"Fee... Fi... Fo... Fum!"
Sepertinya, Hollywood tengah keranjingan menginterpretasi ulang dongeng-dongeng klasik yang telah mendunia untuk konsumsi layar lebar. Yah... setidaknya dalam beberapa tahun terakhir kita melihat tokoh-tokoh yang telah dikenal sejak masa kanak-kanak macam Alice (dari Wonderland), putri salju, gadis berkerudung merah, hingga Hansel dan Gretel terpampang di etalase bioskop. Demi menggaet segmen pasar yang lebih luas, maka pihak produsen pun dengan ‘seenak udelnya’ mengubah alur termasuk dengan menjadikannya eksentrik, lebih penuh liku, atau justru membawanya ke arah yang lebih ekstrim, penuh darah. Ini telah dilakukan oleh film adaptasi dongeng terdahulu dan Jack and the Giant Slayer pun siap untuk mengikuti jejak film-film tersebut. Dengan dasar dongeng klasik “Jack and the Beanstalk” dan “Jack and the Giant Killer”, film yang digarap oleh Bryan Singer ini mendapat rating PG-13 (13 tahun ke atas) yang tentunya membuat penonton untuk tak terlalu berharap banyak akan mendapat kesenangan macam Hansel & Gretel: Witch Hunters meski suntikan bujetnya yang raksasa mengindikasikan kehadiran adegan aksi yang mewah serta jor-joran. Akan tetapi, bisakah kita mengharapkan lebih terhadap Jack and the Giant Slayer hanya dengan mengandalkan fakta bahwa ini adalah produksi berskala raksasa? Hmmm... setelah saya menyaksikannya sendiri – dalam format 3D, tentu saja – maka saya menyarankan kepada Anda untuk sebaiknya menekan ekspektasi hingga titik terendah.
Mengambil latar pada abad pertengahan, penonton diperkenalkan kepada Jack (Nicholas Hoult – yang baru saja kita temui di Warm Bodies) dan Isabelle (Eleanor Tomlinson) yang akan menjadi ‘pemandu utama’ ketika kita berkelana di negeri para raksasa. Kala masih bocah, baik Jack maupun Isabelle kerap dipendengarkan hikayat mengenai kaum raksasa yang bertempur besar-besaran melawan umat manusia dimana kemenangan berpihak kepada manusia sehingga raksasa pun terpaksa mengungsi ke sebuah tempat yang terletak di atas awan. Setelah sedikit pembahasan soal latar belakang dari dua tokoh utama, latar waktu film pun melompat jauh 10 tahun ke depan. Jack hidup bersama sang paman usai ayahanda tercinta menghadap ke Yang Maha Satu. Demi merenovasi rumah, Jack pergi ke kota untuk menjual kudanya. Seorang biarawan menunjukkan ketertarikan dan menukarnya dengan biji kacang alih-alih mata uang. Katanya sih, biji kacang ini ajaib. Memang benar, biji kacang itu mendadak tumbuh menjadi pohon raksasa usai terkena tetesan air hujan. Tumbuh meninggi hingga menembus awan, pohon memporakporandakan rumah Jack sekaligus ‘menculik’ Isabelle yang kebetulan ‘mampir’. Dengan Isabelle – yang merupakan putri semata wayang dari Raja Brahmwell (Ian McShane) – terdampar di negeri para raksasa, maka tentu Anda sudah bisa menebak film akan bergerak kemana.
Jack and the Giant Slayer adalah salah satu bukti betapa Hollywood sudah terlalu malas untuk mengeksplorasi ide-ide segar dan memilih untuk bergantung kepada teknologi demi menyukseskan film. Para petinggi seolah berkata, “jika kita bisa mengais Dollar hanya dengan mengumbar efek khusus, lantas mengapa kita kudu berpusing-pusing memikirkan jalan cerita yang baik?.” Tentu, ini bukan keputusan yang tiada resiko. Di samping bujet yang kudu digelontorkan sama tingginya dengan pohon dari biji kacang Jack, dengan absennya skrip yang tergarap baik – yang sekaligus berarti, jangan mengharapkan penokohan yang kuat dari setiap karakter di film – maka film pun akan dengan teramat mudah dilupakan. Naskah yang digarap secara keroyokan oleh Darren Lemke, Christopher McQuarrie, dan Dan Studney benar-benar datar dan ‘blah’. Tidak sedikitpun disediakan kejutan maupun ketegangan yang mampu membuat penonton betah berlama-lama memandangi layar bioskop selama 114 menit. Paruh awal film berjalan sangat membosankan (serta melelahkan). Terlalu berpanjang-panjang dalam menuturkan kisah meski seharusnya bisa disampaikan secara ringkas, padat, dan tentunya, penuh semangat.
Segalanya baru mulai terasa (sedikit) menyenangkan kala Jack dan pasukan yang dikirim dari kerajaan – termasuk Elmont (Ewan McGregor), sang ksatria, dan Roderick (Stanley Tucci), penasihat Raja – mulai memasuki dunia para raksasa. Yah, pada titik ini, penonton pun mulai melihat fisik dari para raksasa yang sama sekali tidak sedap untuk dipandang serta cenderung menjijikkan. Pemanfaatan teknologi motion capture – alih-alih menggunakan CGI konvensional – sanggup menciptakan ekspresi muka serta gerakan raksasa yang meyakinkan. Ini tentu tidak luput dari kinerja Bill Nighy yang sangat apik dalam membawakan peran sebagai pemimpin kawanan raksasa. Malahan, sekalipun fisik aslinya tidak pernah hadir dalam film, Nighy tampil lebih mengesankan ketimbang jajaran pemain lain seperti Hoult dan Tomlinson dengan chemistry yang lempeng, McGregor yang tatanan rambutnya senantiasa rapi meski digempur sana sini, atau Tucci sebagai pihak antagonis dari manusia yang tidak memberikan greget.
Jika ada pujian yang patut disematkan kepada Jack and the Giant Slayer, maka itu adalah penggunaan efek khusus. Setidaknya, para pemerhati film tidak akan bertanya-tanya kemana larinya anggaran sebesar $195 juta yang digelontorkan demi mewujudkan proyek ini. Sejak menit-menit pertama, film sudah terlihat sebagai sebuah produk kolosal dengan taburan efek khusus yang mewah. Sayangnya, ini tidak berarti penonton akan mendapatkan hidangan yang seru dan menegangkan, sama sekali tidak. Adegan laganya sama sekali tidak memberikan kesan. Jika ada yang benar-benar wah dan membuat diri ini cukup terperangah, maka itu adalah pertarungan akhir yang melibatkan manusia dan raksasa. Bryan Singer menyimpan yang terbaik di penghujung kisah. Sayangnya, setelah menit demi menit yang menjemukan dan melelahkan (cenderung ‘snoozfest’), maka gebrakan di akhir ini tidak benar-benar mampu menyelamatkan film. Saya sudah terlanjur capek untuk mengikutinya. Andaikan saja Singer meringkasnya 20 menit lebih pendek, Jack and the Giant Slayer mungkin akan lebih enak untuk diikuti.
Acceptable
No comments:
Post a Comment