"I've got a bingo!" - Rose
Sekilas, We’re the Millers tak terlampau menggugah selera lantaran ini bagai film komedi perjalanan dewasa lain bikinan Hollywood yang menghadirkan sekelompok orang dalam sebuah perjalanan mengarungi Amerika dengan memanfaatkan kendaraan bermotor. Hal ini sejatinya bukan sesuatu yang baru untuk dikulik. Akan tetapi, premis dari film garapan Rawson Marshall Thurber (Dodgeball: A True Underdog Story) ini kemudian sedikit dipelintir yang bisa jadi akan membuat Anda tergoda untuk mencicipinya; sekelompok orang asing berpura-pura menjadi satu keluarga Amerika yang bahagia (atau justru dysfunctional family?) demi menuntaskan misi menyelundupkan barang ilegal. Terdengar lebih baik dari sebelumnya? Oh, tentu saja, dan apabila Anda tidak keberatan dengan lawakan We’re the Millers yang gila-gilaan, cenderung tak mengenal tata krama, dan nyerempet-nyerempet vulgar, maka film ini akan membuat Anda puas.
Apakah Anda telah berkenalan dengan keluarga Millers? Jika belum, mari berkenalan. Terdiri atas David (Jason Sudeikis), Rose (Jennifer Aniston), Casey (Emma Roberts), dan Kenny (Will Poulter), mereka bagaikan potret dari sebuah keluarga kelas menengah di Amerika Serikat yang hidup normal dan penuh dengan kebahagiaan. Lalu, kita mencoba untuk mengenal lebih dekat... dan sebuah fakta mengejutkan terpapar. Sebelum disatukan dalam sebuah perjalanan dengan RV menuju Meksiko untuk menuntaskan sebuah misi maha penting yang melibatkan marijuana, keempat orang ini hanyalah orang asing satu sama lain. David adalah drug dealer kecil-kecilan yang dihadapkan pada masalah pelik usai barang miliknya dirampok yang berakibat pada dititahkannya dia dalam misi berbahaya oleh si bos, Brad (Ed Helms). Sadar bahwa resiko dicurigai kala menembus perbatasan lebih tinggi apabila ‘bertamasya’ seorang diri, maka David pun memunculkan ide gila: berpura-pura sebagai seorang ayah yang tengah berlibur bersama keluarganya dengan RV. David pun merekrut stripper bangkrut Rose untuk menjadi istrinya, Casey yang antisosial dan Kenny yang kesepian sebagai kedua anaknya.
Dengan menyasar target penonton dewasa, We’re the Millers yang diracik keroyokan oleh empat penulis skrip – dengan tiga diantaranya adalah veteran di film komedi berating R (17 tahun ke atas) yang pernah menghasilkan film semacam Wedding Crashers dan Hot Tub Time Machine – jelas menerapkan ramuan yang wajib ada dalam film sejenis; ledakan tawa yang dipicu oleh kegilaan-kegilaan yang komposisinya terdiri atas umpatan-umpatan, referensi seksual yang kental, serta adegan tak senonoh. Tahapannya memang tidak sampai sesinting, katakanlah trilogi The Hangover, namun segala banyolan yang ada di sini sudah terbilang gila dan sanggup menimbulkan tawa bahagia dari penonton. Si pembuat film menggebernya habis-habisan sejak pembukaan yang menampilkan video montage Youtube hingga perjalanan keluarga Millers yang sial nan penuh bencana. Beberapa yang menjadi highlight adalah karaoke yang memalukan, gigitan tarantula, tarian panas Jennifer Aniston lengkap dengan air dan api, Black Cock Down, dan tewasnya ‘bayi’ keluarga Millers.
Sayangnya, selain sejumlah adegan yang menjadi highlight, tidak ada lagi yang mencuri perhatian dan menempel dengan manis di ingatan dari film ini. Alih-alih tancap gas dan menabrak batasan-batasan yang saya rasa diharapkan oleh mayoritas penonton, Thurber dan kuartet penulis skrip malah melambatkannya di beberapa titik (khususnya paruh akhir) demi mengejar status sebagai tidak hanya film komedi edan tetapi juga feel-good movie yang penuh kehangatan. Sebagai akibat, film pun menjadi tanggung dan canggung. Setelah digadang-gadang akan berseronok ria habis-habisan di paruh awal, secara mendadak saat mendekati klimaks si pembuat film malah menjadi cheesy dengan banting setir ke jalur yang lebih aman. Lho, ada apa ini? Seandainya Thurber dan tim konsisten di jalur yang telah mereka ambil sejak menit pertama serta tak ragu untuk bermain kotor, We’re the Millers bisa jadi akan lebih memberikan kesan mendalam bagi penonton. Ini sungguh disayangkan.
Lalu, bagaimana dengan jajaran pemainnya yang menjadi kunci utama lain dari kesuksesan sebuah film komedi? Well... para pemain utama di sini sama sekali tidak buruk dan telah menjalankan tugas yang diemban dengan baik sekalipun ada sedikit masalah dari segi face yang kurang meyakinkan untuk menjadi sekumpulan orang yang didera kesulitan hidup bertubi-tubi. Kehebohan dalam upaya memancing tawa memang masih jauh di bawah duo maut Melissa McCarthy – Sandra Bullock yang tempo hari baru saja beraksi melalui film komedi terbaik tahun ini (sejauh ini), The Heat, namun setidaknya mereka tidak pernah menggaringkan segala lawakan di sini. Baik Jason Sudeikis, Jennifer Anniston, Emma Roberts, dan Will Poulter memiliki momennya masing-masing untuk tampil lucu, meski jika ditanya siapa yang paling bersinar di sini maka pilihan saya akan jatuh kepada Nick Offerman dan Kathryn Hahn sebagai pasangan suami istri yang eksentrik. Bahkan keluarga Millers yang sedemikian anehnya pun kewalahan menghadapi pasangan ini!
Ya, We’re the Millers memang menghadapi permasalahan pada skrip – dengan jumlah koki kelewat banyak – yang cenderung tanggung, dipaksakan, dan mengikis kesenangan di paruh akhir. Akan tetapi melihat tujuannya sebagai sebuah film komedi dewasa pelepas penat, maka bisa dikatakan We’re the Millers telah mencapai sasarannya dengan baik. Masih cukup amunisi yang tersisa untuk meledakkan tawa penonton, ya dengan catatan Anda tidak memiliki masalah untuk mencerna lawakan-lawakan yang kasar, kurang ajar, dan kotor.
Acceptable
No comments:
Post a Comment