December 1, 2013

REVIEW : SAGARMATHA


"Pada akhirnya, semua manusia pasti akan sendiri."

Pada awalnya, saya mengira Sagarmatha akan seperti pertemuan antara Laura & Marsha dan 5 Cm – yang telah lebih dahulu rilis. Dua perempuan bersahabat yang berkelana ke negeri orang, memutuskan untuk mewujudkan mimpi mereka... menaklukkan puncak tertinggi di dunia, Himalaya. Terdengar sedikit mirip dengan kedua film tersebut, bukan? Bukan? Oh, baiklah. Kemiripan yang saya harapkan adalah sebuah kebaikan (atau nilai positif) dari masing-masing film; Laura & Marsha untuk konflik yang kerap kali meruncing, sementara 5 Cm untuk pencapaian teknisnya yang mengagumkan. Namun, sungguh sayang beribu sayang, apabila Anda mempunyai ekspektasi yang kurang lebih sama dengan saya, maka bersiaplah untuk kecewa. Dengan kucuran bujet seadanya, memakai konsep gerilya filmmaking, dan proses paska produksi yang tarik ulur, Sagarmatha jelas tidak menawarkan kemewahan dari sisi teknis. Dengan demikian, kekuatan nyaris sepenuhnya bertumpu pada kualitas penceritaan, akting, dan pengarahan. Bisakah tampil gemilang? 

Yang dicelotehkan oleh film arahan Emil Heradi ini sebetulnya sederhana. Dua perempuan yang telah menjalin ikatan tali persahabatan sejak masih berjuang sebagai mahasiswi, Shila (Nadine Chandrawinata) dan Kirana (Ranggani Puspandya), berlibur ke India. Shila menaruh minat ke dunia tulis menulis, sementara Kirana lebih senang menyelami dunia fotografi. Awalnya, ini tak lebih dari sekadar liburan biasa hingga Kirana membangkitkan kembali mimpi lama mereka ketika masih tergabung sebagai anggota mapala; mendaki Himalaya. Sebuah rahasia yang disimpan rapat oleh Shila, membuatnya ragu untuk mengiyakan ajakan dari Kirana. Namun setelah beberapa paksaan dan bujuk rayu, Shila pun tak kuasa untuk menolak terlebih bagaimanapun jiwa berpetualangnya tetap membara. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke Nepal. Mengingat ini adalah sebuah road movie, maka petualangan ini tidak berjalan dengan mudah dan semestinya. Seiring dengan semakin dekatnya mereka ke tujuan akhir, gesekan diantara keduanya semakin sering terjadi yang berujung pada sebuah pengungkapan mengejutkan atas masing-masing rahasia dari Shila dan Kirana. 

Digores di atas kertas, tuturan cerita yang digagas oleh Damas Cendekia tampak menjanjikan, lantaran mampu menyatukan petualangan, persahabatan, drama, dan sedikit taburan misteri. Saya berpikir, Sagarmatha bisa menjadi sebuah sajian kecil di akhir tahun yang menghentak, memberi kejutan manis, sekaligus melampaui dua film yang saya sebutkan di awal tulisan. Ringkasnya, sebuah kuda hitam. Hanya saja, potensi besar yang dimiliki oleh Sagarmatha, sayangnya tak pernah benar-benar dimaksimalkan oleh Emil dan Damas. Konflik yang menaungi Shila dan Kirana berjalan dengan sangat datar dan nyaris tak pernah menanjak. Tidak ada letupan-letupan ganas yang mampu membuat emosi penonton turut terlibat. Mereka lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri ketimbang asyik menciptakan celotehan mengikat atau pertengkaran menarik, sehingga film pun menjadi hening, sunyi, dan menjemukan. Ini lantas sedikit banyak kian dikacaukan dengan munculnya twist di penghujung film yang perjalanan-menuju-kesana tak terhantarkan dengan mulus dan malah menambah beban rasa tidak puas – “kok bisa begini? Ini maunya absurd atau nyata?.” 

Apakah tidak harapan sama sekali untuk Sagarmatha? Hey... tentu saja masih ada! Sekalipun skripnya terasa begitu hampa dan duo kikuk Nadine-Ranggani tak bisa berbuat banyak, akan tetapi ini bukan film asal jadi yang digarap serampangan. Jika diminta menyebut satu yang membekas dari Sagarmatha, maka itu adalah skoring musik dari Yovial Tripurnomo Virgi yang begitu indah nan menghantui, mampu menyelamatkan diri ini dari rangkaian keheningan yang melelahkan, dan menciptakan suasana yang misterius, menyakitkan, serta dingin. Menyalurkan (dan tentu saja, menggantikan) emosi yang gagal tersampaikan dari skrip dan performa pemain. Memberikan nyawa kepada film. Selain itu, Sagarmatha memiliki penyelamat lain yang memang selalu menjadi penyelamat di sebuah road movie: pemandangan. Dengan pengambilan gambar yang seringkali secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam, maka bisa dimaklumi tatkala hasil yang diterima cenderung kasar. Namun, kekasaran ini tak menutupi fakta bahwa Anggi Frisca tergolong cermat dan pintar dalam menangkap sudut-sudut di India, Nepal, dan Himalaya. 

Pada akhirnya, kegemilangan memang gagal dicapai oleh Sagarmatha. Premis yang tampak begitu mengundang dan berbicara, ternyata mengalami banyak hambatan untuk dieksekusi dengan memikat di lapangan. Penyebab utama: skrip yang hampa dan chemistry yang kering dari duo Nadine-Ranggani. Beruntung, kinerja apik dari Yovial dan Anggi mampu menyuntikkan nyawa kepada film sehingga Sagarmatha tidak terjerembab semakin dalam. Masih sangat layak untuk diapresiasi lebih.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch