August 24, 2014

REVIEW : YASMINE


“Air dalam cawan akan menjadi cawan. Air dalam gelas akan menjadi gelas. Air dalam tangan, akan menjadi tangan. Jadilah seperti air.” 

Bagi sebagian orang, Yasmine boleh jadi tidak mempunyai daya tarik maksimal. Pertama, premis yang dikedepankan berkenaan ‘from zero to hero’ sudah terlampau kuno, berulang kali mengalami bongkar pasang di beragam film. Kedua, ini film asli buatan Brunei Darussalam (ingat, bukan Malaysia!) yang tentunya masih asing bagi selera penonton sini terlebih Yasmine adalah percobaan pertama dari rumah produksi Origin Films dalam setengah abad terakhir untuk membangunkan perfilman Brunei yang telah terlalu lama terlelap. Ketiga, desain poster di peredaran khusus Indonesia... errr, tak menggugah selera. Jika ada magnet utama yang tersisa, maka itu terletak pada masifnya dukungan sejumlah pekerja film asal Indonesia terhadap proses pembuatan film ini dimulai di posisi pemeran pendukung, penulisan skrip, editing, tata musik, hingga pengisian soundtrack. Sepintas tidak terlalu menggiurkan, memang, tapi jika Anda berani-berani meremehkan kemampuan Yasmine, maka bersiaplah untuk ditonjok keras-keras olehnya. 

Diilhami dari sebuah puisi pendek, Yasmine bertutur tentang seorang gadis remaja bernama Yasmine (Liyana Yus) yang cenderung tomboy, enerjik, dan susah diatur. Kehidupan yang dijalaninya tampak baik-baik saja hingga sang ayah, Fahri (Reza Rahadian), membawa kabar yang memupuskan mimpi remajanya yang indah. Tidak ingin menghabiskan waktunya berlarut-larut dalam kesedihan, Yasmine beserta kedua sahabat barunya, Ali (Roy Sungkono) dan Nadia (Nadiah Wahid), mencoba bergabung dengan klub pencak silat di sekolah. Tujuan utama yang ingin dicapai jelas, mengikuti kejuaraan silat tingkat nasional. Bukan perkara mudah bagi ketiganya untuk menggapai kejayaan. Selain kesusahan mencari pelatih yang bisa diandalkan, Fahri yang mengetahui kegiatan Yasmine ini pun secara terang-terangan menunjukkan penolakan. Cobaan bagi Yasmine semakin menjadi-jadi saat Ali dan Nadia mengetahui maksud sesungguhnya dari ambisi Yasmine ingin memenangkan kejuaran silat. Persahabatan diantara mereka terancam retak. 

Yasmine dengan sukses memberi pukulan telaknya kepada siapapun yang telah mencibirnya, termasuk saya. Di luar dugaan, Yasmine adalah salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton tahun ini. Memang, skrip racikan Salman Aristo (Laskar Pelangi, Jakarta Maghrib) tidak menawarkan pembaharuan apapun secara garis cerita – lebih seperti The Karate Kid yang dipadupadankan dengan film drama remaja semacam Ada Apa Dengan Cinta? – namun ada kekayaan konflik dengan kehangatan yang melebur lembut bersama kejenakaan dan keseruan di dalam penyampaiannya yang lantas dieksekusi secara cekatan oleh sutradara pendatang baru asal Brunei, Siti Kamaluddin, berbekal bantuan dari Chan Man Ching (Rush Hour) yang mengarahkan adegan laganya. Penonton pun sukses dibawa melewati empat fase sensasi selama durasi bergulir; merasa tersentuh dengan dramatisasinya, tertawa terbahak-bahak oleh humor segarnya, bersemangat (bahkan mungkin saja hingga menggebu-nggebu) menyimak pertarungan silatnya yang tersaji seru, dan bangga seni bela diri tradisional asal Indonesia mendapat kehormatan tampil di film komersil pertama Brunei. Menjadikan Yasmine sebagai sebuah paket hiburan berjenis coming of age yang lengkap. 

Bagusnya lagi, Siti Kamaluddin pun diberkahi tim yang solid. Di sisi departemen akting, kita tentu tidak perlu lagi terheran-heran pada kapasitas akting Reza Rahadian, Dwi Sasono (sebagai pelatih konyol yang gemar membawa kipas), dan Agus Kuncoro yang yah... cemerlang seperti biasa. Kejutan datang dari Liyana Yus dan Nadiah Wahid yang notabene masih sangat minim pengalaman berlakon di depan layar. Sebagai Yasmine, Liyana Yus bermain secara natural dan ekspresif, memberi perubahan emosi karakter yang meyakinkan sehingga mudah bagi penonton untuk mencintai, membenci sekaligus berempati kepadanya. Begitu pula dengan Nadiah Wahid sebagai sang sahabat baik, Nadia, yang kehadirannya senantiasa memantik tawa, membawa kesegaran, dan aura positif. Selain keduanya, Roy Sungkono, Mentari De Marelle, dan Nabila Huda pun mencuri perhatian. Apiknya performa mereka turut ditopang pula oleh James Teh yang merekam sudut-sudut Brunei – yang jarang sekali kita lihat – dengan cantik, skoring musik yang meniupkan jiwa terhadap sejumlah adegan, serta sumbangan tembang keren dari Nidji, ‘Menang Demi Cinta’, yang membangkitkan emosi penonton. Hasilnya, sebuah feel-good movie keren berjudul Yasmine yang bukan saja berceloteh soal silat, keluarga, persahabatan, maupun cinta, tetapi juga pencarian jati diri dan menaklukkan diri sendiri. Yasmine akan sulit Anda lupakan begitu saja. Two thumbs up!

Outstanding



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch