“I forgive you because I don't want to remain angry.” – Philomena
“Who the hell is Philomena?.” Itulah pertanyaan pertama yang terbersit di pikiran saya dan (cukup meyakini) sebagian besar dari Anda tatkala mengetahui bahwa film berjudul Philomena beranjak dari kisah nyata kehidupan seorang perempuan tua asal Irlandia bernama Philomena Lee. Bukan seseorang yang memiliki garis keturunan ningrat, menggerakkan revolusi di suatu bidang, atau tokoh masyarakat yang sarat akan skandal di masa lalu, tentu membuat siapapun diliputi penasaran; apa yang begitu istimewa dari sosok ini sehingga jalan hidupnya layak untuk diabadikan melalui media film? Pertanyaan itu akan langsung terjawab seusai Anda menyaksikan film yang diadaptasi dari buku non-fiksi rekaan jurnalis Britania Raya, Martin Sixsmith, berjudul “The Lost Child of Philomena Lee”. Sekadar saran bagi Anda yang buta sama sekali mengenai Philomena Lee dan berniat menyimak Philomena, ada baiknya tak mengubek-ubek Google terlebih dahulu. Semakin sedikit yang Anda tahu mengenai wanita berusia 80 tahun ini, semakin Anda dapat terlarut ke dalam tatanan pengisahan yang digelar dalam film.
Setelah kehilangan pekerjaannya, Martin Sixsmith (Steve Coogan) berniat untuk menghabiskan waktunya dengan mengkreasi sebuah buku tentang sejarah Rusia. Hanya saja, Tuhan berkehendak lain. Melalui sebuah pesta yang dihadirinya, takdir memertemukan Martin dengan Philomena Lee (Judi Dench). Sepintas, tidak ada keistimewaan yang dipunya Philomena, terlihat seperti perempuan tua kebanyakan. Bahkan Martin tidak lantas memutuskan untuk menulis tuturan kisah yang meluncur dari mulut Philomena, ada semacam keraguan di dalam dirinya. Akan tetapi, materi human interest yang berceloteh seputar petualangan seorang wanita lanjut usia dalam menapaki jejak keberadaan putranya yang dipaksa pisah dari dirinya 50 tahun silam terlalu menggoda untuk ditampik begitu saja. Lagipula, ini lebih mudah menarik perhatian publik ketimbang paparan sejarah yang menjemukan. Tertarik menggali lebih dalam, Martin pun melakukan investigasi bersama Philomena guna menyatukan keping-keping misteri yang tercecer seputar keberadaan si ‘anak hilang’. Pencarian ini lantas menerbangkan mereka hingga ke Amerika Serikat.
Keburu menyematkan prasangka buruk terhadap Philomena – bahkan sebelum mengetahui film ini bertutur tentang apa, Stephen Frears (Dangerous Liaisons, The Queen) secara elegan membuat saya meratap malu. Segala sangkaan yang menyatakan ini akan menjelma sebagai sebuah film yang menjemukan nyatanya sama sekali tak terbukti. Malah, film yang skripnya ditulis oleh Steve Coogan dan Jeff Pope ini mampu membuat saya terhanyut ke dalam guliran penceritaan, merasa dilibatkan, hingga pada akhirnya turut peduli terhadap Philomena Lee. Ini adalah sebuah tontonan yang terasa begitu lembut, hangat, manis, dan jenaka di satu sisi, tetapi di sisi lain memiliki rasa yang pahit, pedih, serta menyimpan rahasia yang kelam. Beragam rasa ini lantas dituangkan oleh Frears ke dalam sebuah adonan dengan takaran tepat yang memunculkan sebuah hidangan yang begitu nikmat untuk disantap.
Semenjak menit-menit pertama, film telah membenamkan penonton ke dalam kubangan penasaran yang pekat seolah menempatkan penonton pada posisi Martin saat pertama kali mendengar cerita Philomena. Terlebih, saya tidak tahu apapun soal Philomena Lee. Pertanyaan-pertanyaan semacam, “dimana si anak hilang itu sekarang?”, “siapakah yang membesarkannya?,” dan “bagaimana kehidupannya saat ini?” timbul menyeruak. Ini lantas berdampak pada munculnya keinginan untuk mengetahui lebih lanjut jalannya proses investigasi yang dilalui oleh Martin dan Philomena. Apa yang terjadi berikutnya semakin menguatkan daya pikat film. Philomena tidak berjalan lurus, mulus, dan mudah ditebak, melainkan, seperti halnya kehidupan di dunia nyata, dipenuhi kelokan serta kejutan yang tidak disangka-sangka datangnya. Membuyarkan segala dugaan penonton yang telah terancang dengan rapi. Momen-momen yang emosional pun datang silih berganti seiring terkuaknya fakta tentang ‘si anak hilang’ hingga pada sebuah klimaks yang membuat saya ingin mengoyak habis layar. Damn!
Betapa hidupnya Philomena sampai-sampai memicu emosi penonton tentu tidak hanya disebabkan oleh skrip intim dan penyutradaraan hebat Frears semata, tetapi juga Judi Dench (yang selalu bisa diandalkan) dan Steve Coogan dalam performa terbaiknya. Dench adalah sosok relijius berhati mulia yang kelewat ramah dan polos khas pedesaan, sedangkan Coogan adalah seorang agnostik oportunis yang agak kaku dan serius. Keduanya membina chemistry yang unik dan aneh, pula lucu dan hangat. Hubungan yang terbentuk antara Dench dan Coogan pun mengalami proses, dari semula hanya sekadar dua orang asing yang disatukan secara terpaksa untuk mencapai satu tujuan tertentu menjadi dua orang yang saling peduli satu sama lain di penghujung kisah. Kekikukan hubungan mereka di awal film memicu gelak tawa yang renyah, sedangkan keintiman hubungan mereka di akhir film mengubahnya menjadi perasaan penuh kehangatan dan air mata. Inilah film yang luar biasa untuk sosok yang (ternyata) juga luar biasa.
Outstanding
Bang Cine, aku nominasikan Liebster Award untuk blog abang. Cekidot yaa: http://pandoraque.blogspot.com/2014/05/liebster-award-2014.html :D
ReplyDelete