Malavita atau yang dikenal juga sebagai The Family atau We’re a Nice Normal Family kala dirilis di negara-negara tertentu, memiliki daya tarik yang tak terbantahkan – setidaknya untuk penikmat film. Betapa tidak, hanya dengan melihat posternya, kita telah melihat ada nama-nama menjanjikan sekaligus menggiurkan; Luc Besson, Martin Scorsese, Robert De Niro, Michelle Pfeiffer, Tommy Lee Jones, dan si Quinn Fabray yang cantik dari serial televisi Glee... Dianna Agron! Lalu, Malavita pun dibekali dengan premis yang cukup unik dan mengundang selera; program perlindungan saksi untuk keluarga mafia. Belum lagi, Besson pun tidak segan-segan untuk menjumput sejumlah referensi terhadap film gangster (sebut saja Goodfellas dan Married to the Mob). Ckck. Dengan segala daya tarik ini, tentu tiada alasan untuk melewatkannya begitu saja, bukan? Terlebih setelah saya menyimaknya – dengan ekspektasi yang meninggi, tentu saja – Malavita rupanya sesuai dengan apa yang bisa saya harapkan. Menghibur, lucu, dan menegangkan!
Keluarga Blake yang baru saja pindah ke sebuah kota kecil di dekat Normandia, Prancis, sekilas tampak seperti keluarga dari Amerika Serikat kebanyakan. Tidak ada yang mencurigakan dengan mereka. Fred (Robert De Niro), Maggie (Michelle Pfeiffer), Belle (Dianna Agron), dan Warren (John D’Leo) bagai sebuah potret keluarga kecil yang harmonis. Akan tetapi... Anda tentu tidak begitu saja mempercayainya, bukan? Lagipula siapa yang tahu apa yang tersembunyi di balik pintu setiap rumah. Penduduk sekitar boleh saja menganggap mereka tidak lebih dari sekadar tipikal orang Amerika, namun penonton telah merasakan keganjilan sejak awal film dimana keluarga Blake pindah di tengah malam dan Fred... mengubur mayat di halaman belakang rumah! Menjadi semakin aneh saat seorang agen FBI, Stansfield (Tommy Lee Jones), kerap menyambangi rumah baru mereka. Siapakah sebenarnya keluarga Blake? Apa relasi mereka dengan dunia mafia yang kerap kali disinggung-singgung?
Luc Besson memulai Malavita dengan riang gembira. Menyuntikkan cukup banyak asupan humor di sana sini dengan sedikit bubuhan kekerasan berlumur darah, menyoroti tingkah laku keluarga Blake yang ajaib dan upaya mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan anyar yang tak kalah ajaib. Hingga beberapa puluh menit ke depan ini tetap menjadi sajian menyenangkan nan menyegarkan terlebih melihat bagaimana Fred, Maggie, Belle, dan Warren, berjuang keras untuk mengontrol emosi mereka yang kala meletup dapat berujung pada bencana untuk orang di sekeliling mereka, khususnya Fred yang emosinya mudah tersulut bahkan oleh masalah sepele sekalipun. Intinya: jangan coba-coba untuk menggoda keluarga Blake! Hanya saja, setelah kesenangan dan tawa renyah di paruh awal, film yang didasarkan pada novel berjudul sama karangan Tonino Benacquista ini mulai menemukan masalahnya saat masing-masing anggota keluarga dihadapkan pada konflik masing-masing. Pace film yang tadinya bergerak dengan gesit nan lancar, mulai mengendur, melambat, dan tertatih tatih. Terlalu banyak yang ingin dikisahkan dalam waktu yang terbatas serta problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh pun tak seimbang dalam urusan membetot perhatian.
Beruntung, Malavita memeroleh dukungan yang solid dari departemen akting. Pemilihan cast-nya kudu diakui jempolan, tidak bisa lebih tepat dari ini. Robert De Niro yang kembali ke akarnya memerankan sang kepala keluarga yang keras kepala dan mudah tersinggung dengan cemerlang. Chemistry-nya bersama Michelle Pfeiffer (yang sangat anggun di sini!) dan Tommy Lee Jones pun menawan. Para aktor muda seperti Dianna Agron (yang untuk sekali ini menjadi buas dan membuat saya terkejut: hei.... dia bisa akting!) dan John D’Leo pun sanggup mengimbangi kegemilangan akting dari para senior mereka. Apiknya performa dari jajaran pemain inilah yang membuat pertengahan film yang berpotensi membuat jenuh menjadi terselamatkan. Kegemilangan akting mereka pun menjadi daya tarik tersendiri dari Malavita yang memberi nilai plus untuk filmnya itu sendiri.
Usai berjuang dalam mengarungi pertengahan film yang cukup bermasalah, Besson dan Michael Caleo kembali membawa film kepada titik terang kala memasuki paruh akhir. Setelah canda tawa yang lantas perlahan berubah wujud untuk mengaduk emosi, apa yang muncul dalam klimaks film adalah ketegangan dengan aksi seru dan kekerasan yang brutal! Masih menyelipkan sedikit humor di dalamnya, namun Besson mengarahkan tone film ke ranah yang lebih gelap. Inilah yang dinanti-nanti kala menyaksikan sebuah film gangster. Pertempuran akbar di sebuah kota kecil pada tengah malam disajikan dengan begitu mengasyikkan sehingga kesalahan yang telah ditorehkan sebelumnya pun masih bisa dimaafkan dan penantian panjang untuk mencari sesuatu yang seru memompa adrenalin terbayarkan dengan lunas. Usai menyimak Malavita, saya pun tidak tahan untuk berkata: kamfret... asyik banget!
Penasaran ! Review mu sangat menggugah selera... tp pengen nntn insidious jg hahaha
ReplyDeleteBerasa makanan saja menggugah selera. Hahaha. Kalau tidak mau menyesal, saran saya sih... nonton keduanya! *syubidabida*
ReplyDeletetapi sayang ya ni film dikritik habis2an sama kritikus RT sama seperti kasus now you see me. terkadang website RT gak bisa dipercaya.
ReplyDelete