May 6, 2014

REVIEW : MALL KLENDER (THE MALL)


"Jangan pernah takut sama kemampuan lo. Jadikan itu sebagai kekuatan lo." - Panji

Bangunan pusat perbelanjaan (dan hiburan) yang hangus terbakar hingga menelan korban jiwa kerap kali menyisakan cerita mistis yang lantas berkembang sebagai urban legend. Entah berapa kali saya didongengi cerita seram seputar ‘bangunan A’ atau ‘bangunan B’ kala bertandang ke kota tertentu dengan rata-rata teror muncul dalam bentuk rintihan tangis, suara-suara misterius, hingga keramaian yang tidak semestinya. Bahkan ini tak juga berakhir tatkala bangunan telah beralih rupa dalam wujud baru. Jika mempercayai kisah dari mulut ke mulut yang beredar luas, toilet adalah jujugan favorit dari para lelembut terlebih di saat sunyi sepi. Waduh! Berdasar fenomena urban legend yang membuat bulu kuduk saya bergidik ngeri tiap mendengar kisahnya inilah David Poernomo lewat rumah produksi Hitmaker Studio melahirkan The Mall (dikenal juga dengan judul Mall Klender). 

Ketimbang memilih jalur populer dengan merekonstruksi ulang kisah yang telah menjadi bahan obrolan seram di masyarakat selama menahun, The Mall mencoba untuk mandiri dengan mendirikan jalinan penceritaan sendiri yang sebetulnya... klise. Film (lagi-lagi) menyoroti tentang empat anak muda kurang kerjaan yang memelihara hobi ajaib, memburu hantu! Duh. Mila (Shandy Aulia) memiliki obsesi untuk melihat penampakan secara langsung menggunakan mata batinnya dan berencana memanfaatkan itu sebagai penghasilan utamanya dengan membuat sebuah acara tentang aktivitas gaib di stasiun televisi. Untuk mewujudkannya, Mila merekrut Panji (Denny Sumargo), Danang (Igor Saykoji), dan Karina (Tasya Kamila). Sayangnya, perburuan ini tidak mudah dan berkali-kali gagal membuahkan hasil. Di saat Panji memutuskan bertindak realistis dengan menjalani kehidupan normal, ndilalah datang panggilan buat mereka untuk membuktikan suatu mall tidak angker. Mereka dikunci di dalamnya selama 24 jam dan... serentetan kejadian aneh pun terjadi! 

Sebetulnya, The Mall memiliki potensi untuk menjadi sebuah tontonan seram yang mengasyikkan. David Poernomo telah belajar dari kesalahan sejumlah film horor Indonesia terdahulu dengan tak terlampau sering menggeber penampakan, meminimalisir penggunaan skoring yang biasanya menghentak setiap detik setiap adegan tak jelas juntrungnya, dan memanfaatkan benda-benda (serta tempat-tempat) yang akrab dilihat oleh pengunjung mall – ambil contoh manekin, lorong-lorong, sampai toilet – sebagai pemicu munculnya rasa takut. Untuk urusan yang satu ini, boleh dibilang The Mall berhasil. Beberapa kali film memiliki momen yang menghadirkan sensasi deg-degan, gregetan, dan berujung pada ledakan jeritan ketakutan (atau minimal, kekagetan). Lewat The Mall, David Poernomo juga mencoba memancing rasa gemas penonton dengan nuansa sunyi senyap tanpa iringan musik sehingga pikiran pun diselimuti terkaan-terkaan, “apa ya yang akan terjadi berikutnya? Apa ya, apa ya?.” 

Mencapai titik ini, The Mall sudah setingkat lebih baik ketimbang Rumah Kentang dan 308. Ada sedikit pengharapan film bakal mencapai tingkat keseraman dari Kemasukan Setan. Sayangnya, upaya untuk memunculkan kengerian yang telah dibangun susah payah ternodai oleh skrip racikan Riheam Junianti yang kedodoran dengan babak ketiga yang seolah dirajut secara terburu-buru, dipaksakan, serta tidak rapi. Ini belum termasuk rangkaian dialognya yang sukar untuk dipercaya. Tapi tentu saja, penyumbang kegagalan terbesar dari The Mall adalah performa dari jajaran pemainnya yang betul-betul... naudzubillah, mengerikan. Setelah menyaksikan Rumah Kentang dan 308, apa sih yang bisa kamu harapkan dari akting Shandy Aulia, Denny Sumargo, dan Tasya Kamila? Mereka berkontribusi dalam merobohkan mood seram dalam film dengan mempertontonkan (lagi-lagi) akting memprihatinkan yang hanya sekadar diisi teriakan dan lari-lari kosong dengan ekspresi yang tidak meyakinkan. Penonton gagal untuk peduli, penonton gagal untuk merasa terlibat, dan pada akhirnya, penonton pun berharap mereka dihabisi saja oleh para makhluk gaib di sini (Ouch!). Sungguh sangat disayangkan. The Mall nyaris sekali menjadi film horor yang mengasyikkan. Nyaris.

Acceptable

1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch