“That's the biggest tornado I've ever seen.”
Bagaimana jadinya saat sebuah film yang mengambil format found footage dipertemukan dengan disaster movie? Sekilas, terdengar seperti ide bagus. Fantastis. Gambaran bencana alam akan terasa lebih autentik sehingga memungkinkan penonton untuk terserap ke dalamnya dan memberi mimpi buruk seburuk-buruknya hingga sulit mengenyahkannya jauh-jauh dari ingatan. Terlebih jika ditayangkan di layar bioskop terbesar atau mungkin melepasnya di 3D. Boom! Bisa jadi itulah yang terlintas di benak pemikiran para petinggi di New Line Cinema saat memutuskan untuk memberi lampu hijau kepada Into the Storm. Seperti melihat perpaduan antara Twister dan Cloverfield – masing-masing salah satu film terbaik di genrenya. Jika sudah begini, siapa yang tidak tergoda? Rasa-rasanya penonton pun akan tergiur untuk mencicipi setelah mengetahui Into the Storm adalah semacam versi pembaharuan dari Twister dengan efek khusus lebih halus dan pemanfaatan found footage sebagai metode penceritaan.
Hanya beberapa menit usai memasuki film, seketika kenangan terhadap film arahan Jan de Bont tersebut mengemuka. Ini tentu disebabkan oleh hadirnya Pete (Matt Walsh) yang terobsesi mengejar tornado paling berbahaya di dunia hanya untuk diabadikan ke dalam video demi segepok uang dan seorang ilmuwan, Allison (Sarah Wayne Callies), yang setia menemani perburuan gila tersebut. Tapi di dalam Into the Storm, mereka bukanlah satu-satunya yang aktif menggerakkan roda cerita karena dihadirkan pula seorang ayah, Gary (Richard Armitage), dengan kedua putra remajanya yang sulit diatur, Trey (Nathan Kress) dan Donnie (Max Deacon). Seolah belum cukup penuh sesak, masih ada sepasang selebritis Youtube gadungan – yang keberadaannya sungguh tidak penting – beberapa kru dari Pete, dan perempuan yang ditaksir Donnie, Kaitlyn (Alycia Debnam Carey). Terpencar satu sama lain di beberapa menit awal, para karakter ini lantas dipersatukan sesaat setelah pusaran tornado raksasa memporakporandakan kota kecil kediaman Gary.
Ada kekecewaan yang menyergap kala menyimak Into the Storm. Betapa tidak, film garapan Steven Quale ini tidak ubahnya film-film produksi Syfy – biasanya langsung diterjunkan untuk konsumsi televisi – berbiaya produksi tinggi. Skrip yang diusungnya betul-betul menggelikan dan seringkali menjemukan. Interaksi antar tokoh, khususnya Gary bersama kedua putranya, berlangsung dingin menusuk tulang tanpa sedikitpun menimbulkan kesan meyakinkan dengan tatanan dialog yang sangat ‘corny’. Kesalahan utama dari si pembuat film adalah terlalu banyaknya karakter yang ingin dikedepankan (bahkan turut menghadirkan karakter tanpa korelasi jelas) sampai-sampai dibuat kebingungan sendiri dalam menentukan fokus. Hasilnya pun setengah-setengah. Tak ada satu karakter pun yang matang untuk dibuat peduli oleh penonton dan sisi sentimentil yang seharusnya bisa timbul di film semacam ini turut gagal dicapai terlebih kematian salah satu karakter – dimaksudkan untuk dramatis – disebabkan oleh kekonyolan dan kebodohan. Belum lagi jika memperbincangkan inkonsistensi dalam mempergunakan found footage. Ugh.
Into the Storm berpotensi terkoyak-koyak habis tanpa ampun hingga layak dilabeli ‘film terburuk tahun ini’ jika saja departemen efek khusus memilih duduk manis di belakang meja tanpa melakukan apapun. Sokongan efek visual-lah yang menyelamatkan muka film ini. Autentisitas penggambaran tornado yang meliuk-liuk mengerikan beserta kerusakan yang ditimbulkan dari sisi tampilan, rasa, dan suara layak diacungi dua jempol. Memberi sensasi ngeri terlebih saat pusaran hanya beberapa jengkal dari tempat para tokoh menjejakkan kaki, lalu jika sial akan tergaet masuk berputar-putar di dalam dan bertubrukan dengan benda-benda lain. Inilah kesempatan yang dimanfaatkan secara baik oleh Steven Quale untuk menghadirkan sejumlah adegan aksi menegangkan, menutupi keringnya skrip dan karakterisasi. Walaupun ada kalanya terkesan ‘over the top’, tapi harus diakui Into the Storm tergolong berhasil di sektor ini terutama dalam klimaks saat tornado raksasa yang diidam-idamkan menampakkan diri yang sanggup membuat penonton terperangah sekaligus mencengkram erat kursi bioskop yang diduduki. Paling tidak masih ada sesuatu yang layak untuk disaksikan di sini.
Acceptable
No comments:
Post a Comment