“Ada nggak hal-hal yang pengen banget lu kerjain, tapi belum
kesampaian?”
Bagi kebanyakan orang, masa SMA
kerap disebut sebagai fase terbaik dalam hidup. Betapa tidak, ada banyak sekali
kenangan yang bisa digoreskan di titik ini. Kita akhirnya cukup dewasa untuk
bisa merasakan nikmatnya (dan pedihnya) jatuh cinta, kita akhirnya mendapat
sedikit kebebasan dari orang tua untuk melakukan apa yang kita maui, dan kita
pun memiliki sahabat-sahabat karib yang bisa diajak gila-gilaan sekaligus
bermimpi mengenai apa yang ingin dicapai setelah beranjak dewasa. Saking melimpahnya
cerita yang bisa digali dari anak berseragam putih abu-abu yang problematikanya
tergolong serius tapi santuy ini, tak mengherankan jika selalu ada “film remaja berlatar SMA” yang menarik
disimak saban tahunnya. Salah satu yang membekas bagi saya adalah film asal Korea
Selatan berjudul Sunny (2011) yang
mencetak 7,3 juta lembar tiket selama masa edarnya di bioskop. Dalam film ini,
penonton disuguhi narasi seputar reuni penuh nostalgia dari tujuh sahabat perempuan
yang tak saja mengundang riuh tawa, tetapi juga air mata. Berkat kesuksesan
secara finansial maupun kritikal yang diterima oleh Sunny, CJ Entertainment pun tidak keberatan untuk memberikan lampu
hijau bagi pembuatan remake dari
beberapa negara seperti Vietnam (Go Go
Sisters, 2018), Jepang (Sunny: Strong
Mind Strong Love, 2018), serta Indonesia, yang kesemuanya turut memberikan
modifikasi guna menyesuaikan dengan kultur setempat. Satu perbedaan paling mencolok
dalam versi Indonesia yang diberi tajuk Bebas
adalah konfigurasi dari para pemain utama yang tak lagi tersusun atas tujuh
perempuan.
Bebas yang diproduksi oleh Miles Films bersama CJ Entertainment
dibawah komando Riri Riza (Laskar
Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta? 2) ini menempatkan enam karakter di garda
terdepan dimana komposisinya terdiri dari lima perempuan dan satu laki-laki. Tunggu,
tunggu, ada karakter laki-laki sebagai pemeran utama? Well, berbeda dengan Sunny
yang latar penceritaannya berada di sekolah khusus perempuan, Bebas mengalihkannya menjadi sekolah
umum demi merangkul penonton lebih luas. Di sini, keenam sahabat yang tergabung
dalam satu geng berjulukan “Bebas” tersebut terdiri dari Vina (Meizura), Kris
(Sheryl Sheinafia), Jessica (Agatha Pricillia), Suci (Lutesha), Gina (Zulfa
Maharani), serta Jojo (Baskara Mahendra). Sebagai penggerak utama narasi adalah
pendatang baru dalam geng ini, Vina, yang tercatat sebagai murid pindahan dari
Sumedang. Untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di Jakarta, dan untuk pertama
kalinya pula tergabung dalam suatu geng yang bukan saja kompak tetapi juga kerap
terlibat pertikaian dengan geng lain, Vina mendapati satu fase hidup yang
sangat menantang baginya. Dia terlibat konflik dengan si cantik Suci yang
tampak terganggu dengan keberadaannya, dia kerap digoda oleh siswa bengal
bernama Andra (Giorgino Abraham), dan dia merasakan jatuh cinta untuk pertama
kalinya kepada Jaka (Kevin Ardilova). Berkelindan dengan kisah para remaja ini
adalah fase dewasa dari setiap karakter yang akhirnya berjumpa kembali setelah
terpisah selama 23 tahun. Yang membuat geng Bebas bersatu kembali adalah
permintaan terakhir dari Kris (Susan Bachtiar) kepada Vina (Marsha Timothy). Kris
ingin, sebelum dirinya menghadap ke Yang Maha Satu akibat penyakit yang
dideritanya, geng Bebas dapat kembali berkumpul dalam formasi lengkap untuk
merayakan kehidupan.
Sedari awal proyek remake ini diumumkan, saya telah
dilingkupi kepenasaran dalam menantikan interpretasi Riri Riza terhadap Sunny. Terlebih lagi, Sweet 20 (2017) yang juga didasarkan
pada film Korea Selatan terbukti mampu menghadirkan sebuah rekonstruksi yang
penuh penghormatan terhadap materi aslinya. Sebagai penggemar berat Sunny, saya pun bertanya-tanya. Akankah Bebas dapat melakukan hal serupa? Memboyong
ekspektasi cukup tinggi lantaran film ini ditelurkan oleh rumah produksi
penghasil dwilogi Ada Apa Dengan Cinta?,
nyatanya saya dapat melangkahkan kaki keluar bioskop dengan senyum mengembang
menandakan kepuasan tiada tara. Bahkan, saya sejatinya telah tersenyum-senyum
sedari film memulai penceritaannya. Jika boleh meminjam pernyataan anak gahoel
zaman sekarang, Bebas memang seasyik
dan semenyenangkan itu. Satu hal yang bisa langsung diapresiasi adalah performa
dari jajaran pemain, khususnya bintang-bintang muda. Mereka tampil mengesankan
saat berdiri sendiri; Maizura adalah siswi polos yang mudah dicintai, Shery
Sheinafia terlihat badass sebagai
ketua geng yang jago beladiri, Lutesha memang layak digilai satu sekolah,
Agatha Pricillia memberi sentuhan komedi dengan obsesinya pada kecantikan,
Zulfa Maharani cukup merepresentasikan “cewek galak berhati lembut”, sementara
Baskara Mahendra adalah harta karun yang ditemukan oleh tim kasting. He’s so freaking hilarious. Melakonkan Jojo
yang digambarkan sebagai cowok feminin dengan mulut setajam silet,
kemunculannya senantiasa mengundang perhatian. Senantiasa memantik gelak tawa heboh
dari penonton berkat tingkah polahnya maupun tutur katanya yang membuatnya tak
akan mengalami kesulitan untuk dianugerahi “mulut
paling julid seantero Indonesia raya” andaikata penghargaan itu memang nyata
adanya.
Saat dipersatukan dalam geng
Bebas, keenam pemain ini pun dapat melebur secara asyik seolah-olah telah
berkawan sedari lama. Karakter Kris tampak menaruh kepedulian yang tulus pada
Vina, sedangkan Jessica dan Jojo, saya selalu senang melihat keduanya saling
beradu mulut. Saking asyiknya chemistry
diantara mereka, rasanya betah berlama-lama bersama mereka dan berharap film
akan sepenuhnya menyoroti perkawanan mereka semasa di SMA. Tapi tentu saja, Bebas bukan hanya perkara jiwa-jiwa muda
yang bebas menikmati indahnya hidup seperti tidak ada beban yang harus
dipanggul. Film ini juga berceloteh tentang realita tumbuh dewasa yang acapkali pahit lantaran berseberangan dengan mimpi-mimpi di masa muda. Itulah mengapa, saat film
menampilkan para karakter muda yang sedang merekam video berisi keinginan di masa
depan untuk dijadikan sebagai kapsul waktu, saya tak kuasa menahan air mata.
Sedih melihat mereka tak lagi bersama seperti diharapkan, sedih kala menyadari
bahwa sebagian besar mimpi mereka tak tercapai, dan sedih begitu teringat bahwa
saya dan teman-teman semasa SMA juga mengalami nasib yang sama dengan geng
Bebas. That’s life. Berhubung inti
dari fase dewasa Bebas adalah menemukan
kembali teman yang telah lama pergi serta mimpi atau semangat yang telah memudar, maka tentu saja
elemen dramatiknya lebih mendominasi ketimbang komediknya. Interaksi diantara
para karakter pun tak sehidup versi muda, dan ini sangat bisa dimengerti. Bukan
karena performa buruk dari jajaran pelakon, melainkan sebuah bentuk kesengajaan
untuk menegaskan suasana canggung yang tentunya akan mencuat setelah 23 tahun
tak berjumpa. Diantara pemain dewasa, kredit khusus patut disematkan kepada
Marsha Timothy, Susan Bachtiar, serta Baim Wong (Jojo dewasa) yang benar-benar menyerupai
versi muda mereka.
Disamping para pemain inti, Bebas juga berasa meriah berkat
penampilan dari cameo yang
pemilihannya terasa jitu, terutama Amanda Rawles yang tampil berbeda nan menggelitik sebagai villain cemen, Dea Panendra dengan
penggunaan ‘Bahasa Rusia’ yang antik dan Reza Rahadian dalam peran yang memungkinkannya
untuk membuat penonton tertawa sekaligus menangis di waktu bersamaan. Yang juga
menjadikan Bebas berada di level yang
sama dengan materi aslinya adalah tata artistik beserta kostum yang sangat
mencirikan era 90-an, kurasi lagu-lagu pengiring yang saya yakini akan
mendorongmu untuk ikut berdendang di sepanjang film (tata suaranya bagus banget, berasa sedang konser!)
sampai-sampai tergoda melanjutkan nyanyian di karaoke booth, pengarahan dari Riri Riza yang penuh sensitivitas sehingga
elemen komedik maupun dramatiknya dapat menyatu dengan sangat baik, serta
naskah gubahan Mira Lesmana beserta Gina S. Noer yang melakukan penyesuaian
pada kultur Indonesia alih-alih sekadar copy
paste dari Sunny. Dari perubahan
paling kentara seperti diciptakannya karakter Jojo yang menjadi satu-satunya
lelaki dalam geng (representasi cowok feminin dalam geng didominasi perempuan
yang memang mudah dijumpai di sekitar kita semasa sekolah), lalu adanya karakter penggencet yang juga diubah menjadi laki-laki guna membicarakan soal toxic masculinity sekaligus women empowerment, sampai lebih pada
detil dalam bentuk referensi ke budaya populer yang sering dijadikan bahan
guyonan serta situasi politik di tanah air. Adanya faktor kedekatan pada kultur
inilah yang membuat saya dapat lebih terkoneksi pada Bebas ketimbang Sunny
meski film memberi satu ganjalan yang mengurungkan diri ini untuk memberi nilai
sempurna: adegan tawuran. Durasinya kurang panjang dan perkara politik yang
melandasi tawuran di materi asli tak ditranslasi ke versi ini padahal satu dua karakter sempat menyinggung mengenai keadaan politik negeri dan latar waktunya
pun sejatinya memungkinkan. Andai saja si pembuat film lebih berani (plus lebih
gila-gilaan dalam membingkai tawurannya), bukan tidak mungkin Bebas bisa lebih pecah dari ini yang bahkan
sudah bisa mendorong saya untuk melabelinya sebagai salah satu film terbaik di
tahun 2019. Bagus banget, nyet!
Outstanding (4,5/5)
beberapa hari setelah nonton Bebas, otakku langsung nge-set lagu bebas melulu
ReplyDeletePengen deh versi tariannya juga diunggah ke YouTube. Biar bisa ikutan nari.
DeleteGara2 nonton film ini, lagu Bebas, Cukup Siti Nurbaya, dan Bidadari terngiang2 terus. Lebih suka Bebas dibanding Sunny.
ReplyDeleteJadi pengen karaokean deh. Hahaha. Aku secara pribadi juga lebih menyukai Bebas sih. Guyonannya lebih kena dan Deket aja.
DeleteSayang film sebagus ini malah sepi penonton. Kemarin nonton cuma ada belasan orang padahal keren banget. Jarang ada film Indonesia yang ceritanya sengalir ini
ReplyDeleteIyaa miris bgt sama penonton indo skrg...film horror&cinta2an yang kualitasnya jelek malah laku keras
DeleteYa sayang sekali memang. Trailernya Bebas harus diakui kurang mengundang, tapi nggak nyangka bakal semelempem ini dalam meraih penonton.
DeleteYang di peranin reza emng ada juga ya di SUNNY, yg jadi siapa? Blum nonton soalnya.
ReplyDeleteAda juga kok. Pemerannya Sung Ji-ru
DeleteFilmnya sepi ya, promonya kurang jor joran, pemain versi mudanya kebanyakan ngga dikenali kecuali Sheryl kalau menurut saya, sedangkan Amanda dan Nichol jadi suporting role, apakah pemilihan cast juga ikut berpengaruh bagi yang mau nonton? sayang banget film Bagus gini sepi penonton, trailernya sih juga kurang menarik, bakal review film Sin atau Perempuan Tanah Jahanam kah?
ReplyDeleteFilm yang paling dinantikan sih Film Susi Susanti, trailernya sangat menarik sama Ratu Ilmu Hitam, hehehe
Menurutku sih berpengaruh banget terutama buat penonton muda. Bagaimanapun tetep butuh star factor apalagi kalau brand masih kurang dikenal. Semestinya Amanda Rawles dapat peran utama sih, Sheryl juga nggak gitu digandrungi di kalangan ABG. Trailernya juga kurang menggoda, nggak jelas pun mau nyeritain apa. Memang bener kalau ada yang bilang Miles Films udah saatnya berhenti jual nama mereka dan AADC buat promo.
DeleteSin udah direncanain bikin. PTJ oh jelas bakal dibuat, salah satu film yang aku tunggu banget.
Filmnya emang sebagus dan semenyentuh itu. Masih belum bisa move on, huhuhu. Eh tapi ada yang satu yang ganjal. Kenapa ya malah geng Bebas yang dikeluarin? Mereka kan ngga salah. Menurutmu gimana mas?
ReplyDeleteBebas ini diam-diam penuh subteks lho. Gimana ya ngejelasinnya, yang jelas ada banyak pesan tersembunyi di dalamnya. Di review aku sempat nyebut soal toxic masculinity, nah soal pemecatan dari sekolah ini semacam bentuk kritik si pembuat film pada institusi pendidikan di Indonesia yang cenderung lempar tanggung jawab. Ingat dialog Vina dewasa dengan putrinya soal sekolah yang nggak percaya kalau Mia digencet? Itu sejalan dengan adegan ini. Ketimbang mengayomi, ketimbang mencarikan solusi, pihak sekolah memilih untuk tutup mata.
DeleteBerat ya? Hahaha
Nggak kok mas malah buatku jadi menarik. Ternyata bisa didiskusiin juga. Yang soal toxic masculinity itu aku paham, kerasa banget pas Kris labrak si tukang gencet itu. Cuma baru ngeh soal kritik institusi pendidikan. Kalau gitu alasannya jadi bisa dipahami
DeleteAku juga baru ngerasain setelah nonton kedua sih. Hahaha. Baru ngerasa ada kaitannya dengan dialognya si Mia.
DeleteFilm nya lebih bgs dr film sunny, mantap abis dah jadi ketagihan nonton terus
ReplyDeleteSoalnya kerasa lebih deket sih yaa. Aku udah nonton tiga kali lho dan malah ngerasa makin bagus tiap nonton 😁
DeleteBaru kali ini nggak ekspektasi tinggi karna memang mau support dan lihat karya miles lagi. Tapi ternyata kena banget di hati dan betul, sound tiap ost nya beniiing banget bikin terngiang terus. Thankyou review nya
ReplyDeleteTata suaranya emang kinclong banget. Nggak terdengar mendem seperti soundtrack di film Indonesia pada umumnya.
DeleteKalau secara komedi saya suka ini, namun secara dramatik saya suka Sunny.
ReplyDeleteHumornya beneran disesuaiin dengan kultur Indonesia ya, referensinya juga, jadi bisa lebih relate dan lebih ngakak
DeleteBaru nonton bebas, tapi ntah karna penontonnya sedikit makanya energi nya juga sepi, aku malah menemukan bebas nggak se-menyenangkan itu.
ReplyDeleteBanyak sih yg cukup mengganggu buatku, banyak hal yg terlalu dangkal n nggak di eksplor mendalam. Misal, aku masih ga terlalu paham kenapa suci bersikap sedingin itu. Soal mahasiswa yg ingin revolusi yg cuma sekilas aja. Dan banyak deh
Oiya, soal hubungan ibu-anak antara vina n keluarganya juga ngga dapet konklusi yg memuaskan buatku :/
DeleteWah sayang sekali ya nggak bisa nemuin kesenangannya itu. Tapi bisa jadi ada faktor sepi juga karena aku beneran ngerasain energinya pas nonton kedua kali. Waktu itu bareng temen-temen dan bioskop juga kebetulan rame banget. Jadi asyik sekali.
DeleteBuat pertanyaanmu, aku coba jawab ya:
1) Suci bersikap dingin ke Vina karena Vina berasal dari Sumedang, kampung halaman ibu tiri yang dibencinya. Ini semacam kritik sosial sih mengenai sifat kedaerahan. Tapi sosok Suci sendiri pada dasarnya emang digambarkan dingin/cool/jaim seperti siswi populer kebanyakan.
2) Mahasiswa yang ingin revolusi itu memang hanya untuk penanda waktu. Memberikan gambaran soal bagaimana keadaan di tahun-tahun jelang reformasi 1998. Bukan butuh dijabarkan juga karena fungsinya buat penanda waktu sekaligus lagi-lagi kritik.
Yang disayangkan sebenarnya adegan tawuran. Seharusnya isu politik itu punya peranan kuat di sini. Karena dalam Sunny gongnya ada di adegan ini, sementara di sini pemicunya hanya tawuran biasa.
3) Konklusinya udah bagus kok karena sebenarnya hubungan diantara mereka kan nggak pernah sampai parah. Kentara, yang mengganggu Mia itu laki-laki penggencet di sekolahnya. Vina hanya dijadikan pelampiasan karena dia melihat dirinya di sosok sang ibu: tidak berani melawan. Tapi setelah kasus selesai, dia lebih lunak. Senyum ke ibunya saat dia melihat ibunya berani menegur peseda motor ugal-ugalan itu sudah cukup kok.
Kekecewaan ku lebih kepada kemunculan Suci dewasa yang semestinya bisa lebih dramatis dan diperankan aktris yang lebih punya nama