Poster dari Eyang Kubur itu bagus. Meski banyak yang mengatakan desain posternya adalah hasil plagiat dari The Addams Family... dan sebagainya, dan sebagainya... mau tak mau, kudu diakui ini adalah salah satu poster film Indonesia terbaik tahun ini. Menjalankan fungsinya sebagai alat promosi film secara semestinya yang akan membuat siapapun yang melangkahkan kaki ke bioskop membicarakannya (atau minimal, meliriknya). Terbungkus dengan cantik, artistik, dan rapi jali, ada sebuah kesan bahwa produk keluaran Unlimited Production ini layak untuk disantap. Begitu menyilaukan mata. Namun Anda perlu berhati-hati... karena poster ini disinyalir memiliki kemampuan untuk menghinoptis. Efek samping bagi mereka yang memandanginya lebih dari satu detik adalah berjalan menghampiri loket bioskop dan membeli satu (atau lebih) tiket untuk jam pertunjukkan Eyang Kubur. Waspadalah.
Mengingat ini adalah sebuah ulasan film – walau lebih menyerupai seperti curhat colongan dari seorang jomblo putus asa yang baru saja di-PHP oleh seorang gadis cantik – maka tidak afdol jika tak menyertakan ringkasan film itu sendiri. Jadi, dalam tatanan penceritaan, Eyang Kubur terbagi menjadi dua lajur berbeda yang seolah (dan memang!) tidak berkaitan satu sama lain. Ya, terinspirasi dari Pulp Fiction gitu deh. Yang pertama adalah mengenai Eyang Kubur (Ray Sahetapy) – saya lupa nama awalnya, kayaknya, errr... Effendi Ghazali? – yang mendapat bisikan gaib untuk dikubur hidup-hidup selama 10 hari lamanya. Setelah memasuki hari yang ditentukan, Eyang Kubur bangkit dan meminta asisten pribadinya (Yadi Sembako) untuk mencarikan dia 5 lima istri baru. Dengan kekayaan yang melimpah ruah, maka tidak ada kesulitan bagi si Eyang untuk menggaet perempuan-perempuan seksi untuk menjadi istrinya. Pada awalnya, kehidupan setiap istri ini damai sentosa penuh kebahagiaan layaknya FTV di Indosiar, namun setelah Eyang mempersunting Wulan (Ariani Putri) sebagai istri ke-6... semuanya berubah drastis! Ya, begitu drastis dan begitu cepat sehingga belum sempat saya berkenalan dengan satu persatu istri Eyang, mereka telah berubah menjadi mayat. Betapa teganya! Masa bayar artis mahal-mahal cuma buat nongol berapa menit terus jadi setan, sih? Hih, hih!
Lalu, bagaimana dengan cerita kedua? Yang ini sih settingnya hanya berputar-putar di restoran Jepang dan betul-betul... bikin Anda akan menjadi sosok yang relijius. Mengucap Istighfar tiada henti-hentinya. Apa yang dituturkan hanya mengenai Yurike Prastika yang tidak merestui hubungan putra semata wayangnya (Ervan Naro) dengan seorang gadis Jepang bernama Michiko (saya terlalu pusing untuk mengingat nama pemerannya yang muncul sekejap di credit title) yang dijulukinya Buntelan Melon – Ah... Anda pasti sudah tahu apa alasannya. Memeriahkan suasana diantara peliknya konflik yang melilit tiga tokoh ini adalah Chef Harada yang kerap kali menggoda Michiko dengan cara yang begitu annoying-nya sehingga saya mengoleskan Freshcare (bukan promosi!) berulang kali ke kepala saya. Sepanjang film, saya mencoba untuk mencari benang merah yang mengaitkan cerita kedua ini dengan pertama. Ya memang ketemu sih... tapi, tapi... ah sudahlah.
Selama menyaksikan Eyang Kubur, saya baru menyadari bahwa saya sama sekali tidak memiliki selera humor. Ketika beberapa penonton tertawa terbahak-bahak, saya masih berusaha mencerna dimana letak lucunya. Atau jangan-jangan saya kelewat lemot? Atau mungkin, saya sedang diculik alien dan diterbangkan ke planet lain? (Ibu.... tolong!) Perasaan kala itu, sungguh pedih. Seolah saya sedang menghadiri sebuah pesta, si tuan rumah melontarkan guyonan, seluruh tamu tertawa terbahak-bahak menandakan memahami maksudnya, dan saya kebingungan. Diri ini pun merasa kesepian, terpinggirkan, dan terasing. Bisa Anda bayangkan betapa menderitanya saya waktu itu, bukan? Durasi yang merentang hanya sekitar 80 menit pun seolah berlangsung selamanya. Saya pun lantas mencoba untuk memalsukan tawa sehingga bisa membaur dengan para tamu pesta ini. Ya, mau bagaimana lagi, ini adalah salah satu cara untuk bertahan hidup saat menonton Eyang Kubur.
Tidak hanya guyonan yang sulit untuk saya tangkap, tetapi juga jalinan pengisahannya. Saya menduga, sang penulis sedang kebelet (maaf yah) buang hajat saat sedang diburu-buru untuk menuntaskan skrip film ini. Sungguh, sangat, luar biasa berantakan sekali dengan kontinuitas bertanda tanya besar – jauh lebih besar dari buntelan melon! – seolah apa yang terlintas di kepala dituangkan begitu saja dengan sesuka hati tanpa adanya revisi di kemudian hari. Kisah pertama yang melibatkan Eyang Subur dan kelima istri mudanya sesungguhnya berpotensi menjadi sajian yang menegangkan apabila digarap serius dan tidak kebanyakan berkomedi ria (yang ironisnya, sama sekali tidak lucu). Sedangkan kisah kedua, sama sekali tidak bisa diharapkan. Ekspresi saya senantiasa datar sedatar-datarnya mengalahkan televisi paling datar sekalipun setiap fokus penceritaan dialihkan ke istri tua Eyang Kubur (ups, spoiler!). Bisa nggak selanjutnya 21 juga memberi fasilitas yang memungkinkan penonton untuk fast forward di bioskop?
Saya tahu betul jejak rekam dari sang sutradara, Findo Purwono HW. Sama sekali tidak menggembirakan. Namun mungkin karena efek dari poster yang menghipnotis, saya masih memberi kesempatan untuk film terbarunya ini. Dan... itu bukan keputusan yang bijaksana. Nyaris tidak ada yang bisa Anda harapkan dari Eyang Kubur. Sederetan humor yang dilontarkan tak satupun yang mengenai sasaran, teror demi terornya tidak lebih dari pengulangan, penceritaannya kocar-kacir (baca: berantakan sekali), dan para pemainnya pun senantiasa overacting. Sungguh, saya mengharap sekali bioskop-bioskop di tanah air menambah fasilitas berupa kantong muntah, obat-obatan penghilang rasa nyeri, mual, dan pusing, hingga apapun itu yang penting bisa bikin hati dan pikiran menjadi tentram, karena itu akan sangat bermanfaat sekali bagi penonton, terutama saat menyaksikan film semacam Eyang Kubur ini.
Quote to remember: “Sekarang ini, orang malas ke bioskop,” ujar Eyang Kubur.
Kalau film yang ditayangin semacam film Eyang begini, makin malas dong ya orang-orang buat ke bioskop. *kikir kuku*
Troll
aku yakin reviewmu ini lebih menghibur daripada nonton filmnya :D
ReplyDeletewkwkwkwk saya belum nonton aja udah ketawa duluan baca reviewnya bang cinetariz ini
ReplyDelete