. Adegan di ring tinju membuat saya dan puluhan penonton yang lain bertepuk tangan setelah menyaksikan pertandingan yang menegangkan. Tidak sedikit pula yang matanya terlihat basah saat meninggalkan gedung bioskop. Segala kekhawatiran yang tercipta saat menyaksikan trailer-nya yang tidak meyakinkan ternyata sama sekali tidak terwujud. Real Steel hadir sebagai sebuah film yang tidak hanya sangat seru tetapi juga mampu mengaduk-aduk perasaan serta memberikan pelajaran yang berharga tentang kehidupan tanpa terkesan menggurui.

Exceeds Expectations

1 comment:

  1. setuju banget!! dakota goyo keren+lucu!! hehe.. awalny juga gak nganggep ini film. soalnya transformer yg kemaren sampah abis.. haha.. tapi trnyata keren jugak. yg gak banget cuma si villain-nya itu yg sok2 cewek latin seksi ama yakuza jepang berdarah dingin.. duh typical bgt.. hehe..

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch