"Jangan pernah tertipu kulit luar yang terlihat bagus karena belum tentu dalamnya seperti yang di luar." - Yamada
Bukan, bukan, film teranyar keluaran Falcon Pictures bertajuk La Tahzan ini tidak memiliki keterkaitan dengan buku fenomenal berjudul sama hasil buah karya Dr. ‘Aidh Al-Qarni. Yang justru menjadi sumber utama, sebuah cerita karangan Ellnovianty Nine yang terkumpul dalam antologi ‘La Tahzan for Students’ – buku yang memuat kumpulan kisah perjuangan para pelajar Indonesia di Jepang. Sekalipun didasari pada buku inspiratif, pada kenyataannya, film yang pada awalnya memiliki titel Orenji ini tak benar-benar menyoroti pada sepak terjang pelajar Indonesia dalam menggapai mimpi di negeri matahari terbit. Danial Rifki (dalam debutnya sebagai sutradara) memilih untuk menggiring La Tahzan ke ranah drama percintaan penuh lika-liku yang dibubuhi bumbu religi. Hasilnya? Memang, film tidak diberkahi dengan naskah yang gemilang, namun dengan jajaran pemain dan tim produksi yang solid, apa yang kemudian terhidang kepada penonton adalah sebuah sajian yang menyenangkan, jenaka, serta sangat manis.
Jalinan percintaan segi rumit dalam film, membelit tiga hati berbeda yang masing-masing dimiliki oleh Viona (Atiqah Hasiholan), Yamada (Joe Taslim), dan Hasan (Ario Bayu). Viona dan Hasan merajut tali asmara yang tampak berjalan mulus tanpa rintangan hingga Hasan mendadak pergi ke Jepang untuk mengadu nasib tanpa memberi kabar pada sang kekasih. Hanya beberapa saat setelah kepergian Hasan, Viona pun turut menyusul ke Jepang demi menjalani program Arubaito (belajar sambil bekerja). Di sela-sela waktu senggangnya, Viona berusaha melacak keberadaan Hasan yang seolah lenyap ditelan bumi. Di tengah-tengah pencarian, Viona berjumpa dengan Yamada, fotografer lepas berdarah Jepang-Indonesia. Sikap Yamada yang ramah, bersahabat, dan penuh perhatian, membuat keduanya dengan cepat menjadi akrab. Benih-benih cinta pun menghinggapi mereka. Tanpa berbasa-basi, Yamada mengutarakan niatnya untuk menikahi Viona. Dia bahkan rela berpindah agama demi menjadi halal bagi sang pujaan hati.
Yang menjadi kekuatan utama dari film, tentu saja, adalah Jepang. Tidak sekadar menjadi tempelan demi kebutuhan jualan semata atau hanya demi mempercantik tampilan layar, namun ini berperan penting sebagai latar belakang kisah. Kecermatan Yoyok Budi Santoso selaku sinematografer dalam menangkap gambar, sanggup menghidupkan atmosfer romansa yang memang dibutuhkan. Gambar mampu berbicara. Apa yang dibicarakan adalah mengenai perasaan dari ketiga tokoh utama (Viona, Hasan, dan Yamada) yang kerap kali dilingkupi keragu-raguan dalam menentukan pilihan hati dan hidup. Iringan musik dari Ricky Lionardi yang syahdu, kian mempertegas. Menjadi istimewa tatkala jajaran pemain pun berlakon dengan cemerlang, terlebih untuk Joe Taslim, Atiqah Hasiholan, dan Nobuyuki Suzuki. Rasa skeptis terhadap kemampuan olah peran Joe Taslim yang selama ini menghinggapi, seketika sirna saat menyaksikan betapa memukaunya dia dalam memerankan seorang pria Jepang melalui gestur yang meyakinkan. Dibuat percaya bahwa dia memang memiliki darah Jepang sekaligus bersimpati lantaran karakternya yang mudah untuk disukai.
Hanya saja, sayangnya rajutan jalinan penceritaan dari Jujur Prananto (Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?) boleh jadi tak memberikan sesuatu yang istimewa serta cenderung kurang menantang, tak tergali dengan dalam, dan datar. Nyaris melukai film secara keseluruhan, terlebih dengan adanya plot yang membuat penonton mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya tanpa ada penjelasan dari si pembuat naskah (ucapkan halo pada latar belakang Viona yang nyaris tak tersentuh dan benar-benar terlibas oleh milik Yamada). Dengan kurangnya informasi yang ditebar mengenai Viona, membuat pergerakan kisah menjadi sedikit banyak mengganggu dan kurang wajar. Yang paling mengganjal di hati adalah saat film mendadak berbelok ke ranah reliji yang ditandai dengan upaya dari Viona untuk mempertahankan akidahnya. Jadi, selama ini dia adalah sosok yang relijius? atau, jatuh hati telah membuatnya memeroleh hidayah? Wallahu a’lam bishawab.
Dengan naskah yang tak dirajut rapi dimana lubang-lubang kerap menampakkan diri, La Tahzan berpotensi terpuruk dengan menjadi ‘film romansa dipaksa reliji lainnya’. Beruntung, Danial Rifki memeroleh sokongan dari tim yang solid dimana sinematografi yang indah, tata musik yang apik, serta jajaran pemain yang berlakon secara cemerlang mampu dikawinkan secara manis sehingga hasil akhirnya pun sama sekali tidak mengecewakan. Memang tidak lantas menjadi sebuah suguhan yang menakjubkan (atau mendekati kualitas Hello Goodbye yang ciamik itu), namun La Tahzan tetaplah merupakan sajian yang manis, menarik dan menyenangkan untuk disimak. Patut dicoba.
Acceptable
No comments:
Post a Comment